Beberapa hari lalu, Kepala SMAN 6 Surakarta Agung Wijayanto periode 2015-2020, memastikan ijazah yang dimiliki Presiden Jokowi adalah asli. Pernyataan ini untuk membantah kasus ijazah palsu Presiden Jokowi yang bergulir di pengadilan.
Isu ijazah palsu Presiden Jokowi muncul setelah ada gugatan dari Bambang Tri Mulyono, pada 3 Oktober lalu. Dalam petitumnya Bambang menyebut dugaan ijazah palsu Presiden Jokowi pada tingkat SD, SMP, dan SMA.
Agung Wijayanto mengatakan, siapa saja yang meragukan keaslian ijazah Presiden Jokowi bisa datang langsung ke SMAN 6 Surakarta. Dulu, tahun 2019, Agung Wijayanto pernah menegaskan hal yang sama _(Antaranews_ Jateng, Kamis, 17 Januari 2019 16:32 WIB).
Lalu hari Selasa lalu UGM membuat pernyataan tentang keaslian ijazah Jokowi. “Atas data dan informasi yang kami miliki dan yang terdokumentasi dengan baik, kami meyakini keaslian ijazah sarjana S-1 Insinyur Joko Widodo,” kata Rektor UGM Ova Emilia dalam jumpa pers.
***
Kasus itu mengingatkan saya akan seorang dramawan Inggris, yang sebenarnya berasal dari Belanda Thomas Dekker (1572 – 1632). Ia pernah mengatakan, kebenaran memiliki seorang ayah, tapi kebohongan adalah anak haram dari seribu ayah, dan dilahirkan di segala tempat.
Mengerikan, bukan. Itulah sebabnya, Tom Phillips, mengatakan setiap hari kita berenang dalam lautan omong kosong, separuh kebenaran, dan pemalsuan. Kita berbohong, dan kita dibohongi.
Masih kata Tom Phillips (2019) kehidupan sosial kita bergantung pada sungai kebohongan putih kecil yang terus mengalir. Kita sangat menyukai dusta yang dibuat dengan sangat baik. Kita tinggal dalam masa unik yang resisten terhadap fakta.
Melakukan kebohongan seperti menjatuhkan diri dalam lingkaran setan. Satu kebohongan akan diikuti kebohongan yang lain untuk menutupi kebohongan sebelumnya.
Tetapi, tidak ada dusta, kebohongan yang berasal dari kebenaran. Artinya, bila kita berpegang pada kebenaran, maka kita tidak akan berdusta, tidak akan berbohong.
Lalu kata filsuf renaisans Perancis, Michel Eyquem de Monysigne (1533-1592), jika kebohongan memiliki, layaknya kebenaran, hanya satu wajah saja, kita akan hidup di zaman yang lebih baik…tapi kebalikan dari kebenaran memiliki seratus ribu bentuk, dan ladang yang tak terbatas, tanpa batas maupun hambatan.
***
Dalam rumusan yang lucu, Jonathan Swift (1667-1745) seorang penyair, satiris, esais dan juga rohaniwan Anglikan mengatakan, kebohongan dapat menjelajah separuh dunia, selagi kebenaran masih memakai sepatunya. Artinya, kebohongan dusta sudah bergerak ke mana-mana, sementara kebenaran masih di “dalam rumah.”
Dengan menulis seperti itu, Jonathan Swift ingin mengatakan cerita-cerita palsu dapat menyebar dengan cepat sehingga penyangkalan pun tidak mampu memperbaiki kerusakan yang terjadi. Banyak orang dengan senang hati menjadi kaki-tangan penyebaran kebohongan. Apalagi kalau ada kompensasinya.
Maka itu, dusta, kebohongan ada di mana-mana, ada di sekitar kita. Malahan ada yang berternak kebohongan. Ada pula yang menjadikan kebohongan sebagai sumber kehidupan; menjadikan sebagai alat atau senjata untuk meraih kekuasaan; untuk memfitnah orang atau pihak lain; untuk mencelakakan orang lain.
Pendek kata, kebohongan digunakan untuk segala macam tujuan dengan berupa-rupa cara dan sarana. Di zaman kiwari, zaman teknologi komunikasi yang canggih ini, penyebaran kebohongan pun menggunakan cara-cara dan sarana-sarana canggih pula.
Segala macam platform media sosial digunakan– antara lain _Youtube, Whatsapp, Facebook, Instagram,_ Tiktok, dan _Twitter_–untuk menyebarkan kebohongan. Berita bohong, hoaks ada di mana-mana dan terus disebarkan untuk berbagai tujuan, termasuk tujuan politik, politik kekuasaan.
