TIGA SERANGKAI

 

Tiga Guru Bangsa (Foto: Trias Kuncahyono)

Hari Sabtu, 18 Maret 2023 lalu, saya mendapat undangan untuk menghadiri Refleksi Kebangsaan di Djakarta Theater. Pengundang adalah–ini yang membuat saya menyisihkan acara yang lain–Nurcholish Madjid Society, Jaringan Gusdurian, dan Maarif Institut yang bersama-sama membentuk Sumbu Kebangsaan.

Apalagi, di undangan dihiasi wajah tiga tokoh besar: Nurcholis Madjid, Gus Dur, dan Buya Syafi’i Maarif. Makin semangat saya untuk menghadirinya. Melihat gambar tiga tokoh besar itu, saya ingat Tiga Serangkai zaman pergerakan nasional pada awal abad ke-20. Mereka adalah E.F.E. Douwes Dekker  Dr. Danudirjo Setiabudi), dr. Tjipto Mangoenkoesoemo, dan Soewardi Soerjaningrat (Ki Hajar Dewantara).

Tiga Serangkai itu mendirikan Indische Partij (IP) di Bandung, Jawa Barat, 25 Desember 1912. IP adalah organisasi politik pertama di Indonesia yang saat itu masih bernama Hindia Belanda. Organisasi ini mengusung ideologi nasionalisme dan patriotisme yang tinggi.

IP berani mengritik pemerintah kolonial Hindia Belanda. Akibatnya, Tiga Serangkai ditangkap dan diasingkan ke Belanda. Indische Partij pun dibubarkan secara paksa pada 4 Maret 1913.

***

Peci dari berbagai daerah di Indonesia (Foto: Trias Kuncahyono)

Satu hal yang saya catat, setelah mengikuti Refleksi Kebangsaan dengan mendengarkan pandangan dan pendapat para narasumber–Amin Abdullah, Yudi Latief, Alissa Wahid, Musdah Mulia, Ulil Abshar Abdalla, Syafiq Hasyim, dan Abdul Rohim Ghazali serta pidato pembukaan Omi Komaria Nurcholis Madjid–ketiga tokoh ini mengajarkan bagaimana menyikapi perbedaan pemikiran di tengah masyarakat, tanpa perlu takut menyampaikan pemikiran yang otentik.

Pemikiran-pemikiran besar  mereka antara lain disampaikan lewat media cetak dalam bentuk artikel. Dengan demikian, masyarakat bisa menanggapi pemikiran dan pandangan mereka, baik setuju maupun tidak setuju, baik sependapat maupun menentang secara intelektual pula; bukan asal berteriak dan mengerahkan massa, tetapi secara intelektual.

Itu suatu hal yang sangat istimewa kalau dibandingkan dengan zaman sekarang ini, yang sebetulnya jauh lebih mewah. Karena dimanja oleh kemajuan teknologi komunikasi dan iklim politik yang sangat terbuka.

Akan tetapi, di tengah “pintu yang blak-blakan”, dibuka selebar-lebarnya ini, justru ada semacam “ranjau darat” yang akan segera meledak menerjang siapun yang menyampaikan sikap dan pemikiran yang berbeda atau dianggap berbeda. Tak pelak lagi akan segera diserang bertubi-tubi dari segala penjuru oleh mereka yang merasa “arus utama.”

Mengapa tidak bisa menerima perbedaan pandangan, pemikiran, atau gagasan orang lain. Ada kecenderungan sekarang ini hanya setia (termasuk dalam pandangan dan ide-ide) pada kelompoknya dan tidak setia (tidak bisa menerima) pada pandangan dan ide-ide atau gagasan kelompok lain. Sudah tidak bisa menerima kelompok lain baik dalam ide, gagasan, maupun pandangan, ditambah lagi tidak setujuan tentang ke-Indonesiaan.

Memang, kata Alissa Wahid, ketiga tokoh ini tidak selalu sependapat dalam suatu perkara. Tetapi, mereka setujuan: kecintaan pada Indonesia. Karena itu, kalau bicara soal Indonesia yang bhinneka, demokratis, inklusif, toleran, demikian juga wajah Islam yang inklusif dan toleran, mereka berani berdiri di garis paling depan. Tidak sembunyi di balik kerumunan massa. Sebab, mereka satu tujuan. Prinsip perjuangannya selaras.

