Inilah yang namanya Ironi. Ironi dunia sepak bola Indonesia. Bukankah selama ini nyaris tidak pernah, tim sepak bola Indonesia diberitakan banyak media dalam beragam platform di seluruh dunia karena prestasinya; prestasi gemilangnya.
Tetapi, kini sepak bola Indonesia diberitakan karena tragedi; karena catatan buruknya. Noda hitam legam dari Malang menempel di wajah persepak-bolaan Indonesia. Ini akan menjadi catatan sejarah. Bukan hanya catatan sejarah sepak bola Indonesia tetapi bahkan dunia!
Hari ini, media dunia seperti berebut memberitakan tragedi di Stadion Kanjuruhan, Malang yang menewaskan lebih dari 100 orang, pada hari Sabtu, 1 Oktober 2022. Koran AS, The New York Times,_misalnya, menulis judul More than 125 Dead in Unrest After Indonesian Soccer Match lalu BBC News menulis Indonesia: At least 125 dead in football stadium cruch; koran The Sydney Mornil Herald menurunkan berita More than 120 football fans dead at Indonesian top-flight match, say police.
Lalu koran negara jiran, Singapura, The Strait Times memilih judul More than 129 people killed after Stampede at Indonesia football match; Harian The Washington Post menulis 139 dead after fans stampede to exit Indonesia soccer match.
Lalu, Indonesia stadium tragedy: 130 people dead following soccer match stampede tulis cnn.com._ Media Jerman DW menurunkan berita berjudul Indonesia: 129 killed after ‘riots’ at football match. Media Mesir, egyptindependent.com menulis Indonesia stadium tragedy: 129 people dead following soccer match, police say.
Sejumlah media memberikan angka korban yang berbeda. Misalnya, euronews.com menulis FIFA laments ‘dark day’ after Indonesia football stampede kills 174; sedang theguardian.com memilih judul At least 174 dead after crowd crush at Indonesia football match; dan aljazeera.com menurunkan berita berjudul Hundreds killed, hurt in stampede at Indonesia football match.
Sementara The Sporting News menulis lebih lengkap, Indonesia football tragedy: At least 174 killed following derby match between Arema FC and Persebaya Surabaya. Lalu barrons.com menulis Indonesia Football Stadium Riot Deat Toll Jumps To 174: Official.
Ada juga yang melihat dari sisi lain. Misalnya, timesnownews.com yakni Indonesia Football horror: What caused stampede at stadium that killed 174? Prez orders safety review of matches; juga risingbd.com yang memilih menyoroti penjualan tiket: Indonesia football tragedy: Tickets sold more than capacity; lalu spectrumlocalnews.com menulis Explainer: What’s behind Indonesia’s deadly soccer match?_ Dan, masih banyak lagi dari segala penjuru dunia.
***
Pendek kata sepak bola Indonesia, saat ini terkenal, mendunia. Karena tragedi Stadion Kanjuruhan. Maka komentar orang pun macam-macam: Gila! Ngeri! Edan! Tak berbudaya! Tak masuk akal. Tinggal nunggu sanksi FIFA.
Meskipun ada seorang kawan yang mengikuti ketat dunia sepak bola nasional mengatakan, peristiwa seperti yang terjadi di Malang sebenarnya sudah bisa diduga akan terjadi. “Tinggal menunggu waktu saja,” katanya “kalau mengikuti perjalanan sepak bola di negeri kita ini.”
Karena, bentrokan antar suporter di luar lapangan kerap kali terjadi. Sepertinya, “nggak lengkap” kalau pertandingan sepak bola tanpa bentrokan. Misalnya, bentrokan antara suporter Persija Jakarta dan Persib Bandung, beberapa kali terjadi.
Bahkan pada tahun 2018, seorang suporter Persija Jakarta tewas karena bentrokan dengan bebotoh Persib Bandung. Tawuran antar suporter PSIM Yogya dan PSS Sleman (2021), juga pernah terjadi. Suporter Persis Solo tawuran dengan warga Yogya, menjelang bertanding melawan Dewa United di Magelang (2022). Bentrok antara suporter Persija dan PSM Makassar (2019) juga terjadi.
