PESAN PAK JOKOWI

Presiden Joko Widodo di HUT ke-58 Partai Golkar (Foto: Tribun)

Mungkin karena suasana, hawa, dan sentimen Pemilu 2024,   sudah semakin terasa, maka saat memberikan sambutan pada acara puncak Hari Ulang Tahun Ke-58 Partai Golkar di Hall C, Jiexpo Kemayoran, Jakarta Pusat, Jumat (21/10/2022), Pak Jokowi menyinggung soal pemilihan capres dan cawapres.

Kata Pak Jokowi, dalam menetapkan calon presiden dan wakil presiden harus hati-hati, jangan sembrono, jangan emosi, dan pilih yang tepat. Pilihlah capres-cawapres yang berkualitas, yang memiliki jam terbang tinggi. Dan,  jangan kelamaan mengumumkan capres-cawapres pilihannya.

Presiden itu seperti pilot,  penumpang banyak sekali, seluruh rakyat Indonesia. Dan, pilpres itu memilih pilot dan co-pilot. Ini tidak mudah.

Mengapa semua itu penting? Sebab, kata Pak Jokowi, dalam pembangunan sebuah negara, penting sekali yang namanya stabilitas politik. Stabilitas keamanan juga perlu. Apalagi, dalam situasi dunia yang sangat sulit, sulit dihitung, sulit dikalkulasi, sulit diprediksi.

***

Tepat dan pas, kalau Pak Jokowi memberikan pesan seperti itu. Sebab, ia sudah merasakan, mengalami, dan menjalaninya. Maka tahu persis, pemimpin seperti apa yang dibutuhkan negara pada saat ini dan di masa mendatang dengan persoalan-persoalan yang akan semakin rumit, kompleks, dan berat.

Apalagi, menjadi presiden–presiden Indonesia yang harus terus menjaga persatuan, kesatuan, dan keutuhan negara-bangsa yang sangat plural ini, yang terus-menerus direcoki kekuatan-kekuatan yang terus berusaha mengikis pondasi dasar negara–tidak mudah, tidak ringan. Terlebih lagi dalam kondisi perekonomian dunia yang sangat berat saat ini dan yang ke depan akan semakin berat.

Maka itu, yang dibutuhkan negara dan bangsa ini adalah pemimpin yang mau bekerja; bekerja secara sungguh-sungguh, tulus, ihklas untuk kesejahteraan bangsa dan negara, bukan kesejahteraan keluarga, kelompoknya, golongannya, atau partainya sendiri.

Itu berarti dibutuhkan manusia pekerja sebagaimana fitrahnya, homo faber--manusia mahkluk yang bekerja, bukan sekadar manusia berkata-kata, bukan manusia yang lihai membual. Dictum, factum–apa yang dikatakan, itu pula yang dilakukan. Jadi bukan no action talk only, hanya ngomong doang tidak bertindak alias omdo.

Selain itu, yang dibutuhkan negeri ini bukan pemimpin yang hanya sibuk mencari pujian, yang pandai mengritik dan mengeluh, serta  yang mencari keuntungan diri. Tetapi, pemimpin yang berkarakter, yang jujur, berani berkorban, tulus serta mau dan rela mengabdi demi terciptanya kesejahteraan bersama.

Dulu, Bung Karno mengatakan, menjadi pemimpin itu berarti menjalankan Ampera, amanat penderitaan rakyat. Itu berarti, memimpin itu menjalankan amanat rakyat–bukan amanat kelompoknya sendiri–untuk mengatasi berbagai masalah yang menjerat rakyat. Memimpin” adalah lebih berat daripada sekadar “Melaksanakan”. “Memimpin” adalah lebih berat daripada sekadar menyuruh melaksanakan”! (1966)

Maka itu, yang dibutuhkan pemimpin yang mau bekerja sungguh-sungguh. Sebab, dengan bekerja, manusia semakin menjadi dirinya sendiri. Dengan bekerja manusia semakin manjadi manusiawi. Kerja merupakan sarana manusia untuk aktualisasi diri. Dengan bekerja, manusia menyadari diri sebagai makhluk yang mampu mengembangkan diri, mampu membawa perubahan, baik pada skala kecil maupun pada dunia yang lebih luas.

***

Foto: Antara-Jateng, Antaranews.com

Pesan Pak Jokowi itu, amat menarik. Bahkan, bukan hanya sangat menarik tetapi amat penting. Sangat penting bagi keselamatan dan kesinambungan bangsa dan negara ini.

Pesan itu amat penting bagi berlanjutnya, terjaganya kesinambungan pembangunan Indonesia yang sudah berlangsung selama ini–sekurang-kurangnya delapan tahun terakhir. Sehingga, nantinya pemimpin baru tidak tergoda untuk menganut filosofi SPBU: Mulai dari nol!

Filosofi seperti itu bisa saja terjadi kalau ego pemimpin baru sangat tinggi, ingin menonjolkan diri sendiri, dan tidak menghargai capaian-capaian pendahulunya bahkan menganggap remeh. Itu berarti, negeri ini membutuhkan pemimpin yang  membangun bukan menghancurkan, yang menghidupi bukan memeras, yang mendukung dan memperkuat bukannya malah mendominasi.

Tentu, pesan Pak Jokowi juga sangat penting bila dimasukkan dalam konteks menjaga, merawat,  memelihara  keberlangsungan Indonesia sebagai negara yang majemuk dalam banyak hal, yang berdasarkan Pancasila dan UUD 45. Hanya orang yang mengetahui, memahami, dan mau merawat sejarah bangsa saja yang pantas menjadi pemimpin negara yang majemuk, yang plural ini.

Kata pujangga agung Raden Ngabehi Ranggawarsita: mundhak apa aneng ngayun pangarsa, … siniramam banyu lali;  apa sih gunanya menjadi pemimpin…bila ketambahan lupa diri..

Maka, Pak Jokowi berpesan harus hati-hati, jangan sembrono, jangan emosi, dan pilih yang tepat. Karena yang dibutuhkan negeri adalah pemimpin yang memiliki kekuatan tindakan, bukan kekuatan omongan; memiliki  kekuatan relasional karena harus merangkul serta menyatukan seluruh anak bangsa, tanpa membeda-bedakan apa pun alasannya.

Selain itu, yang dicari negeri ini adalah pemimpin yang memiliki nilai integritas tinggi, melakukan yang baik dan dengan jujur mengatakan yang benar; yang memiliki kesadaran akan perubahan, sebab dunia secara terus menerus mengalami perubahan. Kata pepatah tempora mutatur et nos mutamur in illis, waktu berubah dan kita pun berubah karenanya.

Maka, pemimpin menggunakan visi untuk menghadapi perubahan yang terjadi. Dengan  menggunakan visi, seorang pemimpin dapat mengantisipasi apa yang mungkin terjadi di masa depan, mengetahui apa dampaknya bagi negara dan bangsa dan mengetahui
konsekuensi atas pilihan yang diambilnya….

Kini, adakah atau sekurang-kurang kita sudah melihat atau bahkan memiliki tokoh yang akan mampu menjadi pemimpin seperti itu? Bagaimana dengan para tokoh yang namanya sudah beredar, baik karena telah dideklarasikan maupun yang belum tetapi disebut-sebut baik dalam survei-survei maupun oleh anggota masyarakat?

Tempus erit loqui est, waktulah yang akan bicara. ****

***

Bagaimana menurut Anda artikel ini
+1
0
+1
2
+1
49
+1
11
Kredensial