ANANG AKHMAD SYAIFUDDIN

Saya sama sekali tidak kenal Anang Akhmad Syaifuddin. Mendengar namanyapun baru beberapa hari lalu, setelah membaca berita ia mundur dari jabatannya sebagai Ketua DPRD Lumajang, Jawa Timur.

Beberapa hari ini namanya disebut-sebut banyak orang, ditulis di berbagai media, beredar di media sosial. Maka, banyak orang–termasuk saya–mengenal nama politisi PKB, kelahiran Lumajang, 24 November 1972 ini.

Ini gara-gara ia memilih meletakkan jabatannya sebagai Ketua DPRD Lumajang daripada posisinya mencemari atau merusak marwah lembaga wakil rakyat yang terhormat itu. Ia mundur bukan karena, misalnya, kasus korupsi–penyakit yang menjangkiti banyak anggota legislatif selama ini: sejak Tahun 2004 hingga 2021, KPK telah menjerat 310 Anggota DPR dan DPRD sebagai tersangka pelaku tindak pidana korupsi–juga bukan karena tindak tak pantas lainnya sebagai wakil rakyat.

Bukan. Bukan, karena kasus itu. Anang memutuskan mundur karena dua kali salah mengucapkan sila keempat Pancasila. Hal itu terjadi ketika Anang menemui massa aksi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang menolak kenaikan harga BBM, Rabu (7/9/2022).

“Saya minta maaf ke seluruh masyarakat dan anggota DPRD Lumajang, pemerintah, atas insiden tidak hafalnya saya melafalkan Pancasila. Apapun keadaan saya, saya merasa itu tidak pantas dilakukan atau terjadi pada ketua DPRD di manapun atau siapapun itu,” kata Anang, dikutip dari Tribunnews.com, Selasa (13/9/2022).

“Dalam kesempatan yang berbahagia ini, dalam (rapat) paripurna DPRD, dalam ruangan yang terhormat ini, dengan ucapan bismillahirrahmanirrahim saya dengan hati yang sangat menyesal mengundurkan diri dari Ketua DPRD Kabupaten Lumajang,” katanya.

Apa yang dilakukan Anang, jauh sangat berbeda dengan, misalnya, yang dialami Ketua DPR RI Ade Komarudin, beberapa waktu lalu. Ade diberhentikan oleh  Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) karena mendapat sanksi  terkait perilaku etik seorang anggota dewan

“Diputuskan terhitung sejak hari Rabu tangal 30 November 2016, yang terhormat saudara Ade Komarudin anggota Fraksi Golkar dinyatakan berhenti dari jabatan Ketua DPR RI masa kenaggotaan tahun 2014-2019,” kata Ketua MKD Sufmi Dasco Ahmad, Rabu 30 Novemvee 2016  (dpr.go.id).
***

Meski tidak kenal, saya tidak hanya sangat tertarik pada Anang, tetapi kagum dan memujinya. Apa yang dilakukan Anang adalah sesuatu yang sangat langka di negeri ini. Lebih tepat saya katakan, yang ia lakukan bukan hanya sangat langka, tetap baru kali ini terjadi: seorang ketua DPRD mundur gara-gara tidak hafal sila-sila Pancasila.

Yang membuat saya tertarik adalah keputusannya meletakkan jabatan, karena tidak gafal Pancasila. Bukankah jabatan ketua DPRD (apalagi DPR) adalah jabatan yang sangat prestisius, terhormat di panggung politik negeri ini? Anggota dewan mana yang tidak kepingin jadi ketua. Ketua pasti berbeda, segala-galanya, dibanding anggota. Inilah jabatan puncak bagi seorang politisi yang meniti jalur parlemen.

Jabatan tinggi, memberikan kekuasaan besar pula. Bukankah kekuasaan itu memberikan segalanya. Kekuasaan memberikan privilege, hak-hak istimewa.

Ini yang membuat pemegang kekuasaan lupa diri, gelap mata dan hati bahwa sebetulnya kekuasaan itu hanya titipan, tidak langgeng. Karena lupa diri itu, kata Lord Acton, guru besar sejarah modern di Uneversitas Cambridge, Inggris, yang hidup di abad ke-19, kekuasaan cenderung korup, power tends to corrupt.

Itu yang banyak terjadi di negeri ini. Maka banyak orang, termasuk anggota DPR juga bupati dan gubernur ditangkap KPK. Karena mereka abuse of power, menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingan diri, juga kelompoknya.

Padahal, sebenarnya,  pada setiap jabatan, kekuasaan pada dirinya menempel noblesse oblige, setiap jabatan dalam dirinya menggendong tanggung jawab. Tetapi, yang ini kerap kali dilupakan.

***

Ilustrasi peta (Istimewa)

Terlepas bahwa sebagai ketua DPRD tidak bisa menjadi contoh karena tidak hafal sila-sila Pancasila, tetapi keberaniannya untuk mengakui kekurangan dan kesalahannya, pantas dipuji. Tidak setiap pejabat berani mengakui kekurangan dan kesalahannya, bila salah.

Tetapi, Anang jujur. Ia bertanggung jawab. Ia tahu diri. Ia memiliki rasa malu. Ia meminta maaf. Hal-hal seperti itu sekarang sangat jarang, sangat mahal harganya. Banyak yang memilih tidak tahu malu, menyatakan dirinya benar walaupun salah. Mudah menuding pihak lain yang salah, dan menganggap dirinya paling benar.

Anang sadar bahwa sebagai ketua, ia harus menjadi contoh, bagaimana menjadi manusia Pancasila; bagaimana menjadi manusia yang ber-Ketuhanan, yang berperikemanusiaan, yang menjaga persatuan, yang berdemokrasi, yang mengusahakan keadilan sosial. Karena, tak mampu menjadi contoh, ia memilih mundur meski ditolak para anggota dewan.

Kata Anang, apapun keadaan dirinya, dia merasa itu tidak pantas dilakukan (tidak hafal sila-sila Pancasila, dan tidak melaksanakannya) atau terjadi pada ketua DPRD dimanapun dan siapapun itu.

Menjadi contoh yang baik, tidak mudah. Apalagi di zaman sekarang ini… Kata Raden Ngabehi Ranggawarsita  (1802-1873), “hidup di zaman edan, teramat bingung dalam hati, ikut edan tidak tahan, tapi jika tidak melakukan, tidak kebagian rezeki …” Maka, banyak yang mrmilih ikut edan, ngedan, pura-pura edan.

Padahal, negeri ini membutuhkan pemimpin, elite politik, elite masyarakat yang waras jasmani dan rohani, masih memiliki rasa tahu diri, memiliki rasa malu, memiliki rasa ewuh-pekewuh untuk melakukan kejahatan.

Pendek kata, negeri ini membutuhkan pemimpin yang memiliki  integritas, tidak sekadar berteriak laksana tong kosong berbunyi nyaring….

Bagaimana menurut Anda artikel ini
+1
0
+1
0
+1
26
+1
3
Kredensial