Lembah-lembah hijau yang dingin sudah kami tinggalkan di bawah. Jalan makin menanjak dan berkelok-kelok. Kabut tipis menyelimuti lereng-lereng gunung yang hijau. Tujuan kami adalah Della Verna atau La Verna, La Verna Sanctuary.
Ini kunjungan kedua kami ke La Verna Sanctuary, yang berjarak sekitar 271 km sebelah utara Roma, daerah pegunungan, untuk menghadiri kaul kekal 21 suster yang 12 orang di antaranya dari Indonesia. Kunjungan kami yang pertama dulu, juga menghadiri kaul kekal para Suster Francescanes di St Elisabetta.
La Verna adalah tempat berdoa, merenung, dan berefleksi. Di tempat inilah dahulu, 17 September 1224, St Fransiskus Asisi (1181-1226) mendapatkan stigmata. Dalam tradisi Gereja Katolik, stigmata merupakan salah satu pengalaman mistik keagamaan orang-orang suci (santo/santa) yang diyakini sebagai mukjizat dari Allah. St. Fransiskus Asisi adalah Santo pertama yang tercatat menerima stigmata.
Stigmata berarti luka yang di derita Yesus sejak ditangkap, diadili, hingga disalibkan dan muncul secara tiba-tiba. Maka stigmata yang dialami oleh para stigmatist berkaitan dengan kelima luka seperti luka- luka Kristus yaitu: di kedua tangan, kaki dan lambung.
Munculnya luka stigmata disebabkan oleh pengalaman rohani dan bukan sebab alamiah. Gereja memastikan hal tersebut bukanlah suatu tanda yang ditiru kuasa gelap.
St Fransiskus Asisi menerima stigmata di tempat itu setelah berpuasa dan bertapa 40 hari. Maka dikatakan, di La Verna ini, alam dan spiritualitas menemukan keseimbangannya. Kompleks La Verna Sanctuary ini mencakup gereja kecil Santa Maria degli Angeli, yang dibangun oleh Fransiskus sendiri; koridor dan Kapel Stigmata Suci, serta Basilika di Santa Maria Assumpta.
***
Hening. Pagi itu. Suasana di dalam basilika La Verna, Basilica Maggiore yang berdiri pada ketinggian 1128 meter di salah satu lereng Gunung Penna itu, juga hening. Keheningan lah yang menguasai basilika bergaya Barok-Renaisans yang dibangun mulai tahun 1348 dan selesai tahun 1509.
Di luar basilika yang oleh para peziarah disebut Fransiscan Sanctuary itu, udara dingin yang berkuasa. Berdiri berlama-lama di piazza kecil di depan basilika yang di bagian agak tengahnya berdiri salib kayu sekitar 10 meteran tingginya, hanya akan membiarkan tubuh dipeluk kedinginan. Melihat ke bawah, terlihat kabut bergerak pelan-pelan menguasai lereng gunung berhutan pinus.
Keheningan seperti di dalam basilika, yang semua tempat duduknya sudah penuh para suster dan umat, pernah saya rasakan di Abbazia delle Tre Fontane atau Biara Tiga Mata Air di Roma. Saat itu, saya mengikuti ibadat doa para rahib dan rubiah.
Para rahib dan rubiah, secara bergantian mendaraskan doa bahasa Latin dengan dinyanyikan. Suara mereka sungguh merdu, bahkan mistis; mengetuk-ngetuk hati dan melambung tinggi menembus langit. Doa orang rendah hati, menembus awan:
De profundis clamavi ad te, Domine (Dari jurang yang paling dalam aku berseru kepada-Mu, ya Tuhan);
Domine, exaudi vocem meam (Tuhan, dengarkanlah suaraku)
Fiant aures tuae intendentes in vocem deprecationis meae (Biarlah telinga-Mu menaruh perhatian pada suara permohonanku).
***
Keheningan pagi itu dirobek seperti kain tipis, ketika para suster yang mengucapkan kaul kekal itu bersama koor menyanyikan lagu “Ecce venio ad Te”:
Ecce venio ad Te, dulcissime Domine, quem amavi, quem quaesivi… quem semper optavi, dulcissime Domine.
(Lihatlah, aku datang kepada-Mu, Tuhan yang kucintai, yang kucari… yang senantiasa kuinginkan, Tuhan yang sangat baik hati).
