Hari Kamis kemarin, kami ngobrol bertiga: J Kristiadi, Soemarsono Noto Widjojo, dan saya. Kami ngobrol sambil makan siang.
Dengan J Kristiadi, saya sudah kenal lama. Pertama bertemu dengan peneliti senior dari CSIS itu sekitar tahun 1980, dalam sebuah seminar. Tetapi, dengan Soemarsono, baru hari Kamis itu saya bertemu dan berkenalan. Meski baru kenalan saat bertemu, kami langsung akrab, langsung klik.
Soemarsono yang insinyur dari ITB adalah seorang dalang dari Yogya. Dalang dalam arti yang sesungguhnya. Ia dalang wayang purwa, bukannya auctor intellectualis, auktor intelektualis, otak atau dalang yang lebih berkonotasi negatip. Misalnya, siapa auctor intellectualis kerusuhan di Stadion Kajuruhan, Malang? Siapa auctor intellectualis demo anti-kenaikkan BBM?
Soemarsono yang pernah kuliah di ISI (Institut Seni Indonesia) Yogya, dikenal sebagai dalang yang berusaha memperkenalkan wayang pada anak muda, kaum milenial. Pagelaran wayang tidak dilakukan semalam suntuk. Tetapi hanya sekitar empat jam.
Pagelaran wayang kulit juga digunakan Soemarsono untuk—kalau zaman Orde Baru dulu disebut penataran P4–menguraikan nilai-nilai Pancasila dengan cara dan gaya bahasa yang lebih cocok serta bisa diterima kaum muda milenial, untuk menanamkan jiwa dan semangat patriotisme, cinta tanah air pada kaum muda
***
Ya, karena namanya ngobrol, maka yang kami obrolkan macam-macam: soal wayang, karakter manusia berdasarkan wayang, politik wayang dan wayang politik, serta tentu soal politik terutama pelaku politik kekuasaan yang akhir-akhir makin menarik. Apalagi kalau mengikuti hasil survei popularitas dan elektabilitas sejumlah tokoh politik dan masyarakat.
Mula-mula kami ngobrol soal Serat Darmagandul, yang menceritakan runtuhnya Majapahit karena diserbu Demak. Buku ini di masa lalu pernah dilarang.
Lalu kami masuk ke soal wayang. Kata George Quinn (2021), memang di abad ke-21 ini, wayang kulit klasik mulai meredup. Tetapi, tokoh ikonografinya yang rumit simbolisme, dan bahkan tata susila serta falsafahnya tetap menjadi unsur inti dalam jati diri masyarakat di Pulau Jawa. Misalnya, soal karakter manusia berdasarkan wayang.
Kata Soemarsono, wayang itu punya banyak tokoh yang menggambarkan karakter manusia (sama seperti dunia politik yang juga memiliki banyak tokoh). Setiap tokoh itu punya karakter khusus, spesifik. Seperti juga manusia yang tak sama karakternya, tokoh- tokoh wayang punya sifat, tabiat, bahkan takdirnya sendiri-sendiri.
Sebagian tokoh punya karakter yang memesona. Karakter ideal. Tetapi, ada juga yang berkarakter tidak baik, berkarakter sontoloyo. Ada yang jujur, ada yang tidak jujur. Ada yang rendah hati, ada yang tinggi hati. Ada yang pendiam, ada yang suka menggumbar suara. Ada yang banyak omong tak punya kerja, ada yang kerja terus tak banyak omong.
Misalnya, Sengkuni. Dalam cerita Mahabarata, Sengkuni patih Kerajaan Astinapura ini dikenal sebagai tokoh paling licik, suka memutar-balikan fakta, mlintir, machiavellian, tukang adu domba, provokator penghasut, auctor intellectualis, suka bikin keributan, sekaligus munafik, bermuka dua, suka mencari keuntungan di tengah ketidak-beruntungan orang lain.
Sering pula Sengkuni diceritakan sebagai tokoh yang lihai merangkai alasan; mampu berpur-pura baik padahal mau menjerumuskan. Maka Sengkuni disebut sebagai salah satu tokoh yang memiliki sejuta kebusukan. Ia berhasil merangkai bahkan meramu kebusukan menjadi suatu hal yang dengan mudah diamini saja.
***
Ada pula tokoh yang kesetiaannya pada negara melebihi kesetiaannya pada keluarga, bahkan pada kebenaran. Right or wrong is my country. Begitu, kira-kira. Misalnya Adipati Karna dalam perang Bharatayuda tetap membela Kurawa, karena merasa sudah memeroleh segala-galanya–derajat, pangkat, semat dan sebagainya– dari raja Astina. Meskipun Karna sudah dibujuk ibunya, Dewi Kunti, dan diberitahu bahwa sebenarnya ia satu Ibu dengan Pandawa.
Contoh lain, Kumbakarna. Ia tetap membela Ngalengkadiraja yang diserbu Prabu Rama dan pasukan keranya. Meskipun penyerbuan itu terjadi karena ulah kakaknya, Dasamuka yang mengumbar hawa nafsu birahi dengan menculik Dewi Sinta, istri Prabu Rama. Kumbakarna adalah tokoh jujur, membela yang benar, bukan yang mbayar.
