Selasa lalu, kami ditraktir makan oleh Benny, sahabat sejak tahun 1976. Ketika ditanya, mau makan apa? Kami jawab, yang biasa-biasa saja, yang khas Indonesia, cocok di lidah, dan perut.
Akhirnya, kami bersepakat makan gado-gado, ditambah sate kambing, tahu telur, dan mendoan. Entah paduan makanan itu cocok atau enggak, kami tak peduli. Bagi kami cocok. Sebab soal makan itu selera. Kata pepatah, de gustibus non est disputandum, dalam hal selera, tidak dapat diperdebatkan.
Kata mereka yang tahu, gado-gado berasal dari bahasa Portugis. Kata “gado” dalam bahasa Portugis berarti ternak, hewan pemakan rumput, seperti sapi. Tapi ketika kata itu diulang (menjadi kata ulang), “gado-gado” artinya berbeda, yakni makanan yang bahannya adalah sayur-sayuran (bisa kol, kacang panjang, buncis, bayam, pare, mentimun, kentang) ditambah tahu, tempe, dan telur, diguyur bumbu (saus) kacang, ditaburi bawang merah goreng, emping, dan kerupuk.
Ada gado-gado Betawi, gado-gado Padang, dan gado-gado Surabaya. Masing-masing memiliki kekhasan. Enak yang mana? Itu selera. Yah, seperti diminta menilai pecel atau lotek, yang masih sepupuan dengan gado-gado.
***
Begitulah gado-gado, makanan campur-campur yang “disatukan” oleh saus kacang, seperti koalisi partai yang diikat oleh kepentingan. Kepentingan bersama untuk memenangkan kontestasi pemilu. Kandidat presiden mereka terpilih.
Pandangan klasik mengatakan, koalisi partai dibangun berdasarkan kesamaan ideologi. Tetapi, pandangan klasik itu sudah tak berlaku. Sekarang, kata Inaki Sagarzazu dan Heike Kluver (2015), alasan pembentukan kepentingan lebih pragmatis, rasional, berorientasi pada tujuan untuk meningkatkan preferensi.
Maka bisa terjadi, misalnya, partai religius dan sekuler yang sebelumnya berada di posisi yang berseberangan dengan ideologi, visi, dan misi yang berbeda, bisa bergabung menjadi kawan membentuk koalisi. Partai yang berideologi Pancasila-Nasionalisme-Sekularisme pun bisa bergandengan tangan dengan partai religius, yah dicocok-cocokin dan dicarikan alasan yang sepertinya masuk akal.
Misalnya. Pada Pilpres 2014, Koalisi yang mendukung Jokowi-JK terdiri atas empat partai politik: PDIP, PKB, Nasional Demokrat, dan Hanura. Sedangkan koalisi Prabowo-Hatta didukung oleh lima partai politik: Gerindra, Golkar, PAN, PKS, dan PPP. Partai-partai tersebut pasti mempunyai ideologi yang berbeda (atau mungkin ada yang mirip-mirip).
Lalu, pada Pemilu 2019, ada Koalisi Indonesia Adil Makmur. Secara ideologis, Gerindra dan PKS tak ketemu, yang mempertemukan mereka adalah kepentingan, kepentingan pragmatis. Demikian juga, secara ideologis, PDIP dan PPP, PKB serta PBB berbeda. Tetapi, toh mereka bersatu dalam Koalisi Indonesia Maju. Adem ayem saja.
Sekarang ada KIB: Golkar, PPP, dan PAN. Dan tak lama lagi, pasti akan muncul koalisi yang lain, satu ada dua. Para pemimpin umumnya lagi bersafari, bersilaturahim, untuk saling mencocokkan, hitung-hitungan. Tapi, pada ujungnya rumusnya sama: pragmatis, rasional, dan realistis demi memenangi kontestasi dalam pemilu.
Jadi, secara sederhana koalisi adalah menggabungkan kekuatan, meningkatkan daya saing elektoral dengan menggabungkan sumber daya dari anggota koalisi. Dengan ini memiliki peluang lebih besar untuk mengalahkan partai lain. Dengan kata lain koalisi yang dibentuk sebelum kampanye tujuannya untuk memenangi pemilu. Itu saja!
Tetapi, partai-partai anggota koalisi harus mendamaikan dua persoalan yang bertentangan: di satu pihak, mereka perlu menunjukkan kesatuan untuk berjuang bersama dan nanti kalau menang memerintah bersama, tetapi di lain pihak juga harus menekankan profil atau sosok mereka sendiri agar berhasil dalam pemilu.
Dengan lain kata, mereka harus selektif memprioritaskan isu-isu kebijakan yang menjadi keunggulan mereka untuk memobilisasi pemilih. Dan, di saat yang bersamaan, harus berkoordinasi dengan mitra koalisi yang biasanya memiliki prioritas kebijakan yang berbeda tetapi membutuhkan kompromi antara partai koalisi.