Lagu yang sangat indah ini, lirik dan komposisi lagunya ditulis oleh Bishop Tranquillo Guarneri on May 10, 1918. Sebelum Guarneri menulis lagu itu, pada abad ketiga St Agnes sudah mendaraskan doa yang hampir sama. Mungkin Guarneri terinspirasi doa St Agnes ini:
Ecce, venio ad te, quem amavi, quem quæsivi,
quem semper optavi
(Lihatlah, aku datang kepadamu yang kucintai, yang kucari, yang senantiasa kuinginkan).
Dengan menyanyikan lahu Ecce venio ad Te, mereka tidak hanya datang pada Tuhan, melainkan lebih jauh lagi, yakni menyerahkan diri sepenuhnya: “Inilah aku. Inilah hidupku seutuhnya. Hidupku ini seluruhnya kubawa kehadapan Tuhan….”
Itulah inti dari kaul kekal mereka; sebenarnya juga pertama dan kedua mereka: menyerahkan seluruh hidupnya kepada “Yang Empunya Kehidupan.”
Mereka bersama-sama mempersembahkan diri secara total. Lihatlah, inilah aku. Inilah hidupku seutuhnya. Utuslah aku, pakailah hidupku. Aku siap untuk menghadapi segala risiko
Mereka tidak hanya mengucapkan kata-kata kosong, namun melakukannya. Mereka tidak hanya berjanji, tapi terus menggenapinya. Mereka tahu, kepada siapa mereka menyerahkan tidak hanya jiwa-raganya, tetapi seluruh hidupnya.
Sambil membuka dan merentangkan tangannya seperti sebuah buku yang dibuka, mereka berdiri dengan penuh hormat dan penuh kerendahan hati di dalam kehadiran Allah.
Ketika lagu itu mengalun, suara para suster memenuhi gereja, semua terdiam. Semua terhanyut seperti dibawa menyusup ke semua sudut-sudut gereja, ke balik patung-patung orang-orang kudus yang indah, menempel ke fresko-fresko indah di dinding dan langit-langit basilika.
***
Dengan mempersembahkan diri, mereka berkaul untuk setia dan taat pada panggilan hidupnya. Karena mereka tidak hanya tahu tetapi meyakini bahwa masing-masing tugas panggilan ada rahmat atau karunianya sendiri.
Kata Paus Fransiskus, kepada para peserta Sidang Pleno Kongregasi untuk Tarekat Hidup Bakti dan Serikat Hidup Kerasulan, 28 Januari 2017: kesetiaan dan ketekunan adalah kunci keutamaan kehidupan kaum religius.
Banyak orang tahu kuncinya itu, tetapi tidak bisa atau tidak mau menggunakannya. Mereka memilih untuk mendobrak, menjebol pintu atau mendobrak jendela dan lalu melompatinya. Mereka beranggapan bahwa menjebol, mendobrak pintu dan jendela adalah aksi kepahlawanan.
Padahal bukan. Itu adalah aksi kepengecutan. Sebab, ketika komitmen untuk taat dan setia menjadi lemah, hal apa pun dapat menjadi alasan untuk meninggalkan jalan yang telah ditempuh dan merusak tatanan yang ada.
Kesetiaan dan ketaatan, memang mudah diucapkan tetapi tidak mudah dilaksanakan. Selalu ada saja yang meruntuhkan kesetiaan dan ketaatan. Apalagi di zaman sekarang ini, budaya serba sementara lah yang paling berkuasa. Semua serba sementara, yang abadi hanyalah kepentingan.
Demi kepentingan maka kesetiaan dan ketaatan pun disingkirkan. Apalagi, dengan segala kebebasan yang dimiliki, manusia bisa dan bebas memilih jalan baik atau jalan sesat; jalan kesetiaan dan ketaatan atau jalan pengkhianatan.
Mereka yang memilih jalan sesat, jalan pengkhianatan, tentu tidak akan pernah berani mengatakan: Ecce venio ad Te….Domine.***
Foto-foto lain:
Membaca artikel yg sangat bagus se olah2 ikut mendengarkan lantunan doa St Agnes, Ecce venio at Te ………
Terima kasih banyak, sudah meluangkan waktu untuk membaca…Salam
Matur nuwun, Mbak Palupi…Sakam
Indonesia mengekspor hidup bakti ke aslnya. Bravo. Didukung oleh alam dan1 babgunaan klasik..menambah suasana sadhu nan mistis. Matur nuwun sekali lagi bung dubes Trias. Krasan ya?
