AR-RAJA’ WAL AMAL LI FALISTIN

Ilustrasi gambar: Bola.com

Kemarin sahabat saya, Kadarisman yang mengajar di Pesantren Baitur Rohmah Al-Amanah Malang, mengirimi sepotong teks lagu Ar-Raja’ wal amal Li Falistin  yang populer sebagai Ragawi falistini, atau Wahai Palestina yang Kami Cintai.

Saya  mengenal dia  di Kairo, Mesir (2013) saat meliput lanjutan Arab Spring yang berakhir dengan disingkirkannya Presiden Morsi oleh rakyat Mesir, partai-partai nasionalis, partai-partai agama berhaluan moderat yang mendapat dukungan militer. Saat itu, Kadarisman, sedang kuliah di Universitas Al-Azhar.

Lagu kiriman Kadarismam merupakan ungkapan dukungan pada perjuangan bangsa Palestina dalam merebut kemerdekaan, dalam melepaskan diri dari cengkeraman kuku-kuku kekuasaan Israel. Inilah potongan lagu kiriman Kadarisman.

Yaa lah likal qolbah ziin  (Karenamu kami berduka)
Wa hadis niin tidma’al ‘aiin (Bertahun-tahun meneteskan air mata).
Lahbibah ya Falasthiin (Cintaku oh Palestina)
Ah yaawiin ‘Arab naimiin (Maafkan bangsa Arab masih tertidur)
Ah yaa ziinatil buldaan (Negeri megah dan indah)
Qoumii rabbii yahmiik (Semoga dilindungi Rabbi)

Pada Piala Dunia 2022 lalu, lagu ini dinyanyikan para pendukung Maroko, setelah tim mereka menenggelamkan Belgia, 2-0, di Al Thumama Stadium, Qatar. Belgia peringkat kedua dunia di bawah Brasil, semifinalis Piala Dunia 2018, yang diperkuat Kevin de Bruyne dibuat frustasi oleh Hakim Ziyech dan kawan-kawannya.

Lagu tersebut bukan sekadar lagu. Itulah lagu ungkapan simpati, keprihatinan, cinta, harapan, dan dukungan pada nasib dan perjuangan bangsa Palestina. Dengan menyanyikan lagu itu, mereka–para penonton sepak bola yang ada di stadion–ingin berbagi kebahagiaan, kegembiraan dengan rakyat Palestina yang hari-harinya dalam kegelapan sejak hampir 100 tahun silam.

Inilah bentuk solidaritas, komitmen dari, tidak hanya orang-orang Maroko, tetapi juga orang-orang Arab, para penonton sepak bola terhadap perjuangan rakyat dan bangsa Palestina Palestina.

***

Gambar ilustrasi: Istimewa

Sekarang ini,  isu Palestina bukan hanya masalah Arab tetapi bahkan masalah dunia. Itu berarti juga masalah Indonesia yang menjadi bagian dari dunia ini.

Apa yang terjadi di Palestina adalah gambaran kisah kolonialisme moderen. Kata PBB, perjuangan bangsa Palestina adalah melawan pendudukan kolonial terhadap tanah dan bangsa Palestina. Aksi Israel di wilayah pendudukan–Tepi Barat termasuk Jerusalem Timur dan Jalur Gaza–adalah bentuk kolonialisasi.

Inilah yang menjadi titik tolak sikap Indonesia berdasarkan amanah Pembukaan UUD 1945, alenia pertama, “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri­kemanusiaan dan peri­keadilan.” Maka, Indonesia sangat tegas dan konsisten menentang kolonialisme Israel terhadap Palestina.

Berlandaskan amanah tersebut,  Indonesia sangat tegas, teguh, dan konsisten mendukung dan memperjuangkan kemerdekaan Palestina. Kata Presiden Jokowi, “Ini prinsip. Prinsip Negara kita Indonesia”  yang mendukung sepenuhnya penyelesaian konflik dalam format two-state solution.

Format two-state solution ini tidak akan pernah usang karena hingga saat ini tidak ada alternatif lain dalam menyelesaikan konflik berlintas tahun dan abad antara Israel dan Palestina itu. Dan, itulah format yang paling adil karena menghormati setiap bangsa untuk merdeka dan berdaulat.

Format two-state solution mula pertama merupakan rekomendasi yang disodorkan Komisi Peel (1937). Lalu, pada tahun 1947, Majelis Umum (MU) PBB menerbitkan Resolusi 181 yang disebut sebagai Partition Plan, Rencana Pembagian, yakni membagi Palestina menjadi dua: negara Yahudi dan negara Arab, dengan menyatakan Jerusalem sebagai corpus separatum (entitas terpisah) dan menjadi kota internasional di bawah pengawasan PBB.

Itulah yang diperjuangkan diplomasi Indonesia di fora baik bilateral, multilateral,  regional, maupun internasional. Hal itu pula yang menjadi latar belakang mengapa Indonesia belum (tidak) memiliki hubungan diplomatik dengan Israel.

