SUATU HARI DI UKRAINA

 

 

Foto: Istimewa/Istana

Di ferri yang membawa kami dari Batam ke Singapura, saya melihat foto Presiden Jokowi didampingi Ibu Negara, Ibu Iriana berjalan dengan langkah mantap, dan pandangan mata lurus ke depan di samping gerbong kereta api, di peron 4 Stasiun Przemysil Glowny, Przemysl, Polandia. Mereka akan ke Ukraina negeri yang sedang gemuruh dilanda perang.

Presiden dan Ibu Negara serta rombongan kecilnya, yakni Menlu Retno Marsudi Menseskab Pramono Anung, dan Ketua BIN Budi Gunawa, serta para paspampres, naik kereta api menuju Ukraina, negara yang sudah empat bulan dilanda perang. Perang pecah sejak 24 Februari 2022. Pada waktu itu, tentara Rusia dengan segala macam mesin perangnya berskala penuh, masuk dan membombardir Ukraina.

Akibat serangan itu yang oleh Presiden Rusia Vladimir Putin disebut,  “Operasi Militer Khusus” ribuan orang, tewas. Menurut “Office of the UN High Commissioner for Human Rights” (OHCHR), 24 Juni, korban   10,403 orang sipil: 4.634 tewas dan  5.769 terluka.

Serangan militer itu melahirkan jutaan pengungsi yang menyebar ke sejumlah negara Eropa, menghancur-luluhkan infrastruktur dan segala macam bangunan di wilayah yang digempur pasukan Rusia. Dan invasi militer itu menimbulkan krisis pangan, minyak, serta keuangan dunia.

Dunia pun akibat perang itu dicengkeram kekhawatiran akan pecahnya PD III. Sebab, senyatanya yang berhadapan bukan hanya Rusia dan Ukraina, tetapi juga Rusia dan AS serta Eropa yang tergabung dalam Pakta Pertahanan NATO.

Korban pasti akan terus bertambah, karena perang masih berkobar. Bahkan, Aljazeera dan BBC NEWS Rabu (29/6) pagi, ketika rombongan Presiden menuju Ukraina  memberitakan, Rusia merudal “shopping centre” di Kremenchuk, Ukraina. Serangan rudal itu menewaskan sedikitnya  18 orang dan melukai  59 orang lainnya. Pada saat diserang di dalam pusat perbelanjaan itu ada lebih dari 1.000 orang.

Dalam kondisi seperti itu, Presiden Jokowi dan rombongan mengunjungi Kiev, Ukraina. Ini mengingatkan akan kunjungannya ke Afganistan, 29 Januari 2018. Sehari sebelum kedatangan rombongan Indonesia, terjadi ledakan di Kabul yang menewaskan lebih dari 100 orang.

Bahkan beberapa jam sebelum Jokowi dan rombongannya, antara lain Menlu Retno Marsudi mendarat ada penyerangan ke Akademi Militer di Afghanistan. Kata Juru Presiden ( waktu itu) Johan Budi, Presiden Jokowi tidak mengenakan rompi anti-peluru yang disediakan Pemerintah Afganistan.

***

  1. Foto: Istimewa/Istana

 

Memang Pak Jokowi, bukan presiden RI  pertama yang nekat mengunjungi negara yang dikoyak-koyak perang. Tahun 1995, Presiden Soeharto pergi ke Bosnia-Herzegovina, yang dilanda peperangan.

Tetapi bedanya, Presiden Jokowi melawat ke negeri yang dicekam perang, bersama Ibu Negara Iriana. Padahal, Ibu Iriana bisa saja menunggu di Polandia, misalnya. Tetapi, Ibu Iriana menyadari sepenuhnya bahwa ia adalah Ibu Negara yang harus berada di samping Kepala Negara, ibarat kata dalam keadaan untung dan malang, bungah lan susah, dipuji dan dicerca, dikagumi dan dibenci.

Ada hal lain yang membuat kunjungan Presiden Jokowi istimewa, kalau boleh dibilang begitu. Pak Jokowi dan Ibu Iriana mengunjungi sekaligus,  negara yang diserang dan yang menyerang; negara korban dan pelaku penyerangan.