Ki Wahono, injih leres…makin banyak kaum religius yang berkarya di Italia…Mereka hebat-hebat….sungguh menyenangkan dan membanggakan…Berkah Dalem
Inggih leres, Ki Wahono…kathah kaum religius ingkang makarya wonten ing mriki…menyenangkan dan membanggakan…
muwun
Duuhh..merinding, karena terpukau dengan tulisan tentang acara di tempat suci itu, La Verna, dan juga membayangkan dinginnya cuaca memasuki musim gugur menuju musim dingin….Salam sehat selalu mas Trias dan keluarga.
Mbak Yani, matur nuwun…sudah meluangkan waktu membada cerita kecil saya ini..Salam
Cerita yg sejuk penuh kedamaian. Terima kasih pa Dubes sdh membuat kami bisa membayangkan suasana disana walau blm pernah kesana.
Terima kasih banyak Josef, telah meluangkan waktu untuk membacanya…Salam
Pak Josef, terima kasih banyak sudah membaca cerita kecil saya ini…Salam
Baca tulisan dimas Dubes se olah2 kita juga berada disana. Penggambaran suasana yg bener2 mampu membawa pembacanya ikut menikmatinya. Jadi ingat jaman kuliah, *kepentingan* yg sll jadi alasan dalam segala hubungan. Makasih dimas, sehat sll & terus semangat menulis.
Matur nuwun, Mbakyu…mugi tansah sehat lan semangat…matur nuwun ugi sampun maos…
salam
Terima kasih banyak, Mbakyu…semoga selalu sehat dan semangat…salam
Tulisan yg menghanyutkan pak dubes. Seperti ikut menjelajah keheningan rohani. Terima kasih n berkah Dalem
Pakde, matur nuwun…mugi2 seratan puniko saget sekedik dados bahan renungan..Salam
Pak De, matur nuwun…moga-moga bisa jadi bahan renungan kecil
Deskripsi yg sangat bagus . . . Isiselalu menambah cakrawala pengetahuan . . .
Pahin Dab . . .
Suwun, Dab…Sehat-sehat nggih…Salam
Suwun, Dab…tansah sehat nggih…salam
Terima kasih p Trias, “ecce, venio ad te, quem amavi, quem quaesivi” mudah dan indah diucapkan, masih sulit dihayati. Level iman, kejiwaan kami belum sampai/masih mengarah kesitu …
Ya, betul sekali…mudah diucapkan dan ditulis…tapi sangat sulit untuk dilakukan…apalagi tanpa ada niat…Salam…terima kasih
Pak Dismas…terima kasih banyak…telah membaca cerita saya…salam
La Verna yang menggetarkan hati. Proficiat buat 21 suster yang mengikrarkan kaul kekal. Terima kasih Mas Trias. Salam ke Roma.
Dion, terima kasih banyak…Salam
Dion, terima kasih banyak
Tulisan yang sangat berharga untuk dibaca. Terima kasih
Mas Titing, terima kasih banyak..Salam
Sangat jelas terlihat pengalaman Pak Dubes puluhan tahun sebagai penulis. Tulisannya mengalir indah namun mampu melemparkan saya ke dimensi yang tidak saya kenal, kecuali kemudian saya mau sedikit merunduk mempergunakan setitik saja sisa-sisa mata spiritual. Kalau diibaratkan angin, maka tulisan ini adalah angin sepoi-sepoi yang mendadak menggendong badai yang menghempaskan saya ke waktu dan negeri yang tak saya kenal. Indah sekali. Selamat bertugas, Pak Dubes
Pak Bharoto, semoga selalu sehat..dan semangat…terima kasih banyak..sudah rela meluangkan waktu untuk membaca cerita saya ini. Salam.
Terimakasih Mas Trias.
Sarat dengan renungan. Semoga setiap orang setia pada imannya. Selalu saling mendoakan.
Salam
Terima kasih banyak Suster…Salam