“ORA ELING”

Mendadak, hari Minggu siang kemarin, saya mengikuti “kuliah” singkat dari  sahabat kecil saya. Kami sekelas saat sekolah taman kanak di sebuah TK di desa.

Sahabat saya itu, Haryatmoko, seorang imam (romo pastur) yang doktor dalam bidang antropologi dan sejarah agama-agama di Universitas Sorbonne, Paris IV (1996) Perancis serta Doktor dalam bidang ilmu Etika Politik (Moral Sosial) di Institut Catholique de Paris, Perancis.

Dia sangat baik. Kapan pun, di mana pun, saya hubungi lewat WA pasti segera menjawabnya. Dan, setiap kali saya tanya tentang berbagai hal–juga lewat WA–pasti segera pula dijawab. Dia tahu persis bahwa saya, teman TK-nya ini, tidak banyak tahu dan harus dibantu untuk tahu.

Nah, hari Minggu kemarin gara-gara tulisan sahabat saya yang lain, Bre Redana seorang wartawan dan novelis, di Kompas Minggu (12/3), saya langsung kirim WA kepada sahabat kecil saya. Dalam tulisan itu, Bre memungut istilah the forgetting of being-nya Heidegger.

***

Gambar: SESAWI.NET

Mau tanya Romo, begitu saya tulis. Apa yg dimaksud oleh Martin Heidegger (1889–1976) dengan istilah the forgetting of being. Martin Heidegger adalah filsuf asal Jerman. Hanya itu yang saya tahu tentang Heidegger.

Dari satu pertanyaan itulah kemudian berkembang menjadi sebuah “kuliah” singkat. Dalam bahasa yang lebih mudah, seperti ditulis oleh Bre Redana, the forgetting of being bisa diartikan sebagai ora eling.

Secara gampang, kata eling berarti ingat dan ngrumangsani (sadar) dengan keadaan. Maka “ora eling berarti ora ngrumangsani (tidak sadar), tidak ingat bahwa kita manusia.

Sekarang ini, banyak orang yang ora eling, ora ngrumangsani, tidak sadar sehingga berlaku dan bertindak–orang Jawa bilang–aeng-aeng, aneh-aneh, ora tinemu nalar, tidak masuk akal; tidak masuk akalnya manusia lumrah, wong waras.

Karena adanya sikap the forgetting of being atau ora ngrumangsani, ora eling  sebagai manusia, kata Haryatmoko maka menyebabkan alienasi manusia. Orang tidak lagi memandang dunia dalam kedalamannya. Alam tidak dilihat sebagai kesatuan dengan diri manusia sehingga mengobyekkan alam, mengeksploitasi, dan merusak lingkungan.

Mereka itu juga lupa bahwa manusia itu diciptakan beragam-ragam, bersuku-suku, berbangsa-bangsa, memiliki budaya, bahasa, agama, warna kulit, rambut, dan sebagainya yang berbeda-beda. Tetapi karena ora ngrumangsani (tidak sadar) bahwa manusia itu beragam-ragam, maka tidak bisa menerima perbedaan.

Orang seperti itu, hanya menggunakan kategori yang dimilikinya. Orang lain seperti tidak dibiarkan menyingkap diri atau eksplisitasi. Distinction itu menafikan yang lain, atau “ada-yang-lain” hanya sebagai obyek bagi dirinya

***

Foto: Apple Music

Romo, apakah flexing itu juga ungkapam dari the forgetting of being? 

“Yas,” begitu Romo Haryatmoko biasa menyapa saya, “Iya. flexing itu bentuk afirmasi kekuasaan. Tidak menyadari ‘ada-bersama-yang-lain’.” Dikiranya penghuni dunia ini mereka sendiri  tidak ada manusia lain. Yang penting pamer.

Menurut Cambridge Dictionary, flexing  berarti menunjukkan sesuatu yang dimiliki atau yang diraih tetapi dengan cara yang dianggap oleh orang lain tidak menyenangkan. Kamus Merriam Webster, mengartikan flexing  sebagai memamerkan sesuatu atau yang dimiliki secara mencolok.

Ringkasnya, flexing adalah istilah yang digunakan untuk pamer kekayaan; tindakan yang akhir-akhir (sudah lama sebetulnya) dilakukan oleh mereka yang memiliki kelebihan, kelimpahan kekayaan entah dapatnya dari mana. Misalnya, lewah media sosial.

Ada lagi bentuk flexing lainnya. Misalnya, suka memamerkan liburan mewahnya, katakanlah ke  Eropa, AS, atau belahan dunia lain yang dianggap mahal untuk dikunjungi, kepada banyak orang melalui akun media sosialnya; pamer barang-barang mewah. Dengan cara ini, ingin dilihat betapa bahagia dan suksesnya dia bisa menjalani kehidupan yang glamor, mewah. Tidak seperti orang lain.

Ada banyak alasan mengapa orang suka flexing, suka pamer yang sekarang sangat mudah dilakukan yakni lewat media sosial. Ada  orang yang suka pamer karena butuh pengakuan atau aktualisasi diri; ada yang ingin mencari perhatian; ada yang karena obsesi. Semua itu ungkapan lupa diri, ora eling.

Ada juga yang karena aji mumpung. Mumpung berkuasa, terus pamer kuasa, pamer kekayaan, dan terus korupsi. Maka sering kita dengar ada yang mengatakan, “Ayo Pak, mumpung masih menjabat, kapan lagi. Ingat lho Pak, kesempatan belum tentu datang lagi, jangan sampai nanti menyesal.”

***

Foto: SERU.co.id

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), aji mumpung berarti pemanfaatan situasi dan kondisi untuk kepentingan diri sendiri selagi memegang jabatan yang memungkinkan adanya peluang untuk hal itu. Arti lainnya dari aji mumpung adalah senyampang atau selagi.

Aji mumpung adalah penyakit mental yang  mengarah pada keserakahan dan kerakusan. Ini berkaitan dengan sikap batin. Maka keutamaan Jawa (mungkin juga suku-suku lain di negeri ini, yang juga memiliki kearifan lokal, falsafah kehidupan), berangkat dari sikap batin yang tepat.

Tidak mudah memelihara sikap batin yang tepat itu. Ada dua hal yang mengancam pemeliharaan keseimbangan sikap batin yang tepat itu. Pertama hawanapsu (nafsu-nafsu) yang membuat orang sangat terbelenggu pada dunia lahir, sehingga roso-nya tumpul dan tidak berfungsi sebagai semacam pengemudi tingkah laku manusia.

Kedua, pamrih (ini egoisme yang kuat) yakni mencari dan mengutamakan kepentingan pribadi, tidak peduli pada keselarasan sosial, tidak peduli pada orang lain, tidak peduli pada kondisi lingkungan sekitar, the forgetting of being, dalam bahasanya Heidegger.

Nafsu-nafsu (hawanapsu) yang menunjukkan pamrih (egoisme) adalah golek menange dhewe, golek benere dhewe, golek butuhe dhewe, golek senenge dhewe, aji mumpung, dumeh (kuasa, kaya, berpangkat, dan sebagainya). Semua itu, sangat mudah kita temukan sekarang ini di sekitar kita, di media sosial.

“Yas, begitulah ceritanya the forgetting of being, mudeng ta, paham kan..” kata Romo Haryatmoko mengakhiri “kuliah” singkatnya siang itu…..***

Bagaimana menurut Anda artikel ini
+1
0
+1
1
+1
32
+1
6
Kredensial Uncategorized