PASTA, MI, DAN NASI GORENG

 

Nasi goreng seperti ini yang disantap Paus Fransiskus dalam perjalanan dari Jakarta ke Port Moresby, PNG (Foto: Yosie Susilo/Kompas)

Sambil berdiri menunggu kedatangan Paus Fransiskus yang akan melanjutkan perjalanan apostoliknya ke PNG, di Bandara Soekarno-Hatta, saya ngobrol dengan Enny Kristiani. Kata Direktur Human Capital dan Corporate Service PT Garuda Indonesia (Persero) ini, “Kami tawarkan tiga jenis makanan kepada Paus Fransiskus.”

Info kecil dari Enny Kristiani itu menarik perhatian kami dan membuka obrolan kami makin menarik. Hampir berbarengan kami, Direktur Jenderal Perhubungan Udara Maria Kristi Endah Murni dan saya bertanya, “Apa saja?”

“Kami menawarkan pasta, mi, dan nasi goreng,” kata Enny. Dan ternyata Paus memilih nasi goreng. Nasi goreng yang dipilih. Bukan pasta yang bagi Paus sudah biasa. Makanan Italia ini, dengan berbagai macam jenisnya–angel hair, linguine, fetucini, makaroni, penne, ziti, farfalle, gnocchi, lasagna, ravioli, atau jenis lainnya lagi–tentu sudah sangat biasa.

Mi? Tak jauh-jauh dari pasta. Ya, katakanlah, masih saudara–entah saudara sepupu atau saudara tiri dalam dunia makanan atau saudara sesama makanan yang berbahan tepung.

Nasi goreng? Walaupun, menurut cerita jenis makanan ini berkakek dan bernenek moyang di daratan China, tetapi karena sudah ratusan tahun silam datang ke negeri ini (perdagangan China dengan negeri ini, sudah dilakukan sejak abad ke-10) dan bercampur dengan begitu banyak unsur (bahan-bahan) lokal, maka disebutkan nasi goreng menjadi makanan khas Indonesia.

Di dalam daftar menu Garuda ditulis : Yang Chow Rice, Slice chicken black pepper sauce, sauteed kailan w/shimeji, sauteed carrot turned, sliced red chilli & spring onion. Nasi goreng ayam. Makanan khas Indonesia ini yang dipilih Paus Fransiskus.

Dengan memilih nasi goreng–Paus Fransiskus yang berulangkali menyatakan senang, puas, dan terharu atas sambutan masyarakat yang sangat antusias, semangat penuh persaudaraan dan kejujuran, benar-benar mau “merasakan” dan menyatu dengan Indonesia. Indonesia negeri yang dikaguminya, karena Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika-nya.

***

Nasi goreng mengingatkan pada Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hajar Dewantara. Tokoh Taman Siswa ini dikenal sebagai yang mencetuskan “Filsafat Nasi Goreng”, filsafat adaptionis. Walaupun nasi goreng itu berasal dari China, tapi karena sudah menyatu dengan bahan-bahan lokal, maka jadilah makanan itu masakan Indonesia.

Nasi goreng biasanya dimasak menggunakan minyak kelapa. Tapi, kalau misalnya minyak kelapa diganti margarine bikinan negara lain, sebut saja Belanda, ya tetap disebut masakan khas Indonesia. Walaupun mungkin karena dimasak menggunakan margarine menjadi jauh lebih lezat.

Setiap makanan memiliki filosofinya sendiri-sendiri. Demikian pula nasi goreng. Nasi goreng itu mengajarkan kesederhaan. Bukankah menurut cerita, karena orang-orang China tidak suka makan makanan dingin, makan “sego wadhang” (nasi kemarin), maka agar lebih enak, dan tidak dibuang, nasi lalu digoreng.

Memang, sekarang bahan nasi goreng bukan lagi “sego wadhang” tapi nasi baru; pun pula tidak sesederhana dulu, yang cukup digoreng dengan bumbu cabe, bawang merah dan putih, garam, kalau suka ditambahi terasi.

