BUNUH DIRI POLITIK

Ilustrasi: Dreamstime.com

Di daerah Gunungkidul, hingga kini masih hidup mitos Pulung Gantung.  Sebagian masyarakat Gunungkidul meyakini, bunuh diri  di daerah itu terjadi sebagai akibat pelaku bunuh diri terkena atau kejatuhan Pulung Hantung. Sebenarnya, mitos pulung gantung ini melegitimasi tindakan bunuh diri masyarakat.

Dalam magis religi masyarakat Jawa, pulung atau bola api yang melayang di angkasa adalah tanda gaib sebuah kejadian yang bakal terjadi. Pulung ini juga sering disebut wahyu. Dalam falsafah Jawa wahyu adalah wujud kelimpahan rahmat dan pencerahan Tuhan kepada seseorang.

Kata Darmaningtyas (2002), Pulung Gantung adalah sejenis benda angkasa mirip balon berekor panjang berwarna merah –berbentuk mirip seperti siwur (gayung tradisional yang terbuat dari batok kelapa dan punya pegangan dari bambu atau kayu sekitar 50 cm)– yang berjalan di angkasa dari satu titik ke titik yang lain dan kemudian jatuh di suatu tempat.

Masyarakat tidak tahu persis asal-muasal kemunculannya. Tiba-tiba, masyarakat melihat bola atau balon warna merah dan berekor itu sudah melayang di udara. Dan, lalu jatuh.

Kata I Wayan Suwena (2016), Pulung Gantung yang semestinya dimaknai sebagai gejala alam biasa, tetapi dimaknai sebagai pertanda atau isyarat kejadian bunuh diri dengan cara menggantung diri. Lalu, penceritaan Pulung Gantung dan pelaksanaan serangkaian ritual pasca kejadian bunuh diri menjustifikasi bahwa tindakan bunuh itu sebagai suatu proses kematian yang alami dan dianggap wajar.

***

    Dreamstime.com

Yang terjadi di Korea Selatan pada dasawarsa 1970-an, 1980-an, dan 1990-an, berbeda lagi. Meskipun, sama-sama urusan bunuh diri. Kata Park Byeong-chul (1994), pada waktu itu, di Korea Selatan terjadi banyak bunuh diri yang dilakukan para aktivis muda.

Bunuh diri itu dilakukan didorong oleh motivasi politik. Mula-mula bunuh diri, dilakukan oleh Chun Tae-il pada tahun 1970, seorang buruh. Bunuh diri dilakukan sebagai bentuk protes terhadap pemerintah.  Karena itu disebut bunuh diri politik. Tindakan Chun Tae-il  diikuti banyak aktivis pada dasa warsa 1980-an dan 1990-an.

Pada dasa warsa 1970-an dan 1980-an, Korea Selatan diperintah oleh tiga pemimpin militer otoritarian: Park Chung-hee, Chun Doo-hwan, dan Roh Tae-woo. Kondisi politik di bawah tiga pemimpin militer itu sangat represif. Diberlalukan undang-undang darurat. Demonstrasi dilarang. Gerakan buruh dilarang juga. Dan, pemerintah memberlakukan sensor.

Mereka, para aktivis yang kritis, ditangkap dan disiksa. Demikian pula para tokoh oposisi ditangkap oleh Dinas Intelijen Pusat (KCIA) dan Dinas Intelijen Militer.

Situasi seperti itu, melahirkan semacam sikap altruistik dari para aktivis muda Korea Selatan–entah itu mahasiswa, buruh, LSM, maupun partai. Mereka rela mengorbankan diri, mengakhiri hidupnya demi orang, pihak lain. Tindakan bunuh diri mereka dimotovasi oleh perasaan dedikasi atau kewajiban demi tegaknya keadilan. Di Tunisia pada 17 Desember 2010, Mohammad Bouazizi, bakar diri sebagai bentuk protes yang kemudian mengobarkan Revolusi Musim Semi.

Tapi, ada yang berpendapat bunuh diri di Korea Selatan dilakukan sebagai bagian “konspirasi organisasi” oleh anggota kelompok politik tertentu yang anti-pemerintah. Tujuannya adalah untuk menarik perhatian, memanupulasi kesadaran publik.

