SEPAK BOLA ITU SEPERTI POLITIK

Ilustrsasi gambar: depositphotos

Hingga saat ini, Piala Dunia Qatar sudah memberikan dua kejutan besar. Pada hari ke-3 , Argentina terhuyung-huyung setelah menderita kekalahan telak dari Arab Saudi, 1-2. Lalu, pada hari ke-4, giliran Jerman. Salah satu favorit juara, dibuat mati kutu oleh Jepang, 1-2.

Tidak ada yang pernah menduga bahwa Arab Saudi mampu mempermalukan Argentina yang diperkuat pemain paling top se-dunia: Lionel Messi. Bagaikan Arab Spring Revolution  (Revolusi Musim Semi Arab) saja, kemenangan Arab Saudi itu tak terduga dan tidak diduga.

Revolusi Musim Semi Arab  meruntuhkan rezim yang sudah bertahun-tahun berkuasa. Bahkan, menelan korban para penguasanya: Zine El Abidine Ben Ali, Hosni Mubarah, dan Moammar Khadafy. Selain itu menghancurkan negara: Libya dan Suriah. Piala Dunia Qatar, mempermalukan teramat sangat Argentina.

Hasil pertandingan, Selasa (22/11), adalah keajaiban lagi dari Piala Dunia.  Dari hitung-hitungan apa pun, tidak ada ceritanya Arab Saudi bisa mengalahkan Argentina.

Menjelang pertemuan antara Argentina dan Arab Saudi, bisa dipastikan bahwa tidak ada yang mengunggulkan Arab Saudi. Pertanyaan yang muncul justru, berapa banyak gol yang akan dicetak Messi dan kawan-kawannya.

Tapi yang terjadi, Arab Saudi mengukir sejarah emas; sekaligus mempermalukan salah satu tim favorit juara yang pernah dua kali juara dunia: 1978 dan  1986 serta dua kali pula runner up, 1930 dan 2014.

Sebaliknya, Arab Saudi baru lima kali tampil di Piala Dunia. Piala Dunia 2022 di Qatar ini menjadi  yang keenam. Prestasi terbaik The Green Falcons–itu sebutannya– mencapai 16 besar di Piala Dunia 1994 di Amerika Serikat.

Maka ini kekalahan paling tragis bagi La Albiceleste, juga bagi Messi. Tak seorang pun menduga bahwa itu akan terjadi. Tapi, terjadi!

Argentina memasuki Stadion Lusail dengan rekor 36 pertandingan beruntun tak terkalahkan. Terakhir kali mereka kalah adalah melawan Brasil di semifinal Copa America 2019. Setelah itu, mereka memenangkan 25 pertandingan dan seri 11 pertandingan dalam dua tahun terakhir. Menurut sejarah, hanya Italia yang memiliki rekor 37 pertandingan tak terkalahkan.

Tapi, tim favorit juara dunia yang menempati peringkat 3 FIFA, diruntuhkan tim peringkat 51. Memang, mungkin, kekalahan itu belum menjadi kiamat bagi Argentina (kalau bisa mengalahkan Polandia dan kemudian Meksiko). Tapi, kekalahan dari Arab Saudi tetaplah “kiamat kecil” bagi mereka, dan mencoreng wajah mereka.

***

    Pemain Arab Saudi merayakan kemenangan (foto: Sporting News)

Kekalahan itu, mendengungkan kembali ratapan Argentina 32 tahun lalu. Ketika itu, Argentina masih memiliki pemain terbaik dunia, ‘Si Tangan Tuhan,’ Diego Maradona. Tetapi,  ditekuk tim tidak dikenal, Kamerun yang sebagian besar terdiri dari pemain  dari divisi bawah di Perancis.

Menurut harian Telegraph saat itu, kemenangan tersebut tidak hanya dirayakan di Kamerun tapi di mana-mana di Afrika. “Tidak ada yang mengira kami bisa melakukan apa pun di sini melawan Maradona, tapi kami tahu apa yang bisa kami lakukan,” kata pencetak gol, François Omam-Biyik, setelah pertandingan _(The Guardian,_ 13 Maret 2018).