Bahkan, pengerahan massa pun dilakukan, untuk memberikan kesan bahwa yang mereka sebarkan bukan kebohongan melainkan kebenaran. Kata Tom Phillips, kebohongan hanyalah salah satu manifestasi dari ‘seratus ribu bentuk’ yang dimiliki lawan dari kebenaran.
Karena saking terbiasa bergaul, bergumul, berinteraksi dengan kebohongan, orang lupa dengan kebenaran; lupa bahwa kebenaran itu ada dan nyata. Persis seperti yang dikatakan Niccolo Machiavelli.
Kata Machiavelli, “Sudah sangat lama saya tidak mengatakan apa yang saya percayai, dan tidak memercayai apa yang saya katakan, dan jika kebetulan saya mengatakan kebenaran, saya menyembunyikannya di antara banyak kebohongan sehingga sulit untuk ditemukan.”
***
Kebohongan yang menyebar dan sengaja disebarkan ke mana-mana telah menimbulkan noise, kebisingan, kegaduhan, keributan, berisik yang merugikan. Ia seperti kuda lepas dari kandang, lari ke sana ke mari, nabrak sana nabrak sini, membuat hiruk-pikuk, gaduh.
Maka orang bijak mengatakan, lidah lembut adalah pohon kehidupan, tetapi lidah curang melukai hati. Saksi yang setia tidak berbohong, tetapi siapa menyembur-nyemburkan kebohongan, adalah saksi dusta.
Begitulah, omong kosong itu. ***
Tulisan yang bagus.
Satu hal yang perlu ditegaskan adalah bohong itu hukumannya harus sepadan dg kerugian yang diakibatkan.
Berikutnya, orang memfitnah orang lain melakukan kebohongan hukumannya harus diperberat.
Begitulah, seharusnya Pak Dubes…
Sering kebohongan dilakukan tanpa malu dan ragu, alias mantap sebagai pembohong.
Kalau demikian maka kebohongan itu sudah menjadi satu, melekat erat dg dirinya sehingga sering membuat kebohongan tanpa ragu dan malu.
Yg lebih tragis lagi, walaupun kebohongan itu mudah dibuktikan kebohongannya, tapi dia masih tetap ngotot. Logika sederhana saja bisa membuktikan kebohongannya, tapi si pembohong tetap ngotot.
Kalau begitu, memang dia sudah hilang akal sehatnya. yang ada adalah kebencian yg menumpulkan akal sehat.
Sayang mang…
Itulah pembohong sejati, Romo …nuwun
Wah perlu mawas diri. Jangan2 saya juga percaya sama yang bohong dan menyebarkannya.
Hahaha….jangan2 saya juga bohong
Dlm hidup ini, ada bnyk orang. Ada yg suka berbohong, ada yg tdk. Orang² ini hdp di bumi, di dunia ini, di alam ini.
Sy yakin alam akan memilih n memisah2kan orang, dr yg berbohong maupun yg tdk. Kita lihat sj, sIapakah yg menang, yg berbohong ato yg tdk.
Seandainya yg tdk berbohong kalah, pasti alamlah yg akan bicara n bertindak.
Sy yakin, yakin se.yakin²nya kok.
Monggo !
Nggih…leres
Dahsyaaat, Romo Kiai Trias. Semoga dapat menjadi pencerahan di tengah zaman bo’ong saat ini.
Salam sehat, seger, kewarasan.
BD🙏🏻
Amin….salam jujur
Bukan sekadar anak haram, Pembohongan adalah populisme, dalam kekinian adalah monster pemakan co eksistensi.
Pembohongan adalah genus dari species individualisme, self services, sosiocentric, dengan familiae dari model etika: pragmatisme.
Sesungguhnya, pembohongan itu adalah sistem “agama”/ideologi yang melawan coeksistensi. Beranak pinak dalam parenting (ayah atau ibu atau kakak atau adik), sampai sistem politik, ekonomi, dan budaya lokal global (glocal). Kini berpademi ria melalui komunikasi modern. Pinokia sedang mempermainkan manipulasi via HP.
Pembohongan duduk manis dalam lapisan bawah candi Barobudur menikmati relief rupadatu.
Sebagian lagi, adalah Sisipus yang sedang ziarek naik turun tangga candi Borobudur, atau apa pun tempat ibadatnya.
Jadi, berkelindankah, sosok manusiakah itu setan atau malaikat? Kebohongan itu Delok Udelmu Dewe (lihat pusarmu sendiri). Kebohongan seperti burung berkicau dengan menyanyi riang gembira: “Lu Lu Gua Gua”.
Identitas “bangsa” adalah kawanan ternak. Identitas Populisme. Monster penghancur co eksistensi. Itulah privatisme. Menolak republikanisme. Karikaturalnya, demikian?
Wow…dahsyat…..terima kasih