PASAR MALAM

    Alun-alun Utara, Yogyakarta (Foto: Trias Kuncahyono)

 

 

Ketika berdiri di depan Masjid Agung, sisi barat alun-alun utara, Yogya, pekan lalu, saya membayangkan pasar malam Sekaten yang biasanya digelar di alun-alun itu. Tapi, sekarang, alun-alun itu tak lagi menjadi tempat Pasar Malam Sekaten. Alun-alun Utara sudah berpagar besi dan ditutupi pasir.

Masjid Agung atau Masjid Raya  itu lebih dikenal sebagai _Kagungan Dalem_ Masjid Gedhe Kauman. Informasi dari Dinas Perpustakaan dan Arsip Daerah DIY mengungkapkan, Masjid Gedhe didirikan pada hari Ahad Wage 29 Mei 1773 Masehi, atau 6 Rabi’ul Akhir 1187 Hijriah/Alip 1699 Jawa. Pendirian tersebut ditandai dengan candra sengkala yang berbunyi _Gapura Trus Winayang Jalma_. Atau 1699.

Masjid Gedhe didirikan atas prakarsa Sri Sultan Hamengku Buwono I dan Kiai Fakih Ibrahim Diponingrat selaku penghulu keraton. Rancang bangunnya dikerjakan oleh Kiai Wiryokusumo.

Gaya arsitektur Masjid Gedhe mewarisi gaya Masjid Demak. Karakteristik dari masjid ini adalah empat pilar utama atau _saka guru_ dengan atap berbentuk tajug lambang teplok. Tajug lambang teplok adalah bentuk atap bersusun tiga. Secara filosofis, tiga tingkatan pada atap menggambarkan tahapan dalam menekuni ilmu tasawuf, yaitu _syari’at_, 
thareqat, dan ma’rifat, Tiga tingkat pada atap tersebut juga dapat dimaknai sebagai iman, islam, dan ikhsan.

***

Pasar Malam Yogya (Foto: Dinas Pariwisata Kota Yogyakarta)

Yang masih saya ingat, suatu malam lebih dari 50 tahun lalu, saya dan sejumlah teman sedesa berjalan kaki dari desa pergi nonton Pasar Malam Sekaten di Alun-alun Utara. Desa kami berada sekitar 10 kilometer sebelah barat kota. Dengan berkalung sarung, _nyeker_ (tanpa alas kaki), kami pergi ke kutha, ke alun-alun nonton Sekaten.

Ketika itu, kami tidak tahu apa arti sekaten. Yang kami tahu, menurut cerita pada waktu itu, saat “sekatenan” dimainkan gamelan yakni Kanjeng Kiai Sekati atau disebut Gamelan Sekati. Gamelan Sekati terdiri dari dua perangkat gamelan, yaitu Gamelan Kiai Gunturmadu dan Gamelan Kiai Nagawilaga.

Beberapa tahun kemudian, saya baru tahu bahwa upacara Sekaten pada hakikatnya adalah suatu tradisi yang diwariskan oleh nenek moyang. Pada mulanya, upacara tersebut diselenggarakan tiap tahun oleh raja-raja di Tanah Hindu, berwujud selamatan atau sesaji untuk arwah para leluhur.

Namun, kemudian perayaan Sekaten menjadi bagian dari serangkaian upacara pada peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Maka ada yang menjelaskan, kata “sekaten” berasal dari _syahadatain_ yang memiliki arti dua kalimat syahadat. Upacara sekaten umumnya diselenggarakan selama kurang lebih tujuh hari; dari tanggal 5 sampai 11 Mulud atau Ra’biul Awal.

Tetapi, yang kami tahu waktu itu adalah pasar malam selalu identik dengan panggung kesenian. Ada beragam-ragam panggung kesenian dari yang mbayar sampai yang gratis. Mulai kesenian hadroh, shalawatan, ketoprak, karawitan, keroncong, tari klasik, ndang ndut, tari kreasi, jathilan, koes plusan, tembang kenangan, stand up komedi, drama, ombak banyu, tong setan, rumah hantu, komedi putar, kuda putar, dan lainnya. Ada pula stan ketangkasan, seperti lempar bola, lempar gelang, memanah, dan memancing.

Selain panggung hiburan dan ketangkasan banyak pula warung-warung makan, dari yang menjual makanan tradisional sampai yang moderen. Ada sate kere, kerak telor, endhog abang, arum manis, jenang dodol, jipang, gulali, geplak, tahu goreng, kacang godhog, bolang-baling, onde-onde, dan banyak lagi.

Ada pula penjual mainan anak-anak, penjual balon, boneka, penjual obat, dan pakaian. Pendek kata, pasar malam benar-benar menjadi tempat orang mencari hiburan. Hiburan bagi rakyat.