***
Kata ilmuwan politik dari Universitá degli Studi di Milano, Kenneth Bunker (2019) di sebagian besar negara demokrasi, partai-partai bersaing untuk mendapatkan suara, baik untuk merebut kekuasaan maupun untuk kesempatan mempengaruhi kebijakan. Namun, dalam sistem multipartai, satu partai seringkali tidak mampu mengumpulkan mayoritas dukungan. Dengan demikian, partai-partai yang ingin memenangkan pemilu biasanya bekerja sama dengan partai lain dan membentuk koalisi.
Ini yang juga terjadi di Indonesia yang menganut sistem presidensial. Walaupun secara teori, dulu selalu dikatakan koalisi partai terjadi dalam demokrasi parlementer di mana partai-partai bekerja sama untuk menghindari pemerintahan minoritas.
Di sini, partai-partai membentuk koalisi merupakan keniscayaan yang harus dilakukan akibat pilihan sistem kepartaian yang multipartai. Karena seperti kata Kenneth Bunker, dalam pemilu legislatif tidak mampu mendapat suara sesuai tuntutan UU Pemilu. Maka mereka berkoalisi dalam pilpres.
Itu berarti, koalisi dibentuk, untuk memenuhi threshold atau ambang batas (batas minimal dukungan atau suara yang mesti dimiliki oleh peserta pemilu untuk memperoleh hak tertentu dalam gelaran pemilu) syarat pengajuan pasangan calon menurut UU.
Inilah yang “memaksa” partai-partai bersikap rasional dan pragmatis untuk bergabung membentuk koalisi. Mereka tidak keukeuh memegang ideologi partai–dengan berbagai alasan–demi kepentingan politik jangka pendek: merebut kekuasaan.
Dalam politik, hal semacam itu, biasa saja. Bukankah salah satu definisi politik adalah the art of possible, seni kemungkinan. Maka, selalulah dicari cara yang memungkinkan. Dalam hal pemilu adalah memungkinkan memenangi pemilu presiden, kandidat presidennya terpilih.
Jadi koalisi ibarat kata tidak seperti pecel atau lotek, yang berbahan sayur. Semua serba sayur bahan mentahnya; sedangkan tempe, peyek, telur, atau kerupuk hanya sebagai pelengkap saja. Nggak ada, ya nggak papa.
Koalisi lebih seperti gado-gado yang bahan mentah utamanya, tidak hanya berbagai macam sayur, tapi ada tempe, tahu, telur, emping, krupuk….lalu diguyur sambel kacang–bisa pedas, bisa tidak, atau agak-agak pedas–sesuai selera… Enak nggak enak, urusan masing-masing yang memakannya…
Begitulah koalisi seperti gado-gado.***
Parte besar maupun parte kecil yen ajeng rebutan kursi baru pada muncul dan berkoalisasi biar nampak berjuang untuk rakyat. Hanya rakyat yang mana tidaklah jelas…lihatlah saat ada bencana seperti pandemi kok mereka tidak rame-rame berkoalisasi meringankan beban rakyat. Malah terkesan pada angslup bersemedi diam dialam hening. Opo tumon paklik.
Leres, Pak…ono kok ungsume kelingan rakyat niku…padha kalih ungsum walang sangit…hrhehe
Gado² tu kan soal selera.
Br ngetren.nya gtu. Ya dinikmati sj.
politik juga gitu, ikut arus dulu, br sambil keluar klo gk cocok, sto mubgkin *agains the stream*
Oh ya, benar juga pepatah kuno, #de gustibus non disputandum est#
Ya, nek diikuti terus, yo mung tambah bodo…hehehe
Yang terjadi adalah pembodohan rakyat. Elite partai selalu berkata koalisi dibentuk karena persamaan flatform dan perjuangan untuk memajukan negeri. Nyatanya, untuk …….
Hahaha…begitulah, Mas….
Klo ngikuti logika filsuf gemblung RG, gadho²/ koalisi partai terjadi akibat adanya politik threshold 20% agar partai bisa nyapres. Mnrt filsuf gemblung tadi ini sangat tidak demokratis.
Untungnya maioritas politisi nalar tak pernah menggubris ocehan RG itu, dicuekin…jadi ya tetap sah2 saja klo ada gadho² koalisi partai. Mudah² an gadho2 partai tetap enak dinikmati rakyat, tetap beretika, bermoral dan tidak seperti kumpulan anak2 TK.
Aku pesen gadho2 sing pedes bingit Mgr.Trias…😃😀😇
Hahaha…wong gemblung kok dirungoke, Mgr…makan gado2 kemawon…salam