THE WOMAN OF SALERNO

Salerno dari atas bukit

Salerno segera mengingatkan pada “The Woman of Salerno.” Ketika pertama kali mendengar sebutan “The Woman of Salerno“, saya sempat bertanya-tanya: apakah istimewanya perempuan dari Salerno, wanita dari Salerno? Apakah sangat cantik menawan hati? Atau bagaimana? Apakah sama dengan “Garota De Ipanema” atau The Girl From Ipanema“-nya Frank Sinatra?

Coba simak lirik lagu The Girl From Ipanema ini:

Tall and tan and young and lovely
The girl from Ipanema goes walking
And when she passes
Each one she passes goes – ah

When she walks, she’s like a samba
That swings so cool and sways so gentle
That when she passes
Each one she passes goes – ooh

Tapi ternyata, “The Woman of Salerno” tidak kalah hebat dari “The Girl from Ipanme.” Sebab, sejarah mengisahkan  Schola Medica Salernitana di Salerno dicatat sebagai sekolah kedokteran Barat pertama, yang mewarisi tradisi kedokteran Yunani, Latin, Yahudi, dan Arab. Ada pertemuan budaya lewat sekolah kedokteran tersebut.

Menurut catatan yang ada,  sekolah itu didirikan pada abad kesepuluh. Tapi, catatan lain menyebutkan di abad sebelumnya. Bahkan, ada yang menulis tahun 900.

Yang lebih hebat lagi, menurut Zoë Alaina Ferraris dan Victor A. Ferraris (1997), sekolah kedokteran di Salerno inilah yang pertama kali menerima mahasiswa perempuan. Kata mereka, perempuan dokter pertama di Schola Medica Salernitana adalah Trotula de Ruggiero atau Trocta Salernitana. Dari sinilah lahir istilah “The Woman of Salerno.”

Perempuan dari Salerno sangat hebat dan membuat orang berdecak kagum seperti melihat “The Girl From Ipanema“, melintas. Apalagi, para perempuan dokter di Salerno berkontribusi pada buku teks yang didistribusikan secara luas di seluruh Eropa. Buku teks tersebut, yang diberi nama De Passionibus Mulierium, pertama kali diterbitkan sekitar tahun 1100 M.

***

Melintas di depan pintu gerbang

Salerno yang terpisah jarak 267 km dari Roma, memiliki sejarah panjang. Kota yang masuk wilayah Campania, Italia Selatan ini berdiri tegak selama berabad-abad di mulut Sungai Irno yang memuntahkan airnya ke Teluk Salerno. Teluk Salerno bagian dari Laut Tyrenia yang terhubung dengan Laut Mediterania. Laut-laut inilah yang menjadi jalan perjalanan budaya Yunani dan Arab ke tanah Italia.

Maka banyak jejak sejarah tertinggal di kota yang sekarang dibagi menjadi tiga sektor: sektor abad pertengahan, sektor abad ke-19, dan area pasca-PD II yang padat penduduknya.

Bahkan, buku-buku yang berkisah tentang Salerno, kota 56 km sebelah tenggara Napoli, menyebutnya: Sejarah kota Salerno sangat kuno, dengan bukti sejarah paling awal berasal dari zaman Etruria. Selama berabad-abad, berbagai peradaban telah meninggalkan jejaknya: Romawi, Lombard, Normandia, Swabia, Angevin, dan seterusnya, hingga tahun 1944 ketika kota ini terpilih sebagai ibu kota Italia dari 11 Februari hingga 15 Juli.

Jejak sejarah demikian panjang, maka kisahnya pun pasti panjang. Misalnya, Salerno pernah diduduki orang-orang Lombard. Padahal, orang-orang Lombard berasal dari Skandinavia, tiba di Italia pada abad keenam. Mereka mula pertama tinggal di Italia Utara lalu bergerak ke Selatan dan menguasai Salerno.

Di Salerno pula, seperti di bagian awal cerita ini sudah disebutkan, sekolah kedokteran pertama di Barat didirikan, dan tempat para dokter dan peneliti Kristen, Yahudi dan Arab bekerja sama di Salerno. Fakultas Kedokteran Salerno juga dikenang sebagai sekolah pertama yang menerima perempuan sebagai mahasiswa dan dosen: “The Woman of Salerno”; juga dikenang sebagai wujud nyata dari toleransi dari berbagai peradaban dan budaya.

Tetapi, kami ke Salerno, kota di Wilayah Campania, Italia Selatan yang berdiri tegak di mulut Sungai Irno yang memuntahkan airnya ke Teluk Salerno lalu masuk ke Laut Tryrenia tidak untuk mencari atau bertemu “The Woman of Salerno“. Kami ke Salerno untuk membangun sebuah jembatan pertemuan. Ini mengingatkan bahwa Salerno pada suatu masa pernah menjadi tempat pertemuan budaya Yunani, Yahudi, Kristen, dan Arab.