Sekarang, lebih beragam lagi. Ada yang ditambah telor, ayam, ikan asin, pete, udang tanpa kulit, bakso sapi, bakso ikan, dan kecap. Mungkin ditambah bahan lain lagi. Tapi, predikat sebagai makanan sederhana tetaplah menempel dan mudah masaknya.

***

Sederhana. Kata sifat ini, “sederhana” sangat lekat dengan pribadi Paus Fransiskus. Selama tiga hari, kita menjadi saksi kesederhanaan yang sudah menyatu dalam dirinya jauh waktu sebelum menjadi Paus. Kesederhanaan otentik. Bukan kesederhanaan kosmetik. Hal-hal sederhana itulah yang membuat perbedaan.

Kesederhanaan bagi Paus, bukan lagi sekadar wacana, tapi praktik hidup sehari-hari. Sederhana bukan pula seperti “pakaian” yang dikenakan karena memiliki daya tarik demikian kuat sehingga mempesona orang yang melihatnya atau sengaja dipakai untuk memikat, menarik perhatian sehingga yang melihatnya jatuh hati.

Tidak demikian. Sejak hari dipilih menjadi Paus, 13 Maret 2013, Bapa Suci telah mengajarkan kepada semua orang, melalui kata-kata dan tindakan, bahwa mengikuti Yesus berarti menjalani kehidupan yang sederhana. Dan, itu yang ditunjukkan.

Ketika pertama kali muncul di balkon kepausan (di atas Basilika St Petrus) untuk pertama kalinya (2013) Paus hanya mengenakan jubah putih dan sepatu hitam sederhana, bukan jubah merah berbulu dan sepatu merah sebagaimana dipakai para Paus pendahulunya.

Hari berikutnya, Paus memilih naik minibus bersama para kardinal lainnya untuk kembali ke hotel alih-alih diantar dengan limusin kepausan. Lalu membayar sendiri tagihan hotelnya. Paus, meski disediakan Istana Kepausan, malah lebih memilih tinggal di apartemen sederhana (baca Francis, Pope of the People, 2024).

Ketika masih di Argentina, Kardinal Jorge Mario Bergoglio juga lebih memilih tinggal di apartemen ketimbang di keuskupan. Ia sering naik bus ke tempat kerja, memasak makanan sendiri, dan rutin mengunjungi daerah kumuh yang mengelilingi ibu kota Argentina.

Karena sikap hidupnya demikian, maka Paus meminta Uskup Limburg, Jerman, Mgr Franz-Peter Tebartz-van Elst, untuk mundur. Karena mantan Uskup Munster yang dikenal sebagai “Uskup Bling” itu menghabiskan uang 40 juta dollar AS (kurs dollar per 6 September 2024 adalah 15. 458.45) untuk membangun gedung keuskupannya (Francis, Pope for the People, 2024).

Hal yang sama dilakukan terhadap seorang uskup Brasil yang telah menghabiskan lebih dari 600.000 dollar AS untuk merenovasi tempat tinggal dan kantornya.

***


Selama tiga hari, kita diberi contoh tentang kesederhanaan itu. Terbang dari Roma ke Jakarta dengan menggunakan pesawat komersial milik perusahaan Italia. Lalu ke PNG, dengan menggunakan pesawat Garuda.

“Paus minta agar interior tidak diubah. Biar apa adanya. Artinya, tidak ada kelas eksekutif, hanya bisnis,” kata Dirut Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra, saat ngobrol menunggu kedatangan Paus di Bandara Soekarno-Hatta.

Selama di Indonesia, Paus tidak menggunakan mobil mewah, sedan mahal anti-peluru misalnya atau Mercedes Benz Tipe GLZ atau Jeep Rubicon atau mobil yang jauh levih mahal lagi, tapi Toyota Innova Zenix. Dan, duduk di depan di samping sopir; ini menghilangkan batas-batas kelas.