Foto-foto Presiden dan Ibu Negara di Ukraina yang beredar di media sosial–antara lain mengunjungi Rumah Sakit Pusat di Kiev, Ibu Negara memeluk korban perang dan mengunjungi kota Irpin  yang dibombardir Rusia– tidak bisa menceritakan hal lain kecuali mempertegas betapa tebalnya bela rasa, compassion, rasa kepedulian, welas asih  dan kemanusiaan mereka.

Menurut cerita, ketika Pak Harto ke Bosnia-Herzegovina yang sedang perang, tidak mengenakan rompi anti-peluru. Kata Menlu Retno lewat Whatsapp kemarin, “Presiden juga tidak mengenakan rompi peluru. Ibu Negara pun, demikian,  tidak memakai rompi anti-peluru. Saya pun tidak.”

Dalam perjalanan kereta dari Ukraina menuju Polandia, lewat Whatsapp  Menlu juga cerita, Presiden menaiki mobil yang disediakan pemerintah Ukraina. Tapi, bukan panser. Mobil keras, kata Menlu. Waktu di Afganistan juga demikian, ditambah dikawal panser dan helikopter.

***

Foto: Istimewa

Kunjungannya ke Ukraina, pertemuannya dengan para korban perang, pembicaraannya dengan Presiden Ukraina dan Presiden Rusia, bukan untuk mencari tepuk tangan; bukan untuk mencari panggung; bukan untuk mencari keuntungan diri. Tidak.

Tetapi, kunjungan itu untuk berbela rasa, untuk mengupayakan perdamaian, untuk menghentikan perang yang kata Paus Fransiskus,  telah menumpahkan “sungai darah dan air mata.”

Ketika para pemimpin dunia berteriak-teriak yang cenderung memanaskan situasi, Presiden Jokowi bertindak dengan aksi nyata. Ketika negara-negara Barat dan AS memberikan bantuan senjata untuk melawan kekuatan Rusia, Presiden Jokowi memberikan hatinya, kepedulian manusiawinya, welas-asih. Ketika para pemimpin negara lain mengancam-ngancam, Presiden Jokowi mengajak bicara dari hati ke hati.

Belas kasihan adalah dorongan batin, keinginan hati atau perasaan yang membuat orang merasa sedih ketika melihat penderitaan dan kemalangan sesamanya dan menggerakannya untuk menolong, untuk menyapa, untuk berbagi, untuk peduli. Sikap peduli terhadap sesama tidak mungkin tumbuh dengan sendirinya, harus diasah dari waktu ke waktu, sejak dari keluarga.

Maka misi Pak Jokowi ke Ukraina dan Rusia, tak jauh berbeda dengan kunjungannya ke Afganistan ketika itu: untuk mewujudkan komitmen kuat Indonesia  mendukung perdamaian; tidak hanya perdamaian Ukraina, tetapi juga perdamaian dunia.

Komitmen Indonesia akan perdamaian sangat jelas, nyata, dan kuat. Sebab, komitmen itu tertulis dalam Pembukaan Konstitusi, alenia keempat. “….ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, ….”

Akan tetapi, “berhenti” pada alenia itu saja tidak cukup. Amanat itu, harus diwujudkan. Untuk mewujudkan harus ada niat yang tulus, harus ada krenteg ing ati, kehendak hati yang kuat dan tulus.

Itulah yang diwujudkan Pak Jokowi, didampingi Ibu Iriana. Kunjungan itu akan, bahkan sudah, tercatat dalam sejarah bangsa, memori bangsa. Bahkan bangsa-bangsa dunia.

Suatu hari nanti, orang akan mengatakan, “Kita pernah memiliki Presiden dan Ibu Negara, yang berani mengambil risiko luar bisa, mengunjungi negeri yang sedang dalam gemuruh perang, demi perdamaian, demi kemanusiaan.” ***

Bagaimana menurut Anda artikel ini
+1
0
+1
0
+1
27
+1
38
Artikel Internasional