Mengapa hal itu bisa terjadi. Ada yang mengatakan di negeri ini, sepak bola sudah seperti “agama” seperti di Brasil atau Argentina sono. Meskipun dari segi prestasi, bak langit dan bumi. Di Brasil atau Argentina, memang demikian. Sepak bola bukanlah permainan, atau olahraga; itu adalah agama”
Kata Pele, legenda sepak bola dunia, “Sepak bola seperti agama bagi saya.” Pele pernah mengakui, “Saya memuja bola dan memperlakukannya seperti dewa”. Setiap empat tahun, ritual keagamaan agung yaitu Piala Dunia, digelar.
Tetapi, dengan pecahnya tragedi Stadion Kanjuruhan, apakah sepak bola tetap seperti agama yang memberikan kesejukan dan kedamaian dan perdamaian, yang menjunjung tinggi serta menghormati nilai-nilai kemanusiaan? Kiranya, tidak demikian.
Tragedi Kanjuruhan terjadi karena fanatisme buta para suporter. Mereka tidak lagi menonton sepak bola sebagai bagian dari fun, kesenangan, kegembiraan, tapi lebih untuk meluapkan fanatisme buta mereka.
Mereka “mabuk agama” (mabuk bola), kalau sepak bola diibaratkan bagai agama. Tapi dengan fanatisme buta itu, sepak bola tidak lagi bagai “agama” melainkan “candu.”
Kecanduan berat terjadi akibat fanatisme buta. Karena telah menjadi candu, sepak bola yang seharusnya memberikan semangat kebersamaan, kemanusiaan, simbol peradaban, telah menghancurkan. Kecanduan berat terhadap apa pun–termasuk mabuk agama–yang menyebabkan mabuk akan berakibat buruk.
Mabuk agama, misalnya, berakibat buruk juga. Karena membuat si pemabuk buta, tidak hanya mata, tetapi hatinya. Akibatnya, agama yang sebenarnya memberikan kedamaian, perdamaian, dan ketententraman hati bisa berubah menjadi pemecah persatuan antar-manusia.
Apalagi, kalau agama dicampur dengan politik, politik kekuasaan maka akibatnya akan sangat parah bagi suatu bangsa. Sebab, orang bisa memburu kekuasaan bersenjatakan agama; dan menyingkirkan yang tidak sepaham.
***
Tragedi di Kanjuruhan adalah hasil dari fanatisme buta itu, salah satunya (karena ada sebab-sebab lain di luar kegilaan, bahkan ketidakadaban suporter. Misalnya, tindakan aparat yang berlebihan seperti terlihat dari video yang beredar dan menurut pemberitaan juga digunakannya gas air mata, sehingga membuat penonton berebut menyelamatkan diri, desak-desakan, himpit-himpit, dan mungkin yang jatuh terinjak-injak. Dan, bisa jadi sebab lain ini justru menyumbangkan penyebab paling besar banyaknya korban jiwa maupun luka, cidera).
Para suporter yang telah dirasuki fanatisme buta, mendukung klab pujaannya berarti menyerahkan seluruh jiwa-raganya. Karena mereka mendukung dengan segenap budi, pikiran dan hatinya, dengan segenap jiwa-raganya. Maka eksistensi klab, kesakralan klab adalah segala-galanya.
Andaikan ada undang-undang penistaan terhadap klab sepak bola—seperti penistaan terhadap agama—maka akan menjadi lebih runjam lagi. Misalnya, menjelek-njelekkan klab sepak bola tertentu bisa dipolisikan, dan bisa bikin huru-hara.
Meski tidak ada undang-undang penistaan klab sepakbola, fanatisme buta terhadap klab pun telah menabrak nilai-nilai luhur yang semestinya dipegang teguh oleh manusia yang berkeadaban. Misalnya, nilai-nilai kemanusiaan, nilai-nilai toleransi terhadap yang berbeda.
Kekerasan, tindakan anarkis seperti yang terjadi di Stadion Kanjuruhan adalah contoh nyata penabrakan terhadap nilai-nilai keadaban itu. Anarkisme di Kanjuruan telah menempatkan tragedi kekerasan sepak bola Indonesia menelan korban jiwa terbanyak di dunia setelah Peru tahun 1964 yang menewaskan 328 jiwa.
