PERJUMPAAN DI YOGYA

Foto: Kemenag

Bukan di Abu Dhabi, tetapi di Yogyakarta pesan damai itu disuarakan, semangat persaudaraan antar-umat beriman itu digelorakan, dan komitmen untuk hidup dalam kerukunan itu diteguhkan.

Apa yang terjadi di Yogya kemarin, bukan semata penganugerahan gelar doktor kehormatan kepada tiga tokoh agama: Prefek Dikasteri untuk Dialog Antar-agama Vatikan Kardinal Miguel Angel Ayuso Guixot; Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Yahya Cholil Staquf; dan Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah Periode 2005-2010 Sudibyo Markus. Memang, itu penting.

Tetapi yang lebih penting lagi adalah di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta telah terjadi perjumpaan dan pertemuan simbolik yang sarat makna. Perjumpaan dan pertemuan para tokoh yang selalu hidup dalam tuntunan keutamaan-keutamaan (virtus), dalam kesatuan hati (concordia) dengan semua orang, senantiasa memelihara dan menjaga kepercayaan (fides) dari orang-orang di sekitar, dan terus berusaha mencintai kebenaran (veritas).

Maka perjumpaan dan pertemuan itu menjadi sarat makna. Perjumpaan dan pertemuan itu boleh dikatakan mewakili dua agama besar di dunia ini: Katolik dan Islam. Dua dari tiga agama Abrahamik.

Kata Kardinal Ayuso Guixot penganugerahan lintas agama ini merupakan tanda konkret dari komitmen  yang bulat untuk mempromosikan kehidupan yang lebih baik dan masa depan umat manusia yang lebih baik.

***

Paus Fransiskus dan Imam Besar Al-Azhar Sheikh Ahmad Muhammad al-Tayyib (Foto: Istimewa)

Budaya perjumpaan itu sangat penting. Kata Paus Fransiskus, karena sebagai dasar dari terbentuknya dunia yang lebih bersatu dan berdamai. Budaya perjumpaan juga mendukung terciptanya rasa kepedulian antarumat manusia secara mondial.

Ada dua contoh yang menegaskan arti penting perjumpaan itu. Pertama, perjumpaan antara Santo Fransiskus Asisi dan Sultan Malik al-Kamil, penguasa Mesir pada tahun 1219 ketika Perang Salib V (1217-1221) masih membara. Perjumpaan itu tidak hanya monumental tetapi juga historis dalam konteks dialog antar-iman.

Inilah perjumpaan dan pertemuan dua tokoh muda—Fransiskus (38) dan Sulan al-Kamil (39)–yang sama-sama memiliki idealisme, impian tinggi tentang masa depan, tentang dunia dan penyelamatan dunia. Hanya satu misi yang dibawa Fransiskus saat menemui Al-Kamil yakni mengupayakan perdamaian, dan mengakhiri perang yang telah menelan demikian banyak korban jiwa dan menyuburkan rasa saling membenci dan dendam antara umat Kristiani dan Islam.

Kedatangan Fransiskus Asisi disambut dengan penuh keramah-tamahan dan persaudaraan oleh Sultan al-Kamil penguasa Dinasti Ayyubiah, di Mesir meski di sekitar mereka bumi, langit, dan udara dipenuhi rasa kebencian dan permusuhan. Tetapi, pertemuan itu menjadi antidot, sebuah pengingat bahwa menanggapi kekerasan dengan kekerasan pula, tidak akan ada hasilnya, dan bahwa kebaikan dan saling hormat dapat benar-benar mengubah hati.

Kedua, perjumpaan dan pertemuan antara Paus Fransiskus dan Imam Besar Al-Azhar Sheikh Ahmad Muhammad al-Tayyib di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, 2019. Misi mereka pun sama: mendorong terwujudkan perdamaian dunia.

Perjumpaan dan pertemuan yang  tulus, yang muncul dari hati yang bersih dari tokoh-tokoh besar di Abu Dhabi itu telah mendasari lahirnya “Dokumen Persaudaraan Manusia untuk Perdamaian Dunia dan Hidup Bersama” yang ditandatangani keduanya.

Pada intinya dokumen historis itu mendorong  seluruh pemimpin dunia untuk bekerja sama dalam menyebarkan budaya toleransi, mencegah pertumpahan darah, dan menghentikan peperangan. Dan, mendorong agar manusia lintas iman di seluruh dunia memiliki hubungan yang lebih kuat, hidup berdampingan dengan damai, dan saling menghargai.

***

Ilustrasi gambar: Istimewa

Semangat itulah yang dibawa Kardinal Miguel Angel Ayuso Guixot dari Vatikan, Roma ke UIN Sunan Kalijaga, ke Yogyakarta, ke Indonesia. Kata Kardinal Miguel, saat ini kita hidup dalam masyarakat majemuk yang sayangnya ditandai,  dengan konflik yang terus berkembang antara kelompok agama, bangsa, dan etnis di satu sisi, dan di sisi lain, diskriminasi terhadap individu dan orang-orang yang rentan.

Dunia juga terkoyak, terpecah belah karena agresi manusia yang berawal dari keinginan untuk mendapatkan lebih banyak kekuasaan dan pengaruh atas orang lain. Maka itu, perjumpaan umat beragama lintas iman harus semakin sering dilakukan guna memperkecil potensi konflik yang timbul akibat kurangnya pemahaman terhadap agama lain.

Karena itu, kata KH Yahya, pihaknya akan mendorong generasi baru memiliki wawasan dan mentalitas yang jauh dari dorongan berkonflik. Khususnya tang didasari pada perbedaan latar belakang identitas. Saat ini, masih ada segelintir kelompok yang seolah berusaha memosisikan agama sebagai pangkal perseteruan di tengah masyarakat.

Kata KH Yahya, “Agama itu justru semestinya menjadi bagian dari solusi masalah dan mendorong dikembangkannya perdamaian dan harmoni untuk masa depan peradaban yang lebih mulia.”

Karena itu, kata Sudibyo, perlu langkah nyata, konkret, tidak ngawang-awang untuk mewujudkan perdamaian manusia. Maka,  perjumpaan seperti yang terjadi di UIN Sunan Kalijaga menjadi bagian untuk membangun jembatan perdamaian lewat hubungan prabadi. Ini sangat  penting.

Lewat “jembatan hubungan pribadi itu”, setiap orang melihat, memandang orang lain sebagai manusia. Hubungan yang kuat, tulus, muncul dari hati yang bersih dan dalam inilah yang mendasari lahirnya persaudaraan sejati, kerukunan, dan pada akhirnya perdamaian sejati.

Semoga demikian….

Bagaimana menurut Anda artikel ini
+1
0
+1
0
+1
55
+1
19
Kredensial Uncategorized