***

Ilustrasi gambar: Istimewa

Yang terjadi Korea itu, tentu beda dengan pengertian “bunuh diri politik” awal mula istilah itu muncul. Frase “bunuh diri politik”, kata Eric Parisot, Flinders University pertama kali digunakan di Inggris, pada pertengahan abad delapan-belas. Yakni untuk menggambarkan manuver politik yang  akan mengakhiri karir seorang politisi. Manuver politik itu antara lain dengan membuat kebijakan yang menghancurkan diri sendiri.

Yang oleh politicaldictionary.com dirumuskan sebagai tindakan tidak populer yang kemungkinan akan menyebabkan kekalahan seorang politisi  dalam pemungutan suara  berikutnya atau menyebabkan politisi itu mengundurkan diri dari jabatan publik.  Tindakan itu bisa berupa kebijakan, keputusan politik, atau pernyataan politik yang oleh banyak orang dinilai “bodoh”, blunder.

Karena pernyataan, tindakan atau kebijakan “bodoh” yang merugikan dirinya sendiri, seorang politisi atau partai politik kehilangan dukungan dari publik, dari masyarakat. Tindakan atau kebijakan seperti itu dapat merugikan dirinya atau posisinya sebagai yang pemegang kekuasaan.

Bunuh diri politik itu juga dapat terjadi saat kampanye.  Misalnya, membuat pernyataan dan keputusan salah atau malah diistilahkan stupid mistakes, kesalahan konyol. Karena tindakan itu, baik verbal maupun non-verbal, politisi atau partai politik kehilangan dukungan publik (urbandictionary.com).

Bunuh diri politik bisa juga terjadi manakala politisi atau partai politik tidak melakukan apa-apa dan melakukan sesuatu yang mungkin menyabotase masa depan politiknya sendiri.

***


Kalau di Gunungkidul, kepercayaan tentang mitos pulung gantung–yang melekat di masyarakat dan sulit dijelaskan– telah mendorong orang nekat bunuh diri; yang sebenarnya lari dari keruwetan hidup.  Di Korsel, tindakan represif penguasa menjadi salah satu penyebab aktivis  bunuh diri, sebagai bentuk pengorbanan.

Di Indonesia, sekarang ini, oleh  Dubes RI untuk Tunisia (2017-2021) Ikrar Nusa Bhakti (Kompas,  31/10), bunuh diri politik dikaitkan dengan elektabilitas bagi partai politik jelang pemilu. Kata Ikrar, “Jika ada partai atau gabungan partai yang mengajukan capres-cawapres, yang elektabilitasnya rendah, itu sama artinya partai itu melakukan bunuh diri politik.”

Memang, akhir-akhir ini sejumlah lembaga survei merilis hasil survei mereka tentang elektabilitas capres dan partai politik, serta kepemimpinan nasional.

Hasil survei, memang bisa bikin hati gundah gulana; tak tenang, karena tak sesuai dengan prediksinya; tak sesuai dengan apa yang dimauinya, tak seperti yang diharapkan. Meskipun bisa juga menjadi bangga dan lalu berlagak seakan-akan sudah menjadi presiden.

Yang kecewa terhadap hasil survei, kadang ada yang mengatakan, “Berdasarkan survei internal, jago kami masih unggul atas jago lawan.”

Yah, meski ini pernyataan bernada penghiburan bagi diri sendiri yang gundah-gulana, ya tetap sah-sah saja. Apa salahnya memuji diri sendiri, sekurang-kurangnya untuk menenteramkan hati.

Tapi, eh, siapa tahu, tahun depan di saat disurvei dilakukan lagi oleh lembaga-lembaga survei yang kredibel, elektabilitasnya sudah naik. Masih ada waktu untuk memoles diri, membangun citra, masih ada media sosial yang bisa dimanfaatkan….

Bukankah, kata banyak orang, politik itu soal persepsi dan pencitraan…***

Bagaimana menurut Anda artikel ini
+1
1
+1
1
+1
19
+1
3
Kredensial