Cerita wayang juga bisa menjadi cermin bagi pemimpin. Misalnya, seorang pemimpin pantang menarik ucapannya. Seorang pemimpin harus bisa dipegang omongannya. Tidak mencla-mencle. Tidak esuk dele, sore tempe. Pemimpin harus bisa memertanggung jawabkan dan mewujudkan omongannya, bukan hanya sekadar pandai bersilat lidah; sehingga menjadi pemimpin kata-kata belaka.
Dalam dunia politik, memang, kata-kata diperlukan untuk membangun citra. Maka, di negeri ini, prestasi tak mampu mengalahkan kata-kata. Dalam pilkada atau pemilu, biasanya pemilih terutama di desa-desa, tak paham, tak mudeng apa itu prestasi.
Pokoknya, kata-kata yang ndakik-ndakik, muluk-muluk yang lebih mujarab. Maka lahirlah politik kata-kata. Sekarang ini, sedang awal musim kata-kata. Musim politik kata-kata. Tahun depan, akan makin menjadi-jadi, akan ada obral kata-kata.
Kadang karena hanya main kata-kata maka terlihat bodoh. Tapi, kata Napoleon Bonaparte (1769-1821) dalam politik, kebodohan bukanlah cacat. Artinya tidak dianggap memalukan. Maka jangan heran banyak yang membuat pernyataan bodoh, tapi tidak malu.
Politik kata-kata dimaksudkan untuk mengambil perhatian rakyat, Ad captandum vulgus. Yakni dengan memberikan janji-janji manis pada rakyat. Maka kata George Orwell (1903-1950), bahasa politik dirancang untuk membuat kebohongan terdengar jujur dan pembunuhan menjadi dihormati.
Dalam dunia pewayangan, hal bertutur-kata pun, dimaknai. Kehalusan berbahasa dan nada suara yang pelan adalah ciri satria terhormat. Sebaliknya suara lantang dan tutur kata yang kasar digolongkan sebagai sifat raksasa dari negeri seberang alias tidak nJawani.
Sebaliknya, dalam cerita wayang, jiwa ksatria tidak mengenal kata mundur bila benar. Akan tetapi selalu siap mengaku salah ketika khilaf. Tidak mencari kambing hitam, lempar batu sembunyi tangan. Sudah salah, berteriak lantang dan ngotot sambil menuding pihak lain yang salah. Itu yang kerap kali terjadi.
***
Kata Soemarsono, yang menarik konflik adalah bagian tak terpisahkan dari cerita wayang. Kisah Bharatayuda menceritakan perang trah Bharata–Pandawa dan Kurawa–memerebutkan negara Astinapura. Perang terjadi karena ada kelicikan, ada kebohongan, ada pengingkaran janji, serta ada nafsu untuk berkuasa.
Tetapi, sebenarnya sumber utama persoalan adalah nafsu. Nafsu akan kekuasaan. Ketika seseorang dikuasai nafsu maka lenyaplah akal budi . Lahirlah niat dan perilaku jahat. Karena nafsu akan kekuasaan, segala cara dilakukan demi kekuasaan; orang jadi Machiavellian, menghalalkan segala usaha dan cara, tak peduli akibatnya meskipun rusak-rusakan.
Dalam konteks sekarang, misalkan, memainkan politik identitas dalam memerebutkan kekuasaan. Hal itu terjadi karena kuatnya nafsu kekuasaan. Maka jalan Machiavellian-lah yang ditempuh. Peduli amat dengan akibatnya. Yang penting, aku berkuasa.
Kata orang bijak, hidup adalah pertarungan dalam diri manusia antara menyeimbangkan nafsu dan akal budi. Nah, wayang adalah cerita kehidupan, bayang-bayang kehidupan. Maka, wayang adalah tempat manusia bercermin tentang kehidupan dan bukan sekadar sebagai Ad captandum vulgus….***
Dalam Maha Bharata Kutawa ludes habis, semua mati. Beda dg Ramayana.
Ya, perlambang habisnya angkara murka
Suwun
Sangat menyegarkan gizi ilmu yang disuguhkan Maha Guru (ias) dan memberikan pencerahan yg luar biasa. Salam sehat dan tetap waspada covid-19. Horas
Jufri, salam sehat…terima kasih
Matur nuwun asupan ilmunya, Pak IAS.
Sama2, Fikri…salam
Matur nuwun bung, sungguh pas “timing” nya kajian tentang wayang ini. Setuju, perlu bercermin kpd wayang, karena wayang adalah “wewayanganing aurip/ngaurip”. Artinya, wayang adalah refleksi, simbolisasi dari pada kehidupan manusia, termasuk politik, he hee.
Wayang politik, politik wayang … ayuuuk sering-seringlah menonton wayang.
Terima kasih, Senior…siap, nonton wayang