TOKOH MUNAFIK

    Ilustrasi gambar: Istimewa

Hari Minggu pagi dua hari lalu, pukul 09.00  tiba-tiba sahabat saya Sukidi, menelepon. Sukidi adalah salah seorang cendekiawan muda Muhammadiyah, peraih gelar PhD dari salah satu universitas kondang di dunia, Universitas Harvard, AS.

Saya kaget sekaligus senang, pagi-pagi sudah ditelepon sahabat baik yang sudah berkali-kali janjian untuk ketemuan. Tapi, sampai saat ini belum terwujud.

“Selamat menyongsong Muktamar Muhammadiyah – ‘Aisyiyah ke-48, sobat,” uluk salam saya padanya. “Terima kasih banyak, Mas” jawabnya. Muktamar akan diselenggarakan di Solo, pada 18 – 20 November 2022, dua hari setelah KTT G20 di Bali berakhir.

Kata Sukidi, muktamar–selain musyawarah dan tanwir–adalah wujud tradisi demokrasi Muhammadiyah, yang didirikan pada tahun 1912. Karena tradisi itu, Muhammadiyah memraktikkan dan menempa nilai-nilai inti berdemokrasi seperti liberty (kemerdekaan), justice (keadilan), equality (kesetaraan), dan fraternity (persaudaraan).

***

    Dasamuka, sepuluh wajah

Obrolan lewat telepon pagi itu, tak ada temanya. Namanya saja ngobrol, ya ngomong ke sana ke mari. Mula-mula, Sukidi mengomentari tulisan saya, “Pesan Pak Jokowi” di triaskredensialnews.com. Setelah itu, obrolan kami masuk ke soal budaya politik Indonesia.

“Mas, sampeyan ingat kan, sifat manusia Indonesia yang dulu dibeberkan Mochtar Lubis?” tanya Sukidi.

Sifat manusia Indonesia itu, dulu diungkapkan wartawan sekaligus budayawan kondang Mochtar Lubis, dalam pidato kebudayaannya di Taman Ismail Marzuki, 6 April 1977. Pidato itu diberi judul “Manusia Indonesia”, yang ketika dibukukan diberi judul yang sama.

Mochtar Lubis menyebut ada enam sifat manusia Indonesia yang khas, melekat, dan sulit diubah. Keenam sifat tersebut adalah munafik atau hipokrit, enggan dan segan bertanggung jawab, berperilaku feodal, percaya takhayul, artistik, dan berkarakter lemah.

Kata Sukidi, sifat hipokrit itu hingga kini masih begitu kental. Apalagi dalam dunia politik. Lalu, muncul istilah politik hipokrit. Ciri khas politik hipokrit, misalnya, pencitraan, berperilaku baik dan tampil bak orang suci di momen – momen politik. Tapi, di momen dan tempat lain, akan mengatakan hal yan berbeda untuk isu yang sama.

Politik hipokrit adalah politik bermuka dua. Bermuka dua saja sudah memuakkan, apalagi bermuka sepuluh seperti Rahwana.

Karena bermuka dua, maka ada istilah “esok dele, sore tempe”, mencla-mencle, nggak bisa dipegang omongannya. Karena yang disampaikan tidak sama dengan suara hatinya. Benar kata pepatah, lidah tak bertulang.

Karena lidah tak bertulang, ada orang yang ngomong sesukanya, asal bicara. Tak peduli omongannya itu tidak memiliki dasar. Tak berdasar. Padahal, ajining diri gumantung saka lathi, harga diri manusia tergantung pada apa yang diucapkan.

***

Ilustrasi gambar: Clipart Guide

Mas, hipokrit itu sama artinya dengan munafik. Istilah ini, hipokrit,  berasal dari bahasa Yunani yaitu hypokrites. Kata ini merujuk pada aktor yang biasanya memakai topeng. Manusia bertopeng. Manusia berwajah ganda. Maka kelakuannya pun, ganda.

Istilah kemunafikan pada umumnya dimengerti sebagai kepura-puraan yang disadari. Yakni, berpura-pura atau berlagak sebagai orang yang lebih baik dari siapa dia yang sesungguhnya. Maka, istilah munafik (muna)  sering ditujukan kepada mereka yang suka berpura-pura dan menipu orang lain untuk kepentingan pribadinya.

Dengan kata lain,  berlaku munafik mencerminkan perbedaan antara apa yang ada di dalam dan yang ada di luar, kontras antara hati dan bibir, mengatakan namun tidak melakukan. Istilahnya, omdo, omong doang.

Sekarang ini, kemunafikan terjadi di mana-mana dalam berbagai aspek kehidupan, entah dalam kehidupan personal, kehidupan kemasyarakatan, lingkungan sekolah,  bahkan agama. Tidak hanya dalam dunia politik.

Dalam bahasa agama, misalnya, munafik itu  berarti berbeda perbuatan dengan ajaran. Kesalehan palsu. Itu berarti  menampakkan apa yang tidak sesuai dengan kondisi sejatinya. Maka ketika seseorang menampakkan sesuatu yang berlawanan dengan keadaan batinnya, itu perbuatan munafik.

Kini, tidak terlalu sulit menemukan orang-orang munafik. Orang munafik lebih mudah melihat dan menilai kesalahan orang lain, tetapi tidak melihat kesalahannya sendiri yang mungkin lebih parah. Lebih mudah melihat selumbar di mata orang lain, dibanding balok di matanya sendiri. Orang munafik cenderung suka menghakimi orang lain, dan lalai melakukan introspeksi terhadap dirinya sendiri atau bahkan tutup mata terhadap kesalahan, kekurangan diri sendiri.

Keselarasan antara perkataan dan tindakan, antara kepercayaan dan praktik hidup sehari-hari, merupakan persoalan serius di negeri ini.

***

Ilustrasi gambar: Depositphotos

Setelah ngobrol dengan Sukidi, saya ingat kiriman WA dari Pakde Karjono. Hari Minggu pagi, sebelum menerima telepon dari sobat Sukidi, saya menerima WA dari Pakde. Demikian bunyi WA Pakde:

Secara komparasi, tampaknya, Pilpres 2024 akan jauh berbeda dibanding pilpres-pilpres sebelumnya. Karena di masa lalu seorang Presiden tidak lebih dari pada tokoh dengan pribadi yang menonjol, primus inter pares saja. Namun pilpres mendatang, menuntut tokoh yang “limited addition”  seperti Pak Jokowi; bukan sekadar standar “SNI”.

Dari sebab itu, jika rakyat sadar akan pilihan itu, maka tokoh-tokoh yang  Omdo (omong doang), baperan, dan juga munafik atau hipokrit, tidak akan dimaui rakyat yang mencintai negara ini, yang ingin menyelamatkan negeri ini. Rakyat yang pinter dan cerdas, tidak akan rela negara ini jatuh ke tangan tokoh seperti itu.

Seleksi alam akan menentukan siapa yang paling layak untuk jabatan tertinggi di negeri ini, yang akan menjadi nahkoda bahtera Indonesia mengarungi laut dalam, menghadapi ombak dan badai.

Kata Pakde, rakyat harus mencari dan memilih yang dignissimus inter digniores, yang terlayak di antara yang paling layak….. ***

Bagaimana menurut Anda artikel ini
+1
0
+1
0
+1
30
+1
11
Kredensial