TENDA BIRU

Foto: Kompas/Priyambodo

Sudah lama, saya tidak bertemu, kumpul-kumpul, dan ngobrol dengan teman-teman sedesa, teman-teman lama. Beberapa hari lalu, kami berdua-puluhan bertemu dan ngobrol, bernostalgia di Kafe Bathok, Mejing desa kami.

Sambil menikmati kopi, wedang jahe, teh panas, singkong goreng, pisang goreng, dan nasi goreng, kami ngobrolin banyak hal. “Apakah kemanusiaan itu punya agama?” Ini salah satu pertanyaan hebat yang muncul malam itu ketika hujan membasahi desa.

Pertanyaan itu, katanya terinspirasi dari berita tenda biru di Cianjur, yang viral di media sosial. Di tengah masa berkabung, menjadi korban gempa, beredar sebuah tayangan video amatir. Video itu  memperlihatkan orang memreteli label “Tim Aksi Kasih Gereja Reformed Injil Indonesia” yang ditempel di atap tenda berwarna biru.

Tenda biru dari Cianjur yang menjadi cerita itu, mengingatkan Tenda Biru-nya Dessy Ratnasari, penyanyi yang kini politisi. Lagu Tenda Biru populer pada tahun 1996.

Lagu itu bercerita tentang tragedi kisah cinta. Seorang perempuan  dikhianati cintanya oleh kekasihnya yang diam-diam menikah dengan perempuan lain.

Perempuan malang itu,  tahu bahwa kekasihnya menikah ketika secara tidak sengaja lewat di depan rumah kekasihnya. Di depan rumah lelaki pujaannya didirikan tenda warna biru berhiaskan janur kuning.

Tak sengaja lewat depan rumahmu
Ku melihat ada tenda biru
Dihiasi indahnya janur kuning
Hati bertanya pernikahan siapa

Begitu bunyi sebagian syair lagu Tenda Biru…

***


Kalau Tenda Biru-nya Dessy Ratnasari berkisah tentang pengkhianatan cinta, maka tenda biru Cianjur bercerita  tentang pengkhianatan kemanusiaan. Bukankah tenda biru itu muncul di Cianjur atas nama kemanusiaan; atas nama kepedulian sosial; atas nama cinta pada sesama.

Tenda biru dikirim untuk membantu para korban gempa. Kiranya itu yang menggerakkan hati mereka yang mengirim. Tetapi, ada yang bertanya: Kalau memang niatnya membantu tanpa pamrih, mengapa mesti pasang label dan identitas lain?

Pertanyaan seperti itu bisa ditanyakan juga kepada para penyumbang lainnya, termasuk juga kepada para relawan yang berasal dari berbagai kelompok masyarakat bahkan agama. Bukankah hal semacam itu, selama ini tidak menjadi masalah atau sudah umum, sudah lumrah?

Ada banyak alasan mengapa bantuan dipasangi, misalnya stiker atau label atau tulisan nama pengirim, bahkan tanda-tanda khusus lainnya seperti bendera, spanduk, baliho gede-gede dengan foto segala. Bisa jadi alasannya adalah untuk dokumentasi, bisa juga untuk pertanggung-jawaban pada para donatur bahwa sumbangan sampai tujuan tidak diselewengkan. Kisah penyelewengan sumbangan, kerap kali terjadi. Mungkin juga ada yang sekadar ingin pamer bahwa sudah menyumbang. Ya, begitulah….

Yah, meskipun ada nasihat adiluhung, “Jika engkau memberi sedekah, janganlah diketahui tangan kirimu, apa yang diperbuat tangan kananmu.” Nasihat itu mengingatkan pada kita agar kita belajar untuk memberi dengan diam-diam: tidak perlu orang lain tahu apa yang kita berikan. Sebab, tujuannya bukan untuk orang tahu melainkan untuk membantu orang-orang yang memerlukan; dan kita sendiri tidak perlu mengingat-ingat apa yang telah kita berikan kepada orang lain.

Memberi mestinya karena memang ingin memberi dan bukan karena alasan lainnya. Apapun! Itulah sesungguhnya rahasia pemberian yang sejati dan luar biasa.  Sebab, bukankah cinta pada sesama manusia itu pesan tertinggi agama.

Kata KH Quraish Shihab, insaniyah atau kemanusiaan adalah salah satu ciri agama. Dalam agama, kemanusiaan selalu didahulukan. Kemanusiaan mendahului keberagamaan (kemenag.go id, Sabtu, 15 Juni 2019).