***

Berpikir, bergerak, dan menggerakkan. Itulah Tiga Serangkai: Cak Nur, Gus Dur, dan Buya Syafi’i. Mereka itu tidak hanya berpikir tetapi bergerak dan juga menggerakkan. Begitu rumusan Alissa.

Sekarang ini, pemikir itu banyak, tapi kurang yang menggerakkan. Sebab, untuk mampu menggerakkan perlu integritas–memenuhi komitmen, menunjukkan kejujuran, dan mengerjakan sesuatu dengan penuh konsisten–dan trust. Untuk menggerakkan juga dibutuhkan kredibilitas. Kata Alissa, Without integrity no one listens. Without trust no one follows.

Gagasan, ide-ide, pendapat, dan pemikiran tiga tokoh tersebut bisa menembus berbagai generasi bukan tanpa sebab. Integritas dan kredibilitas masing-masing tokoh terhadap gagasan yang dibawa soal kemaslahatan umat dan preferensi sosial kultural membawa nama ketiganya harum meski jasadnya telah tiada.

Maka tidak berlebihan kalau ketiganya disebut , kata Amin Abdullah, sebagai simpul-simpul syaraf masyarakat madani, yang menularkan spirit guru bangsa. Ketiganya adalah referensi moral. Sebab dalam diri mereka, kata Omi Komaria, ada kesungguhan, ada integritas, ada kepedulian pada nasib rakyat. Itu semua penting bagi kelanjutan ke-Indonesiaan.

Sebagai man of ideas dan man of ethics–mengikuti rumusan Yudi Latief–ketiganya menyumbangkan konvergensi antara keimanan agama dan seperangkat nilai-nilai ke-Indonesiaan…nilai agama dan ke-Indonesiaan…keimanan dan kebhinnekaan…Perjumpaan inilah titik tumpu, titik tuju untuk membangun solidaritas kemanusiaan dan solidaritas kebangsaan, dengan preferensi sosial kultural, bukan politik.

Maka, kata Musdah Mulia, warisan tiga tokoh, Tiga Serangkai itu, adalah  kemampuan berpikir kritis; kemampuan bertindak demokratis, yakni kemampuan ini membutuhkan nilai-nilai keadaban; dan kemampuan beragama secara humanis dan berkeadaban. Sikap beragama secara humanis itu penting, sebab pada ujungnya, orientasi agama adalah pada kemaslahatan manusia.

***

Peci “Sumbu Kebangsaan”

Tentu pertanyaannya sekarang adalah bagaimana mengembangkan keagamaan yang membawa kepada kemanusiaan, keadaban, dan tingkat peradaban lebih baik. Kata Syafiq Hasyim, dengan melihat orang bukan pada identitasnya, tetapi pada orangnya. Apakah orang itu memiliki integritas, kredibilitas, bisa dipercaya, berpikiran terbuka terhadap kebhinnekaan ini, misalnya.

Apakah orang itu memiliki sikap demokratis. Yakni perilaku untuk menghormati orang lain, menerima keberagaman serta kemajemukan. Apakah sama-sama memiliki rasa kepemilikan bersama atas Indonesia. Ini penting bagi ke-Indonesiaan, bagi langgengnya negeri ini.

Kalau kita sudah tidak memiliki rasa kepemilikan bersama atas Indonesia atau rasa kebersamaan kita mulai menipis, ini lonceng tanda bahaya bagi masa depan Indonesia. Apalagi sekarang ini, banyak orang lebih suka mengurusi orang lain, bukan ngurusi dirinya sendiri. Mereka itu menganggap orang lain salah, orang lain tidak paham, orang lain tidak beragama, orang lain tidak saleh, orang lain tidak becus, dan sebagainya. Dan, tidak menyadari dirinya sendiri seperti apa.

Padahal, semestinya melihat orang bukan pada identitasnya, tetapi orangnya…. Mengapa, kita tidak mau belajar kepada Tiga Serangkai itu yang adalah kurikulum politik, kurikulum kehidupan…yang selalu bisa bersilaturahim dan berteman dengan siapa saja…?

Pertanyaan itu terus mengusikku ketika berjalan keluar dari gedung Djakarta Theater, dengan tak lupa tetap memakai kopiah bertuliskan “Sumbu Kebangsaan” di bagian kanan depan, pemberian panitia…..***

Bagaimana menurut Anda artikel ini
+1
0
+1
0
+1
34
+1
11
Uncategorized