Kami, yang sebagian tidak punya uang, sudah merasa senang melihat berbagai hiburan gratis dan sedikit mencium bau harum manis, atau cukup puas melihat orang menggoreng kue bolang-baling.

Kalau ada kawan punya uang dan beli bolang-baling, kami yang tak beruang sudah puas diberi “secuil” bolang-baling sekadar untuk membunuh rasa kepingin. Kalau ada kawan yang beli arum manis, kami juga dapat merasakan meski hanya sejumput kecil. Istilah zaman sekarang, “yang penting hepi” dan kompak. Hepi ini mahal harganya.

Pasar malam itu tempat orang mencari hiburan. Beraneka umbul-umbul juga dipasang di sekitar arena pasar malam. Lampu hias warna warni membuat indah suasana, enak dipandang mata, meriah. Suara beragam jenis musik dari panggung hiburan, juga dari lingkaran tukang jual obat, berlomba keras-kerasan, volume pelantangnya maksimal untuk menarik perhatian pengunjung pasar malam. Heboh. Hingar-bingar. Tapi menyenangkan.

***

Penjual endhog abang (Foto: Antara Foto)

Ingat Pasar Malam Sekaten, ingat pula masa kampanye pemilu. Sebentar lagi, saat masa kampanye pemilu dimulai, rakyat juga akan dusuguhi tontonan yang tak kalah hebatnya dari pasar malam. Apalagi, sekarang ini, zaman politik pertunjukan. Maka, panggung dan pentas politik didekor serta dimainkan layaknya sebuah pertunjukan hiburan.

Di mana-mana akan dibangun panggung untuk pentas drama atau sinetron politik. Tapi, di zaman politik pertunjukan ini, para aktor, para pelakon politik dituntut mampu berakting menawan seperti pemain ketoprak atau ludruk, berakrobat seperti pemain tong setan, lihai mengelabui mata rakyat seperti tukang sulap, fasih bicara seperti penjual obat, luwes membujuk seperti penjual arum manis mengiming-imingi anak-anak kecil untuk membeli sehingga merengek-rengek minta uang ibunya.

Pendek kata, di masa kampanye nanti, semua politisi harus mampu memainkan peran yang memukau bagi semua kalangan. Ibarat kata, di panggung ndang-ndut, mereka harus mampu bergaya seperti penyanyi ndang-dut; di panggung ketoprak harus mampu berakting seperti pemain ketoprak; semua aktor politik dituntut pandai bermain peran.

Masyarakat, seperti mereka yang menonton pertunjukan di pasar malam, tidak hanya bisa tepuk tangan, tertawa terbahak-bahak, kagum  atau terpukau terhadap akting, tapi juga bisa ngumpat-ngumpat karena tontonan tidak bagus. Benar kata Ahmad Albar, dunia ini panggung sandiwara.

Karena panggung sandiwara, maka di atas panggung dan di luar panggung berbeda; di panggung depan dan panggung belakang juga berbeda. Di panggung (depan) muncul sebuah kebohongan karena laku yang sedang dimainkan seseorang sejatinya bukan citra diri orang itu yang asli; karena aktor menutupi wajahnya dengan topeng. Yang cantik dan seksi seperti penyanyi ndang-ndut di atas panggung pada malam hari, tidak demikian di siang hari saat bermalas-malasan tidur di belakang panggung, mungkin sambil kerokan, pijat, atau cari kutu kepala.

Tetapi, sekarang ini, meski hari masih siang, lampu-lampu aneka warna belum nyala, alat-alat musik belum dibunyikan, tukang obat belum menggelar dagangannya, tapi para aktor, para pelakon sudah ada yang mulai menari, menyanyi, main sulap, berteriak-teriak dan obral janji seperti penjual obat yang mengatakan obat jualannya dapat menyembutkan segala macam penyakit, dan mengiming-imingi anak kecil seperti penjual arum manis. Begitulah panggung politik.

Mereka merasa, hari sudah malam dan  pasar malam sudah dibuka. Maka,  hiruk-pikuk itu makin menjadi karena difasilitasi media massa dan media sosial yang menikmati kebebasan sebebas-bebasnya, sampai-sampai lupa bahwa ada aturan main, ada garis merah yang tak boleh dilanggar.

Begitulah pasar malam politik sekarang ini….yang membuat orang semakin tidak paham politik. Sebab, kata fisikawan dunia terkondang, Albert Einstein, politik jauh lebih rumit daripada fisika. Tapi, tetap menghibur seperti Pasar Malam Sekatenan, bila menonton akrobat para pelakonnya….

Bagaimana menurut Anda artikel ini
+1
1
+1
1
+1
26
+1
9
Kredensial