Meskipun secara tak resmi, ada hubungan-hubungan lain. Misalnya, setiap tahun ada begitu banyak warga negara Indonesia yang berziarah ke tempat-tempat suci di Palestina, termasuk Israel. Demikian juga, ada hubungan antara Indonesia dan Taiwan, meski tidak ada hubungan diplomatik, sekadar sebagai contoh lain.

***

Presiden Jokowi (Kompas.com)

Meskipun, pijakan dasarnya atau landasannya sangat jelas, namun ada beragam interpreatasi, termasuk cara pelaksanaannya. Misalnya, berkait dengan keikutsertaan Israel pada Piala Dunia Sepak Bola U-20 yang Indonesia tuan rumahnya.

Ada yang menolak keikutsertaan Israel. Penolakan itu didasarkan pada amanah Konstitusi: menentang segala bentuk penjajahan. Ini karena belum adanya   hubungan diplomatik dengan Israel.

Tapi ada juga yang “pokoknya” menolak, entah itu karena sentimen agama dan kepentingan politik; atau entah itu untuk bikin ramai suasana, bikin gaduh sekaligus mencari simpati dan dukungan. Tak peduli apa akibat–apakah itu terhadap keamanan, kemasyarakatan, sosial, dan ekonomi, bahkan wajah bangsa di hadapan masyarakat internasional, hubungan dengan FIFA, nasib persepakbolaan Indonesia–dari “permainan” mereka.

Ada lagi, yang “sepertinya berpikiran liberal, terbuka”. Mereka menyatakan dengan menerima Israel, maka pintu dialog terbuka. Ini juga akan menjadi momen bagus untuk berperan aktif memperjuangkan hak Palestina. Benarkah demikian? Kalau dicermati benar, pendapat inipun kental dengan kepentingan politik 2024.

Sementara pemerintah berpegang teguh pada amanah Konstitusi, melakukan dialog dengan FIFA, yang memiliki ketentuan sendiri (sementara Indonesia hanya memfasilitasi sebagai tuan rumah). Kata Pak Jokowi, “FIFA memiliki aturan sendiri yang harus ditaati anggotanya.”

***

    Ikustrasi gambar: Istimewa

Begitulah dunia sepak bola (dunia olah raga). Kerap dikatakan olah raga bebas dari politik. Maka ada yang menyatakan agar ada pemisahan antara urusan politik dan olah raga (bola). Hal seperti itu juga dikatakan, Duta Besar Palestina untuk Indonesia Zuhair Al Shun, seperti yang disiarkan berbagai media.

Tapi, realitasnya, politik–benar-benar ada di mana-mana termasuk dalam sepak bola. Bahkan usaha “menjadikan” sepak bola sebagai “panggung politik” pernah dilakukan oleh (ketika itu) Presiden FIFA Sepp Blatter. Pada tahun 2015, Blatter mengusulkan agar digelar pertandingan sepak bola antara Israel dan Palestina. Pertandingan itu disebut sebagai “pertandingan perdamaian.”

Untuk mewujudkan gagasannya itu, Blatter bertemu PM Israel  Benjamin Netanyahu, Presiden Palestina Mahmoud Abbas, dan Ketua  Asosiasi Sepak Bola  Palestina Jibril Rajoub.  Tapi, gagasan “peace match“, pertandingan perdamaian itu, tak pernah terwujud. Tak ada “match“, tidak ada pertandingan antara Israel dan Palestina. Apalagi “peace“, perdamaian. Hingga saat ini, tidak ada !!

Olahraga (sepak bola), memang, tidak selalu merupakan jalan menuju perdamaian. Kesebelasan Korea Utara dan Korea Selatan, misalnya,  telah beberapa kali bertemu, tetapi mereka tetap bermusuhan.  Apalagi kesebelasan Israel dan Palestina, angota FIFA sejak 1998, yang tidak pernah bertemu, bertanding. Sebab, Israel anggota UEFA, badan sepak bola Eropa; sementara Palestina bermain di Asia.

Satu hal yang perlu dicatat: Piala Dunia lebih dari sekadar peristiwa olahraga. Piala Dunia adalah ajang pertemuan besar demikian banyak orang dari seluruh dunia. Mereka bertemu,  berkumpul untuk berbagi hasrat mereka terhadap sepak bola dan merayakan keragaman dan solidaritas manusia.

***

Ilustrasi gambar: Istimewa

Sambil menunggu babak akhir “hiruk-pikuk” ini, tidak ada jeleknya kita renungkan pertanyaan kecil ini: Bagaimana sepak bola bisa menjadi “bridge to bring people together” , pemersatu bangsa ini  menyongsong masa depan yang penuh tantangan tetapi menjajikan kecermalangan?

Hal itu baru bisa terwujud kalau semua waspada dan bersama-sama mencegah jangan sampai disusupi, diracuni, serta dimanfaatkan untuk kepentingan-kepentingan sesaat, sempit, dan sektarian. Apalagi kepentingan kontestasi Pemilu 2024, yang memang akan menggunakan segala cara demi meraih kekuasaan…

Bagaimana menurut Anda artikel ini
+1
0
+1
0
+1
38
+1
3
Kredensial