***
Sejarah Piala Dunia memberikan banyak kejutan. Dunia sepak bola Indonesia pun penuh kejutan. Kejutan paling akhir terjadi di Stadion Kanjuruhan, Malang, 1 Oktober 2022.

Tragedi Kanjuruhan terjadi usai pertandingan lanjutan BRI Liga 1 antara Arema FC vs Persebaya Surabaya. Laga yang dikenal sebagai derby Jatim itu berakhir dengan kemenangan tim tamu. Dan, menewaskan sekurang-kurangnya 135 orang, dan banyak lagi yang terluka.

Sebatas itulah kejutan sepak bola nasional. Belum sampai ke prestasi, seperti tim-tim negara lain yang lolos ke Piala Dunia.

Pada 29 Juni 1950, di Estádio Independência, Belo Horizonte, Minas Gerais, Brasil, Inggris yang disebut sebagai favorit juara dikalahkan AS,  “tim paruh waktu”, 0-1. Peristiwa ini yang kemudian disebut Keajaiban Belo Horizonte.

Tim favorit juara dipermalukan  tim yang pemainnya cabutan dari mana-mana dan sudah punya pekerjaan lain. Joe Gaetjens, striker AS kelahiran Haiti adalah seorang mahasiswa yang punya pekerjaan sambilan sebagai pencuci piring di sebuah restoran di Brooklyn. Ketika  ditemukan pelatih AS William Jeffrey, ia tengah bekerja di restoran itu. Pencuci piring itu yang mempermalukan Inggris.

Enam belas tahun kemudian, 19 Juli 1966, setelah Keajaiban Belo Horizonte, Brasil muncul keajaiban lagi. Italia dipermalukan Korea Utara, 0-1, yang hampir tidak diberi visa oleh Inggris, sebagai buntut Perang Korea 1950-1953. Inilah Keajaiban Ayresome Park, Inggris. Gol Pak Doo-Ik lah yang membuat Italia menanggung malu.

Tanggal 25 Juni 1982, di El Molinon, Gijon, Spanyol tragedi itu terjadi lagi. Jerman yang memenangi semua delapan pertandingan kualifikasi dengan rekor gol  33-3, membuktikan lagi bahwa sepak bola tak bisa diprediksi.

Masuk lapangan dengan kepala tegak, penuh keyakinan akan melumat lawannya. Para pemain top di barisan tim hebat ini. Antara lain Paul Breitner, Karl-Heinz Rummenigge, dan Uli Stielike

Ketika itu, seorang pemain Jerman bergurau mengatakan, “Kami akan mendedikasikan gol ketujuh kami untuk istri kami, dan yang kedelapan untuk anjing kami.” Tetapi yang terjadi dua kali juara dunia, 1954 dan 1974 itu, dipermalukan tim anak bawang, Aljazair: 1-2. Mereka pun keluar stadion dengan kepala tertunduk.

Saat itu, Aljazair yang dipimpin penyerang legendaris Rabah Madjer, menjadi tim pertama Afrika yang mengalahkan tim Eropa. Koran Süddeutsche Zeitung_ pun menulis, “Rasanya seperti tenggelamnya Titanic.”

Maka, ketika Rabu (23/11), Jerman ditekuk Jepang, 1-2 di Khalifa International Stadium, luka kekalahan dari Aljazair dan dari Korea Selatan (2018) di Rusia, terasa perih lagi. Di Rusia, Jerman pemegang empat gelar juara dunia (1954, 1974, 1990, dan 2014), yang berambisi untuk menjuarai yang kelima, dihabisi Korea Selatan, 2-0.

Di Qatar, Takuma Asano, pemain pengganti yang selama ini bermain VfL Bochum, di Bundesliga, memberikan mimpi buruk pada Jerman yang di atas kertas pasti menang. Tetapi, sepak bola itu di lapangan, bukan di atas kertas.

“Menggelikan,” kata Thomas Müller, yang tampil di Piala Dunia keempatnya, menggambarkan kekalahan ini. Jerman seakan seperti Tembok Berlin yang kokoh, tak tertumbus. Tapi, pada akhirnya roboh juga oleh tusukan samurai Jepang.