Inilah praktik komunikasi lintas budaya pada masa itu, yang salah satu buahnya adalah Schola Medica Salernitana. Kami ke Salerno membawa misi kebudayaan. Atas undangan para romo dari Kongregasi Misionaris Xaverian, kami memberikan pelatihan membatik kepada anggota Komunitas Xaverian dan para siswa Instituto Tecnico Galilei di Palo (semacam SMK).

Ini kali yang kedua, para romo dari Kongregasi Misionaris Xaverian, mengundang kami, KBRI Takhta Suci. Para romo dari kongregasi yang didirikan oleh St Guido Maria Conforti, Uskup Parma pada tahun 1895 ini, sangat menggandrungi semboyan bangsa Indonesia, Bhinneka Tunggal Ika. Maka, mereka lantas menggelar pameran Bhinneka Tunggal Ika. Dan, kami pun diundang untuk ambil-bagian dalam pameran itu.

Kongregasi yang mengusung misi dialog antar-budaya dan antar-agama (intercultural and interfaith dialogue), mewujudkan misinya, antara lain, dengan menggelar “dialog budaya” dengan Indonesia. Maka itu, lewat “intercultural dialogue” itu kami membangun hubungan, kerja sama, dan membangun persaudaraan.

Budaya menjadi jembatan pertemuan kami. Praktik komunikasi lintas budaya sederhana yang kami lakukan yakni dengan memberikan pelatihan membatik. Batik menjadi sarana bagi terbangunnya budaya perjumpaan.

***

Patung St Mateus terbuat dari perunggu karya Michelangelo Nacherino (1606)

Budaya perjumpaan, banyak wujudnya. Saat pertama kali ke Salerno, kami diajak keliling kota oleh Romo Rosario, dikenalkan dengan masa lalu. Masa lalu yang selalu aktual, pinjam istilahnya P Swantoro. Masa lalu yang (semestinya) menjadi guru kehidupan, magistra vitae. Tetapi, kita cenderung membuang masa lalu, melupakannya, dan menganggapnya sebagai masa yang usang.

Kami melihat masa lalu Salerno. Mula-mula, Romo Rosario membawa kami ke sebuah bukit; dari bukit itu kami melihat pemandangan yang elok di bawah: laut biru, perahu-perahu, kapal-kapal dan juga bangunan-bangunan, gedung-gedung yang menguasai permukaan tanah Salerno. Lalu, Romo Rosario membawa kami menyusuri gang-gang, ke taman kota (Giardino della Minerva atau Taman Minerva) sebuah Taman Botani di tengah kota. Di taman, kami dibelikan es cream legendaris. Kata Romo Rosario, warung es cream itu sudah ada sejak zaman dulu; saya tidak tahu, dulu kapan.

Katedral St Mateus atau Katedral Salerno, menjadi ujung ziarah budaya kami bersama Romo Rosario, siang itu. Inilah katedral yang menyimpan sisa-sisa jenazah St Mateus. Menurut cerita, jenazah St Mateus dibawa ke Salerno pada tahun 954 M dari Ethiopia tempat St Mateus berkarya dan wafat.

Sejarah mencatat, katedral dibangun pada tahun 845. Lalu, direnovasi antara tahun 1076 hingga 1085. Di basilika itu juga ada makam Paus Gregorius VII (bertakhta, 1073 – 1085) yang meninggal pada tahun 1085 (saintsinrome.com). Gempa bumi yang menggoncang Salerno, pada 5 Juni 1688, menghancurkan katedral; dan baru dibangun kembali pada abad ke-17.

Kami melihat katedral itu, mengaguminya. Di dalam katedral ada patung perunggu St Mateus karya Michelangelo Naccherino (1550 – 1622) buatan tahun1606 yang selamat dari gempa. Patung diletakkan di atas altar itu menggambarkan St Mateus sedang menulis Injil. Sebuah buku diletakkan di atas lutut kirinya, tangan kanannya memegang pena.

Di sisi kirinya, persis di atas lengannya, malaekat kecil memegangi tempat tinta sambil berdiri agak membungkuk. Apakah malaekat kecil itu juga sambil membisikkan sesuatu atau kalimat-kalimat suci kepada St Mateus? Hanya Michelangelo Naccherino, sebagai pematungnya, yang tahu. Indah sekali. Patung indah.

***

Belajar membatik

Itulah perjalanan budaya kami ke Salerno. Di kota itu, ternyata kami menemukan “The Woman of Salerno” yang cantik berkat pertemuan kami dengan komunitas Xaverian dan para siswa Instituto Tecnico Galilei di Palo….**

foto-foto lainnya:

               

               

               

 

               

               

 

Bagaimana menurut Anda artikel ini
+1
0
+1
0
+1
36
+1
20
Kredensial