TERNYATA, TIDAK MUDAH

Gambar: Istimewa

Beberapa hari terakhir beredar berita dari Cilegon, Banten. Kata Kompas.com(10/9), sejumlah orang yang menamakan diri Komite Penyelamat Kearifan Lokal Kota Cilegon, menolak pembangunan rumah ibadah Gereja HKBP Maranatha di Lingkungan Cikuasa, Kelurahan Geram, Kecamatan Grogol, Kota Cilegon, Banten.

Wali Kota Cilegon Helldy Agustian dan Wakil Wali Kota Cilegon Sanuji Pentamarta ikut menandatangani penolakan tersebut. Kata Direktur Eksekutif Maarif Institute, Abd Rohim Ghazali, yang dilakukan Helldy dan Sanuji merupakan pelanggaran serius terhadap konstitusi.

“Apakah tidak sadar bahwa apa yang Bapak berdua lakukan itu merupakan pelanggaran serius terhadap konstitusi, yakni Pasal 29 Ayat (2) UUD RI yang menyatakan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu,” ujar Rohim Ghazali, melalui rilis surat terbuka yang diterima Kompas.com, Sabtu (10/9/2022).

***

Bukan kali pertama, hal semacam itu terjadi di negeri ini; negeri yang ber-Pancasila. Salah satunya yang menarik perhatian publik–tidak hanya publik dalam negeri tapi juga luar negeri–adalah kasus Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin, Bogor.

Apa yang terjadi di Cilegon, di Bogor, juga di sejumlah wilayah Indonesia lainnya memberikan pesan jelas: Ternyata tidak mudah menjadi Indonesia; menjadi warga negara Indonesia. Apalagi, menjadi manusia Indonesia yang ber-Pancasila.

Mungkin secara hukum, sudah memenuhi syarat. Misalnya,  memiliki KTP atau paspor Indonesia, lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah dan ibu Warga Negara Indonesia, disahkan undang-undang, lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah Warga Negara Indonesia dan ibu warga negara asing atau sebaliknya, anak yang baru lahir yang ditemukan di wilayah negara Republik Indonesia selama ayah dan ibunya tidak diketahui, dan sebagainya.

Akan tetapi, semua itu tidak cukup. Meski secara hukum sudah sah. Sama halnya, beragama saja tidak cukup, kalau tidak beriman. Beragama bisa hanya ditulis di KTP dan melaksanakan ritual keagamaan. Tetapi tidak demikiam dengan beriman. Beriman lebih tercermin dari tindakanannya. Semakin beriman, semakin toleran, semakin peduli pada orang lain, semakin berbela rasa, misalnya.

Menjadi manusia Indonesia artinya mengakui dan menerima Indonesia sebagaimana adanya: plural, beragam-ragam dalam banyak hal–etnis, suku, agama, budaya, bahasa, adat-istiadat, dan lain sebagainya yang menjadikan negeri ini disebut Indonesia. Tanpa keadaan semacam itu, bukan Indonesia.

Indonesia adalah majemuk. Kemajemukan itu sudah ada bahkan sebelum negara Indonesia ini ada, lahir. Sumpah Pemuda 1928, menjadi salah satu buktinya. Sumpah Pemuda menjadi salah satu tonggak penting bagi integrasi bangsa Indonesia.

Kesepakatan untuk bertanah air satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu itu mampu menyatukan langkah penduduk Indonesia menuju persatuan dan kesatuan. Itu berarti, para pemuda dan pemudi, pada ketika itu mau saling mengakui dan menerima sebagaimana adanya, sekalipun mereka berbeda baik etnis, suku, agama, budaya, bahasa, dan sebagainya.

***

    Foto: Istimewa

Mau mengakui dan menerima satu sama lain sebagai anak bangsa sebagaimana adanya, itu kata kuncinya. Yang besar tidak perlu mengembangkan dominasi mayoritas, sebaliknya yang kecil tidak perlu juga menjadi tirani minoritas. Semua bergandeng tangan, bersatu; saling hormat-menghormati, saling toleran, tidak saling menafikan, tidak merasa lebih hebat dibanding yang lain.

Bukankah negeri ini dibangun atas dasar kesepakatan bersama para Bapak Bangsa. Ada pengorbanan tulus dan besar di sana. Ada rasa syukur sampai ke hati pula di sana. Kita tahu semua itu. Dan, kita pun berterima kasih pada para Bapak Bangsa yang telah memberikan contoh,  demi lahirnya negeri ini.

Maka, kejujuran sejarah itu sangat diperlukan untuk membangun konsep dan praktik kewarganegaraan yang setara dalam masyarakat multikultural Indonesia ini. Jika menjadi Indonesia adalah sebuah pilihan bersama membangun peradaban yang lebih manusiawi maka perbedaan dan kemajemukan yang menghidupi keindonesiaan seyogyanya menjadi pilar utama yang menopang  “rumah bersama” Indonesia ini.

Itulah tantangan kita semua saat ini. Apakah kita akan melanjutkan yang sudah dimulai para Bapak Bangsa, membangun peradaban Indonesia yang lebih manusiawi dengan menerima mengakui perbedaan dan kemajemukan atau membiarkan (entah secara sengaja atau tidak sengaja) “rumah bersama” ini hancur?

Kata Nurcholis Madjid (1999), pluralisme tidak dapat dipahami hanya dengan mengatakan bahwa masyarakat kita adalah majemuk, beraneka ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama, yang justru hanya menggambarkan fragmentasi. Pluralisme juga tidak dapat difahami sekedar sebagai kebaikan negatif, hanya ditilik kegunaannya untuk menyingkirkan fanatisme.  Pluralisme harus difahami sebagai “pertalian sejati ke-bhinnekaan dalam ikatan-ikatan keadaban.”

Tidak mudah membangun ikatan keadaban…juga tidak mudah memelihara dan merawat ikatan keadaban. Tetapi, bagaimanapun sulitnya, ikatan keadaban harus dipelihara, dirawat jangan sampai kendor dan akhirnya lepas, karena kecerobohan, karena egoisme dengan  memolitisasi agama, memainkan politik identitas demi kekuasaan belaka.

Ternyata, tidak mudah menjadi Indonesia ….

Bagaimana menurut Anda artikel ini
+1
0
+1
0
+1
26
+1
3
Kredensial