Ternyata, mereka bisa kalah. Itulah sepak bola.

***

Pemain Jerman dan Jepang berebut bola (foto: BBC)

Sepak bola memang ajaib. Pertemuan Perancis dan Senegal pada Piala Dunia 2002,  merasakan keajaiban bola bulat. Saat itu, Perancis datang ke Korea Selatan dan Jepang (penyelanggara Piala Dunia) sebagai pemegang gelar juara sebelumnya 1998. Perancis juga juara Euro 2000.

Skuad mereka bertabur bintang: Lilian Thuram, Thierry Henry, Marcel Desailly,  Zinedine Zidane, Patrick Viera, Fabien Barthez, Djibril Cissé dan David Trézéguet.

Sementara Senegal, bekas negara jajahan Perancis itu baru pertama kali ikut Piala Dunia, “nyaris” tak punya catatan hebat. Tapi, hampir semua pemain Senegal–antara lain, Aliou Cissé’s, Papa Bouba Diop (pencetak gol), El-Hadji Diouf–main di klab-klab Eropa, terutama Perancis.

Dapat dikatakan bahwa hal-hal besar diharapkan dari Les Bleus. Bahkan, akan terjadi. Yang besar itu memang terjadi: Senegal yang dilatih Bruno Metsu (orang Perancis) mempermalukan Perancis, 2-1 tanggal 31 Mei 2002.

Itulah, kata Arsene Wenger, mantan manajer Arsenal, salah satu alasan mengapa sepak bola populer. Karena, sepak bola adalah olahraga tim yang paling tidak dapat diprediksi.

“Kita harus menerima itu. Selalu ada yang tidak dapat diprediksi,” kata manajer Manchester City Pep Guardiola.

Sifat Piala Dunia yang tidak dapat diprediksi–karena selalu memberi kejutan-kejutan–membuat Piala Dunia menjadi tontonan yang luar biasa. Banyak orang menyukai tim underdog, tim  yang tidak diunggulkan dalam olahraga. Dengan itu mengharapkan ada kejutan. Karena, kejutan apalagi yang membahagiakan akan menggairahkan hidup.

***


Setelah kejutan Arab Saudi dan Jepang, akankah muncul kejutan baru lagi di Qatar? Siapa yang akan memenangi Piala Dunia 2022? Tidak ada jawaban yang jelas. Setidaknya belum, sampai saat ini.

Mungkin akan muncul kejutan. Penantian inilah yang menegangkan sekaligus menarik, seperti menunggu munculnya capres-capres di negeri ini. Capres yang betulan. Menarik diikuti.

Sepak bola itu seperti politik, serba penuh kejutan. Sulit diprediksi. Siapa yang menduga bahwa capres kalah Pemilu 2019, misalnya, bergabung dengan pemerintahan Jokowi? Siapa pernah menduga, tukang kayu dari Solo itu menjadi presiden Indonesia, bahkan dua kali masa jabatan dan dengan prestasi yang luar biasa?

Demikian pula, masih sulit diprediksi seperti siapa juara Piala Dunia nanti, Pemilu 2024 akan seperti apa? Belum jelas, karena koalisi belum terbentuk permanen. Siapa saja capresnya? Belum tahu juga. Yang ada, baru bakal capres dari satu partai.

Dinamika politik masih berlangsung. Maka Presiden Jokowi yang menganalogikan capres sebagai seorang pilot,  meminta agar masyarakat tidak memilih pilot yang memberikan penawaran tak masuk akal hanya untuk bisa dipilih menyopiri pesawat.

Sebab, kata Jokowi, sosok presiden yang bakal menggantikan dirinya bakal memiliki segudang tugas dan tantangan akibat krisis ekonomi global. Apa lagi, dalam beberapa tahun ke depan diprediksi dunia akan gelap akibat krisis ini.

Begitulah… ***

Bagaimana menurut Anda artikel ini
+1
0
+1
0
+1
11
+1
5
Kredensial