ULTIMATUM JENDERAL SIGIT

Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo (Foto: DetikNews–Detikcom)

Dalam tempo dua bulan, Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo mengeluarkan dua ultimatum yang ditujukan kepada seluruh jajaran Polri. Dua ultimatum Kapolri itu, keras.

Ultimatum pertama. “Kapolri: Ikut Barisan atau Keluar.”  Ultimatum kedua: “…silakan keluar dari gerbong atau saya yang akan keluarkan.”

Ultimatum pertama keluar, 24 Agustus lalu setelah kasus Sambo, terungkap. Dua bulan kemudian, setelah 559 jajaran polri dari Kapolri hingga Kapolres dipanggil ke istana mendengarkan arahan Presiden Jokowi, ultimatum kedua keluar.

Di istana, Presiden memberikan lima arahan, yang pada intinya untuk memulihkan citra polisi yang telah merosot di depan mata masyarakat. Jokowi mengingatkan agar anggota Polri menjaga citra institusi karena berpengaruh terhadap kepercayaan publik.

Kata Presiden, “Urusan mobil, urusan motor gede, urusan yang remeh temeh, sepatunya apa, bajunya apa. Itu yang harus kita mengerti dalam situasi dunia yang penuh keterbukaan.” Presiden juga mengatakan, “Saya sudah perintahkan kepada Kapolri, saat itu urusan judi online, bersihkan, sudah…. penegakan hukum untuk yang berkaitan dengan narkoba…”

***

Foto: Depositphotos

Semua itu, mengingatkan saya pada Presiden AS George W Bush. Di hadapan Kongres AS, 20 September 2001, setelah serangan 11 September 2001,  Bush secara jelas dan tegas mengatakan, “…Either you are with us, or you are with the terrorists.” Bila tidak bersama dengan AS, berarti bersama teroris dan harus siap menanggung akibatnya.

Ancaman Bush itu ditujukan kepada negara-negara sekutu AS. Bush bukan orang pertama yang menjatuhkan ultimatum seperti itu. Jauh tahun sebelumnya, ultimatum seperti, meski dalam rumusan lain, sudah berkali-kali dijatuhkan oleh sejumlah tokoh.

Benito Mussolini, pemimpin fascis Italia, misalnya, pada suatu ketika mengatakan dalam suatu pidatonya:  “O con noi o contro di noi”—Anda bersama kami atau melawan kami.”

“Kawankah engkau atau lawan,” kata Yosua, panglima perang Israel saat masuk Jeriko. Lalu, Marcus Tullius Cicero, tahun 46 SM mengatakan hal yang sama, yang tidak bersama dia adalah musuh, yang bersama dia adalah kawan. “Yang tidak melawan kita, berarti bersama kita.”

Sekarang ini, lebih gawat lagi. Karena, ancaman semacam itu ada yang lebih untuk kepentingan sektarian, kepentingan kelompok kecil. Misalnya, yang berbeda, yang tidak sepaham, yang tidak sealiran, yang tidak satu kelompok, yang tidak satu geng, yang tidak satu golongan, dianggap musuh.

Tentu, ini berbeda dengan yang dimaksudkan Jenderal Sigit.

***

Jumpa pers Kapolri (Foto: Kompas.com)

Ultimatum Jenderal Sigit menegaskan bahwa tidak ada ruang untuk netralitas dalam perang melawan kekerasan, kejahatan dalam segala macam bentuk dan manifestasinya, termasuk pamer kemewahan.

Artinya, tidak hanya terbatas pada kejahatan kriminal. Tetapi juga terhadap kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan politik, kejahatan ekonomi, kejahatan budaya, kejahatan moral, kejahatan sosial, kejahatan etika, dan sebagainya.

Kejahatan memiliki banyak wajah, banyak rupa, banyak baju. Maka ada ujar-ujaran, misalnya lupus pilum mutat non mentem, serigala mengubah bulunya bukan pikirannya. Ada lagi, musang berbulu domba.

Pendek kata, hanya ada “ya” atau “tidak.” Kalau “ya” berarti melawan kejahatan dan “tidak”, berarti membiarkan atau malah mendukung kekerasan dan kejahatan atau bahkan ambil bagian dalam kejahatan.

Dalam praktiknya, tidak mudah melaksanakan hal itu. Dibutuhkan usaha atau perjuangan luar biasa, tulus, ihklas, dan penuh kesadaran untuk tidak melakukan segala macam bentuk kejahatan. Sebab, meskipun hati nurani  berteriak “Jangan berbuat jahat”; “Jangan melakukan tindak kekerasan”; “Jangan korupsi”; “Jangan pamer kemewahan”, “Jangan gagah-gagahan”, namun manusia memiliki nafsu alamiah, untuk melakukan kekerasan, kejahatan, untuk pamer.

Meski denikian, kata Budi Hardiman (2011) sebuah masyarakat yang tidak memersoalkan kekerasan (kejahatan), sudah kehilangan keberadabannya. Apa jadinya kalau sebuah masyarakat sudah tidak lagi memiliki keadaban.

Maka, menjadi manusia yang berkeadaban adalah keinginan setiap manusia yang tersimpan dalam hati nuraninya. Meskipun, kata orang-orang pandai, nafsu alamiah manusia itu cenderung melakukan kejahatan.

Karena itu kata Albert Einstein, ‘Saya tidak takut kekuatan ledakan bom atom. Yang saya takutkan adalah kekuatan ledakan kejahatan hati manusia.’

Maka hanya manusia itu sendiri yang akan mampu mencegah terjadinya ledakan kejahatan itu. Segala macam aturan, hukum, kode etik profresi, dan ultimatum bisa tidak ada artinya kalau tidak ada niat yang tulus dari lubuk hati yang paling dalam untuk berbuat baik…..

Bagaimana menurut Anda artikel ini
+1
0
+1
0
+1
23
+1
10
Kredensial