Mengutamakan kemanusiaan adalah fitrah. Kesadaran perlu dimiliki oleh tiap individu yang mengaku beragama secara sebenar-benarnya. Jangan sampai mengaku beragama tetapi tidak mendahulukan rasa kemanusiaan atau bahkan menyingkirkan rasa dan nilai-nilai kemanusiaan.

***

Foto: Istinewa

Secara universal keagamaan kita adalah Kemanusiaan kita. Bukankah pesan tertinggi agama adalah kemanusiaan. Maka itu,  agama-agama di seluruh dunia sudah pasti mengkampanyekan kebaikan sesama manusia dan kebenaran. Bukan sebaliknya, berperang dan merusak.

Sejatinya beragama itu adalah memberikan cinta dan kebahagiaan kepada siapa saja, kepada sesama, bahkan pada alam dan seluruh ciptaannya. Tidak ada agama yang memberikan kebencian, kedengkian kepada sesama. Maka belas kasih merupakan sebuah sikap dalam hidup beragama.

Itulah sebabnya, agama sebenarnyalah menjadi rumah bagi kasih dan perdamaian, bukan permusuhan dan saling mengancam antar-sesama. Bahwa ada perbedaan suku, agama, ras, etnik dan sebagainya, itu adalah realitas Indonesia. Itulah Indonesia.

Namun sayangnya, dewasa ini kita sering melihat banyaknya konflik atas nama agama yang mengancam prinsip dasar kemanusiaan. Agama bahkan digunakan untuk kepentingan politik kekuasaan. Agama dijadikan sebagai alat penekan, alat untuk mendominasi, alat untuk meraih kekuasaan. Bahkan, agama dijadikan sebagai dalil untuk merusak dan menghancurkan sebuah peradaban.

Padahal, bukankah semakin orang itu beriman, semakin toleran pula mestinya. Tetapi, yang banyak terjadi walau beragama namun tidak menghargai dan menghormati kepada manusia yang berbeda-beda. Tentu hal semacam itu tidak mencermikan keberimanannya walau beragama.

***

Foto: Istimewa

Apa yang terjadi di Cianjur–gempa bumi–dan bencana-bencana alam lainnya di negeri ini adalah bagian tak terpisahkan dari letak, posisiIndonesia secara geografis.

Kata BNPB, secara geografis Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak pada pertemuan empat lempeng tektonik yaitu lempeng Benua Asia, Benua Australia, lempeng Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Pada bagian selatan dan timur Indonesia terdapat sabuk vulkanik (volcanic arc) yang memanjang dari Pulau Sumatera, Jawa – Nusa Tenggara,  Sulawesi, yang sisinya berupa pegunungan vulkanik tua dan dataran rendah yang sebagian didominasi oleh rawa-rawa.

Kondisi tersebut sangat berpotensi sekaligus rawan bencana seperti letusan gunung berapi, gempa bumi, tsunami, banjir dan tanah longsor. Data menunjukkan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki tingkat kegempaan yang tinggi di dunia, lebih dari 10 kali lipat tingkat kegempaan di Amerika Serikat.

Begitulah Indonesia. Maka bisa dikatakan, jika ada satu hal yang bisa mempersatukan umat manusia baik di Indonesia maupun di dunia, tak lain adalah bencana. Karena bencana tak memandang apa pun, dan siapa pun yang akan menjadi korban, entah itu ras, suku  etnik atau agama, kepercayaan, keyakinan, semua bisa menjadi korbannya.

Maka, mengembangkan semangat belarasa yang inklusif, yang mengatasi segala macam dan bentuk batas agama, asal-usul, suku  ras, etnis, dan juga budaya adalah sebuah tuntutan yang tidak bisa ditolak sebagai sebuah bangsa.

Semua pihak yang bekehendak baik dalam menciptakan kesejahteraan umum, dengan mengedepankan bela-rasa, perlu bersama-sama, bersatu hati dan pikiran menyingkirkan segala macam bentuk rintangan tegaknya nilai-nilai kemanusiaan.

Memang, harus diakui bahwa  kita dewasa ini kebanyakan membuang-buang waktu untuk memperjuangkan simbol-simbol keagamaan. Akibatnya, kita kerap terlena pada simbol dan lupa pada sisi utama agama yakni kemanusiaan.

Rasanya sekarang ini, para penganut agama perlu memiliki keberanian lebih untuk senantiasa sejalan dengan kemanusiaan. Karena agama mengajarkan pentingnya semangat kemanusiaan; kemanusiaan universal. ***

Bagaimana menurut Anda artikel ini
+1
0
+1
0
+1
42
+1
16
Kredensial