SEMOGA CEPAT WARAS

Foto: GiftCard

Judul di atas saya pungut dari bagian terakhir esai sahabat saya, Bre Redana, di Kompas Minggu (26/6) kemarin. Biasanya kalimat bernada harapan seperti itu dikirimkan kepada kerabat atau sahabat yang tengah sakit.

Ada macam-macam versi. Tapi maknanya sama. Misalnya, semoga cepat sbuh, segera sehat kembali ya, cepat sembuh ya, semoga cepat sembuh dan sehat kembali, cepet mari yo, mugi enggal kaparingan saras, sing énggal damang, get well soon, get better soon, Have a speedy recovery, dan masih banyak lagi versinya.

Tapi, kita juga sering dengar orang mengatakan, “Sing waras ngalah.” Ada yang mengartikan ungkapan itu demikian: siapa yang punya akal sehat,  pikiran normal agar mengalah, menahan diri, tidak meneruskan pertengkaran, percekcokan, perselisihan  dan sebagainya. Biarkan orang yang kurang normal pikirannya tetap beraksi dan meneruskan kemauannya sendiri.

Saya baca di nu.or.id (nuonline) ulama kharismatik asal Rembang KH Ahmad Mustofa Bisri atau Gus Mus mengatakan, “Kalau yang waras mengalah terus, yang tidak waras merasa paling benar. Sekarang tidak boleh yang waras mengalah terhadap kemungkaran.”  Sing waras ojo ngalah (yang berakal sehat jangan mengalah), misalnya untuk melawan hoax, ujaran kebencian dan semacamnya. Pesan yang sama juga dikatakan Buya Ahmad Syafii Maarif (alm).

Orang waras adalah orang, meminjam istilahnya Sindhunata (2022), yang digerakkan oleh roh. Mereka hidup dari roh. Artinya, mereka hidup dari prinsip dan kedalaman hidup. Dengan demikian, mereka tidak disandera oleh kecetekan berpikir dan pragmatisme yang hendak mendangkalkan hidup, baik secara sosial, politik, maupun ekonomi.

***

Foto:depositphotos

Memang, sekarang ini kata orang, banyak yang nggak waras. Sepertinya malah berlomba-lomba untuk tidak waras. Menelanjangi diri di hadapan publik, tetapi tidak merasa malu. Malah bangga dengan ketelanjangan dirinya itu. Orang bilang, urat malunya sudah putus.

Perasaan malu timbul karena martabat atau harga diri terganggu. Rasa malu akan menyebabkan orang merasa dirinya tidak ada harganya lagi, tak layak dikasihani. Tetapi, apakah hal semacam itu dirasakan oleh para koruptor itu, misalnya. Atau justru sebaliknya, mereka bangga; bangga dengan yang dipebuatnya.

Ada juga yang berbuat sebaliknya. Menutupi wajahnya dengan topeng satria, padahal raksasa; bertopeng dewi, padahal sesungguhnya raseksi. Berjubah begawan, tapi dari mulutnya keluar kata-kata kebencian, tipu-daya, kebohongan, juga pemecah belah. Ada pula orang-orang yang bertopeng, yang punya kepentingan-kepentingan mendadak, atau kepentingan lima tahunan.

Karena itu, orang ramai-ramai korupsi. Kan, edan itu. Nggak waras. Tapi, banyak orang–ya legislatif, ya eksekutif, pejabat partai, ormas bahkan pengawal hukum dari pusat sampai daerah–yang terjangkiti penyakit rakus, tamak, dan gila dunia dalam kehidupan ini. Akibatnya norma-norma kehidupan, nilai baik-buruk, benar-salah, pantas-tidak pantas tidak lagi menjadi bahan pertimbangan seseorang dalam melakukan sesuatu.

Kegilaan, ketidak-warasan wujudnya macam-macam, tidak hanya korupsi. Tetapi juga intoleran, mengingkari kebhinnekaan bangsa, mengingkari kemajemukan bangsa dan budaya,  diskriminatif, mengagungkan budaya asing ketimbang budaya nusantara, nyebarin hoax, nyebarin ujaran kebencian, goreng-nggoreng isu, mlintirin berita atau isu, memanfaatkan derita orang lain untuk kepentingan diri, menganggap dirinya paling saleh, paling pintar, dan paling benar, politik uang, pencucian uang, politisasi agama, gratifikasi, sogok-menyogok …masih banyak lagi.

Ini persis seperti yang dulu dikatakan Raden Ngabehi Ranggawarsita, pujangga besar Keraton Surakart, dalam Serat Kalatidha“Amenangi zaman edan…..yen tan melu anglakoni, boya keduman milik….” mengalami zaman edan apabila tidak turut serta gila tidak mendapatkan bagian…. Maka, orang pada “ngedan“, berlaku seperti orang gila yang tidak punya lagi rasa malu.

***

Foto: depositphotos

Maka benar yang dikatakan sahabat saya itu,  sekarang ini, orang-orang yang memiliki kalbu, yang memiliki hati, kebeningan hati, ilmu yang dalam, menep, akal pikiran yang jernih, yang masih memiliki sense of morals and ethics, semakin sedikit. Kita belum lama kehilangan salah satu tokohnya, atau malah tokoh besarnya yakni Buya Ahmad Syafii Maarif.

Rasanya juga makin sedikit pribadi-pribadi yang integer bersih–integer adalah  bahasa Latin yang artinya antara lain, utuh dan lengkap–bukan manipulator rekayasa apapun. Dari kata integer itu lahirlah kata integritas yang antara lain berarti, kelurusan hati, sifat tidak mencari keuntungan sendiri  ketulusan  kejujuran, kebaikan, kesalehan, dan kemurnian.

Kewarasanlah yang akan membebaskan kita: bebas dari kepicikan berpikir, bebas dari kebebalan hati, bebas dari sikap arogansi, bebas dari sikap intoleran, bebas dari kemunafikan  dan segala sikap yang merendahkan martabat manusia dan kemanusiannya.

Keberanian bersikap seperti itu adala buah dari nalar yang berusaha tetap sehat, tetap waras. Maka benar donga sahabat saya Bre Redana, “semoga cepat waras.” Mereka itu…..*

Bagaimana menurut Anda artikel ini
+1
0
+1
1
+1
20
+1
12
Kredensial