PASAR BERINGHARJO

 

Pasar Beringharjo (Foto: Trias Kuncahyono)

 

Pekan lalu, saya ke Pasar Beringharjo, Yogyakarta, untuk membeli bunga. Bunga tabur untuk nyekar ke makam bapak-ibu, simbah, dan sejumlah kerabat yang sudah berpulang. Baru kali ini saya beli bunga tabur di Pasar Beringharjo. Biasanya di Pasar Kranggan, juga di Yogyakarta.

Pasar Beringharjo selalu mengingatkan kenangan lama berpuluh tahun silam, ketika menemani ibu belanja. Kami makan soto di lapak di tengah pasar. Enak sekali. Kemarin saya cari lagi lapak soto itu, tidak ketemu.

Meskipun tidak menemukan lagi tempat penjual soto, saya tetap senang masuk lagi ke Pasar Beringharjo. Ada cerita panjang tentang Pasar Beringharjo. Pasar ini, mula-mula hanyalah kumpulan pedagang yang menggelar dagangannya di bawah pohon beringin.

Menurut catatan sejarah, Pasar Beringharjo yang semula benama Pasar Gedhe didirikan pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono I ketika membangun Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, 1758. Lalu pada masa Sultan Hamengku Buwono VIII, dibangun ulang.

Pasar Beringharjo adalah salah satu dari bagian dari kelengkapan sebuah ibukota kerajaan, Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, yang  disebut pola “Catur Tunggal” (empat yang menyatu). Yakni,   keraton sebagai pusat pemerintahan, alun-alun sebagai ruang publik, masjid sebagai tempat ibadah, dan pasar sebagai pusat kegiatan ekonomi.

Balai Pelestarian Cagar Budaya Propinsi DIY, mengungkapkan, Sultan Hamengku Buwono VIII menunjuk “Indische Beton Maatschappij” dari Surabaya untuk membangun pasar yang representatif dengan mendirikan 11 los permanen. Pembangunan berlangsung 1923-1925.

Setelah selesai, gedung pasar bergaya artdeco  dengan interior bangunan  perpaduan antara arsitektur kolonial dan tradisional Jawa itu, diberi nama baru yakni Pasar Beringharjo. Nama Beringharjo diambil dari kata “bring” dan “harjo” nama tersebut juga   berdasarkan lokasi pasar yang awalnya merupakan hutan Beringan. Sementara harjo berarti aman dan tenteram.

Pemerintah Hindia Belanda menyebut Pasar Beringharjo sebagai Eender Mooiste Passers Op Java, pasar terindah di Jawa.

***

Penjual sate (Foto: Trias Kuncahyono)

Di pasar, segala macam barang dapat ditemukan: mulai dari makanan sampai pakaian (batik, lurik, sarung, baju, celana pendek dan panjang, kaos dan sebagainya), dari barang berbahan bambu hingga besi, dari yang baru hingga yang rongsokan, dari yang murah hingga yang mahal.

Asyiknya lagi, harga-harga hampir semua barang,  bisa ditawar. Sudah tawar-menawar, tidak jadi membeli tidak apa-apa. Itulah pasar. Demikianlah hukum pasar.

Tetapi jangan kaget, kalau barang berkualitas rendah dikatakan kualitas bagus dan dijual mahal, juga ada. Itu bisa terjadi. Tapi, ada juga pedagang, penjual yang jujur: yang jelek dibilang jelek, yang bagus dibilang bagus; yang kw dibilang kw bukan ori.

Begitulah pasar. Pasar apapun: mulai dari pasar sayur sampai pasar hewan, dari pasar pakaian sampai pasar mobil. Di semua pasar selalu ada tawar-menawar, ada transaksi maka bersifat traksasional, tipu-menipu, mencari untung, bujuk-membujuk.

Maka orang memaklumi bahwa  dalam urusan bisnis, transaksi adalah hal sangat biasa.Tawar-menawar harga merupakan bagian dari kehidupan politik antarusahawan atau antara penjual dan pembeli.

Sebenarnya soal tawar-menawar, soal transaksional tidak hanya terjadi saat kita hendak membeli barang atau binatang di pasar, tetapi juga di dunia politik. Kata Ikrar Nusa Bhakti (2010), dalam dunia politik, tawar-menawar politik juga hal biasa.