Maka tepat keputusan Presiden Jokowi yang antara lain menghentikan Liga 1 sampai ada evaluasi dan perbaikan prosedur pengamanan.
Semoga para korban meninggal, beristirahat dalam damai…..yang sakit segera sehat kembali…dan keluarga para korban diberi kekuatan dan penghiburan….
***
Berbela rasa untuk para korban yg meninggal, yg cidera, pun untuk para keluarga dan kerabat yg berduka.
Ini musibah bagi seluruh pemcinta sepakbola. Bgmn ke depannya ?! Perlu kesadaran, perhatian, upaya pembenahan sungguh2 agar persepak bolaan di negeri kita lbh atraktif, bermutu, disegani, menaikkan reputasi Indonesia ….
Betul, senior..
Semoga tragedi ini benar2 jadi pelajaran
Ikut belasungkawa atas meninggalnya para penonton di stadion Kanjuruhan, Malang semoga pengorbanan nyawa mereka tidak sia2 dengan tindak lanjut semua pihak untuk membenahi sepakbola dan olahraga manapun di tanah air termasuk pembinaan lingkungan yang sportif, ksatria, manusiawi dan pemahaman suatu game adalah kegembiraan…bukan permusuhan. Kejadian ini sungguh sangat memprihatinkan.
Amin..
Semoga demikian, Pak…penonton makin cerdas
Sudut pandang bagus, kecanduan keagama-agamaan. Mesti ada kelajutannya yaitu sdt pandang hukum penanganannya: penggunaan gas airmata.
Inggih leres, Ki…sarujuk…penangananipun kebablasan…mbok bilih, malah ini penyebabnya korban begitu banyak…tp, itu bermula dari sikap, kelakuan dan tindakan suporter…nuwun
Itu yang sekarang sedang dilakukan tim pencari fakta, Ki…mpga ada tindakan hukum yg benar..suwun
Di lingkaran komunitas politik juga terjadi hal serupa. Kecanduan nafsu dan ambisi mesti menang, tapi tdk siap kalah. Utk menang dilakukan berbagai cara utk membunuh lawan politiknya. Kalau kalah dicari berbagai peluru fitnah utk mendeligitimasi kemenangan lawan. Mungkin ini fenomena social subconscious akibat lama dijajah. Pokoke lawan, hajar…
Selamat pagi, Prof…terima kasih banyak atas perhatian dan masukannya…sangat menarik itu…bisa dikembangkan ke sana…mohon izin, coba saya mainkan…suwun
Itulah, Prof…yang berulang kali terjadi…apa yg salah dng negeri ini, kok hal semacam itu selalu terjadi…jangan2 nanti akan terjadi lagi ..jelang dan pasca pemilu
Analogi nya dengan fanatisme *agama* dengan yang *real agama* sangat tepat seperti kita lihat di tempat2 tertentu di Indonesia dan habitus2 itu paralel ikut terbawa kalau sudah menjadi fanatisme buta mendukung club pujaannya. Kalau benar ada mars Arema yg salah satu kata di liriknya berbunyi… *sampai mati* … itu yg ngarangnya apa tidak cermin dari fanatikus buta itu.
Wah, menarik ini..mars-nya…coba saya cari..
Terima kasih banyak…Salam
Betul Mas Trias.. Kebetulan sy pernah tinggal di negeri2 pemenang Piala Dunia: Italia, Prancis dan Spanyol. Para pemain bola kalo bye but stadion itu temple.. jadi memang sepak bola sdh seperti agama fanatismenya.. Khusus kasus Kanjuruhan ini, selama berlangsungnya permainan kan aman-aman aja, krn gak ada Bonek yg nonton. Tapi begitu selesai dan rusuh.. makin jelas bhw edukasi n mengelola fans / supporters itu hrs jadi prioritas semua stakeholders sepak bola. Suwun Mas Trias analisa nya.. Salam duka cita Kanjuruhan..
Betul, Mbakyu Dubes…edukasi penonton (juga panpel) sangat penting…salam
RIP
Terima kasih atas ulasannya, Pak IAS
Salam kreatif IKI