“IKI YOGYA, DAB”

Senam pagi di depan Benteng Vredeburg, Yogya (Foto: Trias Kuncahyono)

Kemarin, saya bertemu teman SMP, Herry Gendut Janarta, penulis novel  Yogya, Yogya (2021). Gendut juga nulis Teguh Srimulat: Berpacu dalam Komedi dan Melodi (1990).

Sambil minum teh poci, kami ngobrolin banyak hal tentang  Yogya: soal makanan, tempat-tempat wisata,  kepedulian sosial, kriminalitas, transportasi,  pendidikan yang akhir-akhir menjadi sorotan, soal gali lalu klithih.

Kami juga ngobrol soal dunia pendidikan setelah kasus di SMA N I Banguntapan, Bantul. Soal hidup beragama dan toleransi  yang belakangan ini viral dan menjadi sorotan setelah kasus Malioboro, pemaksaan memakai jilbab oleh seorang perempuan pada perempuan lain, juga tak luput dalam obrolan kami.

Soal SMA di Banguntapan, misalnya, Gubernur Yogyakarta, Sri Sultan HB X, turun tangan. Ia membebastugaskan Kepala Sekolah SMA Negeri 1 Banguntapan dari jabatannya.

Kata Sultan ketika itu–Kamis, 4 Agustus 2022–Kepala Sekolah dibebastugaskan. Saya bebas tugaskan dari jabatannya, tidak boleh dulu mengajar. Sambil nanti (menunggu) ada kepastian. Sultan HB X juga membebastugaskan tiga orang guru yang berkaitan dengan dugaan pemaksaan pemakaian jilbab itu.

Keputusan Sultan itu memancing reaksi. Ada yang ramai-ramai mendukung kepala sekolah. Mereka berteriak atas nama agama. Ini “jualan” yang paling mudah, dan banyak yang hobi.

Boleh-boleh saja. Ini negara demokrasi. Berbeda pendapat sah-sah saja. Kata Pak Jokowi, asal tidak anarkis. Artinya, tidak boleh ada pemaksaan kehendak, “pokoke kudu ngene.” Apalagi dengan kekerasan.

Dalam negara demokrasi, berbeda pendapat adalah sebuah keniscayaan. Karena kebebasan berpendapat dijamin undang-undang. Hanya saja, memang harus ada aturannya, bukannya bebas ‘sak bebas-bebasnya’ tanpa paugeran, tanpa aturan, bahkan melanggar kebebasan orang lain.

Maka keputusan Sultan itu adalah tepat, mencegah agar kebebasan  tidak bablasan; agar kebebasan tetap berjalan di relnya sesuai, undang-undang, hukum, paugeran, dan kearifan lokal. Itu akan menjadi pegangan bagi rakyatnya. Apa yang telah diungkapkan, maka itulah yang harus laksanakan.

***

Museum Sonobudoyo (Foto: Trias Kuncahyono)

Beberapa hari kemudian, ketika melihat video pendek di Youtube tentang arahan Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo, saya ingat keputusan Sultan itu. Judul video itu, Kapolri Ultimatum Para Jenderal di Kasus Sambo: Tak Sanggup, Angat Tangan.

Lalu,  saya baca berita di Kompas. Judul berita itu sangat menarik,  “Kapolri: Ikut Barisan atau Keluar.” Jumat pagi, saya membaca berita di Kompas.com berjudul “Irjen Ferdy Sambo Resmi Dipecat Polri.”

Semua itu, selain mengingatkan saya pada keputusan Sultan, juga mengingatkan saya pada Presiden AS George W Bush. Di hadapan Kongres AS, 20 September 2001, setelah serangan teroris 11 September 2001,  Bush secara jelas dan tegas mengatakan, “…Either you are with us, or you are with the terrorists.”

Jauh tahun sebelumnya, dalam bahasa yang lain Benito Mussolini (1883-1945) diktator dan pemimpin fasis Italia mengatakan dalam suatu pidatonya:  “O con noi o contro di noi”—Anda bersama kami atau melawan kami.” Di tempat lain,  János József Kádár (1912-1989), perdana menteri Hongaria (1961-1965) dalam usahanya memersatukan Hongaria setelah Revolusi Hongaria 1956 menyatakan, “yang tidak melawan kita, berarti bersama kita.”

Dalam konteks Yogyakarta–Indonesia–maka “with us”, berarti bersama dalam hidup berkeadaban sebagaimana jati diri warga Yogya (warga negara Indonesia) yang toleran, yang mengakui keragaman, yang tidak memaksakan kehendak, yang ber-Pancasila, dan sebagainya.

***

Stasiun Tugu (foto: Trias Kuncahyono)

Semua itu menegaskan bahwa tidak ada ruang untuk netralitas dalam perang melawan kekerasan, kejahatan dalam segala macam bentuk dan manifestasinya. Dikatakan, dalam segala macam bentuk dan manifestasinya, karena kekerasan, kejahatan itu memiliki beragam wajah dan bentuk.

Artinya, tidak hanya terbatas pada kekerasan atau kejahatan kriminal. Tetapi juga terhadap kekerasan terhadap kemanusiaan, kejahatan politik, kejahatan ekonomi, kejahatan budaya, kejahatan moral, kejahatan spiritual, pemaksaan kehendak, kekerasan rasial, kekerasan agama, dan sebagainya.

Karena itu, kata Budi Hardiman (2011) sebuah masyarakat yang tidak memersoalkan kekerasan (kejahatan), sudah kehilangan keberadabannya. Apa jadinya kalau sebuah masyarakat sudah tidak lagi memiliki keadaban. Tentu, tidak demikian masyarakat Yogyakarta.

KBBI menulis beradab berarti mempunyai adab; mempunyai budi bahasa yang baik; berlaku sopan; telah maju tingkat kehidupan lahir batinnya.

Maka, menjadi manusia yang berkeadaban adalah keinginan setiap manusia yang tersimpan dalam hati nuraninya. Meskipun, kata orang-orang pandai, nafsu alamiah manusia itu cenderung melakukan kejahatan.

Tapi, Yogya adalah Yogya yang harus senantiasa berkeadaban.  Kota budaya, yang harus berbudaya, harus berkeadaban dalam seluruh aspek kehidupan. Karena Yogya adalah kota budaya dan hasil dari sebuah buadaya yang adiluhung.

Iki, Yogya, Dab  Mangga

 

Alun-alun Utara dan Keraton (Foto: Trias Kuncahyono)
Bagaimana menurut Anda artikel ini
+1
0
+1
0
+1
40
+1
6
Kredensial