Maka dunia politik pun tak ubahnya seperti pasar (market) yang di dalamnya marak transaksi jual-beli beragam kepentingan. Apalagi menjelang pilkada atau pemilu; dari tingkat desa hingga nasional. Politik transaksional dipahami bernuansa political trading, dagang politik; jual beli kesempatan dan kepercayaan antara rakyat dengan politisi.

Politik transaksional ini berlangsung karena saling memahami dan “saling membutuhkan.” Hal itu terjadi akibat runtuhnya keyakinan bahwa tujuan akhir berpolitik adalah  bonum commune, terciptanya kesejahteraan masyarakat banyak, lewat produk-produk politik.

Akan tetapi, karena praktik politik transaksional maka keputusan akhir akan sesuai dengan kepentingan yang punya modal. Dengan kata lain, dalam politik transaksional kekuasaan, kekuatan sangat berperan.

Pemegang dan pemilik kekuasaan atau kekuatan (power) untuk merealisasikan keinginannya bisa menggunakan segala macam cara. Yakni, bisa menggunakan misalnya cara bujukan (persuasion),  paksaan (coercion) atau mengonstruksi insentif (the construction of insentive).

Yang menarik lagi, dalam politik transaksional, produk politik pun, bisa dijual. Misalnya, melalui lembaga-lembaga survei. Di sini pun berlaku hukum pasar: transaksional. Semakin bonafide sebuah lembaga survei, maka semakin mahal biaya pembuatan produk politiknya.

Sangat wajar jadinya, proses komersialisasi seperti ini akan semakin menegaskan suburnya praktik politik “dagang sapi.” Yah  seperti di pasar sapi. Masing-masing pihak berupaya memaksimalkan keuntungan dan kepentingannya sendiri-sendiri.

***

    Kawasan Malioboro (Foto: Trias Kuncahyono)

Sudah semacam “dimaklumi” atau malah ada yang menyebut “sudah mbudaya” (karena demikianlah yang terjadi selama ini) bahwa pemilu merupakan pasar politik yang di dalamnya ada transaksi, ada  pihak baik penjual maupun pembeli. Semua itu,  bisa saja berlangsung secara terang-terangan maupun secara sembunyi-sembunyi. Yah, semacam pasar gelap.

Walaupun, sebenarnya, politik transaksional (money politic) itu dilarang oleh undang-undang. Tapi faktanya hampir semua orang melakukan dengan cara dan dalih yang berbeda-beda. Entah itu uang transport, sumbangan, sodaqoh, uang simpati, tanda kasih,  sumbangan pembangunan yang diajukan lewat proposal atau istilah lain lagi yang biasanya bisa dengan sangat kreatif diciptakan.

Maka itu Valina Singka Subekti (2019) dalam orasi ilmiah sebagai Guru Besar Tetap Ilmu Politik UI, menilai pemilu sistem proporsional tertutup lebih baik dari pada proporsional terbuka. Sebab, bisa mencegah politik transaksional.

Dengan sistem proporsional tertutup maka sistem pemilu  berpusat pada partai atau party centered bukan seperti sekarang ini berpusat pada calon atau candidacy centered yang sangat rentan terjadinya politik transaksional. Meskipun, ada yang berpendapat bahwa sistem coblos partai membuka peluang partai jualan kursi. Ya, biasa pro dan kontra untuk suatu persoalan. Itulah indahnya demokrasi.

Idealnya, memang, sebuah pemilihan umum, pesta demokrasi didasari oleh ketertarikan akan visi-misi kandidat atau berdasarkan kesamaan ideologi dan dilaksanakan sesuai dengan nilai-nilai dan norma yang ada dan hidup di masyarakat. Namun pada kenyataanya, politik transaksional sudah lumrah dilakukan dari hajat politik yang paling besar sampai ke tingkat yang paling kecil–misalnya dalam pemilihan kepala dusun.

Memang, cara transaksional seperti beli sapi di pasar hewan, lebih mengasyikkan, lebih mudah ketimbang harus adu visi-misi, memikirkan program. Mungkin para calon pemilih (tradisional) pun lebih suka, nggak mau repot-repot, dan sudah biasa….

Sebaliknya, ada anggapan pula bahwa pemberian merupakan suatu hal yang dianggap tidak menyalahi nilai dan norma dari individu dan masyarakat. Maka terjadilah politik transaksional itu seperti di Pasar Beringharjo dan pasar-pasar lainnya di seluruh pelosok nusantara ini. ***

Bagaimana menurut Anda artikel ini
+1
0
+1
1
+1
39
+1
8
Kredensial