Hampir sepanjang jalan, baik dari Bandara Soetta ke Kedutaan Besar Vatikan tempat bermalam (bukan hotel), ke Istana, ke Istiqlal, ke Katedral, ke KWI, dan ke GBK serta perjalanan sebaliknya, Paus selalu membuka kaca jendela. Padahal, dengan membuka kaca jendela, banyak risiko yang ditanggungnya, mulai menghirup udara kotor hingga risiko terberat dari segi keamanan.

Tapi, Paus tetaplah Fransiskus yang Jesuit yang memegang teguh tiga kaul sucinya: taat, selibat, dan melarat. Dan, yang juga menghayati dan melakukan sepenuh hati, ajaran, contoh, praktik hidup sederhana dan bersahaja St Fransiskus Asisi pendiri Ordo Saudara Dina (OFM), yang dikenal sebagai “Orang Miskin dari Asisi.”

Paus membuka kaca jendela agar tidak hanya bisa melihat tapi bisa menyapa, menyentuh, mengusap, dan memberkati umatnya atau siapa saja yang berkendak baik, quis cum bona voluntate. Maka, di banyak tempat mobil yang ditumpangi Paus berhenti, warga masyarakat segera berebut mendekati ingin berjabat tangan, mohon berkat, menyerah buku atau yang lain.

Dan, Paus yang memakai jam analog hitam dengan bagian tengahnya berwarna putih, casio murah itu menyambutnya dengan penuh senyum bahagia. Yang anak-anak kecil diberi permen; yang bisa berdoa diberi rosario. Bahkan di Bandara Soetta, Paus dengan duduk di atas kursi roda, menghampiri para petugas ground handling pesawat. Semua disalami, sebagai bentuk ucapan terima kasih.

Karuan saja, petugas pengaman dan pengawalnya kalang-kabut. Tapi, apa mau dikata, itu yang diinginkan “Yang Dikawal.”

***

Mengapa memilih nasi goreng? Karena Paus ingin merasakan keragaman Indonesia seperti nasi goreng yang memiliki pilihan rasa: nasi goreng ayam, ikan ikan asing, pete, pedas, tidak penas, manis, agak asin, rasa terasi, daging, ikan laut, dan sebagainya. Itulah Indonesia.

Keragaman Indonesia, dan harmoni keragaman itu, yang dipuji dan dikagumi Paus. Di Istana Negara, hal itu disampaikan. Di Gereja Katredal, dikatakan. Di Masjid Istiqlal, disinggung lagi. Bahkan di GBK. Indonesia yang indah bagai pelangi itu yang telah membuat pemimpin tertinggi Gereja Katolik itu, jatuh hati.

Kata Paus di kompleks Masjid Istiqlal saat pertemuan lintas iman, “Indonesia adalah negara besar, mosaik budaya, etnis dan tradisi agama, kekayaan keragaman, yang juga tercermin dalam ekosistem yang beragam. Semoga tidak ada seorang pun yang menyerah pada daya tarik fundamentalisme dan kekerasan.”

Indonesia haruslah tetap “harmoni dalam keberagaman”. Kata Paus dalam doanya, “Semoga Tuhan memberkati Anda dan membuat Anda tumbuh dan bertahan dalam kedamaian dan cinta persaudaraan!”

Dalam penerbangan tujuh jam ke PNG, rasa Indonesia itu tetap tebal dalam hati Paus. Apalagi, selain menikmati nasi goreng, Paus juga merasakan sate ayam. Kepadanya ditawarkan sate buntel, sate daging, dan sate ayam. Karena Paus tidak makan ikan, maka pilihannya pada sate ayam dan minum jus martebe (markisah dan terung belanda) dan jus kacang hijau…

Inilah gastrodiplomasi yang dilakukan Garuda Indonesia. Pakar diplomasi publik Paul Rockower menggambarkan gastrodiplomasi sebagai ‘memenangkan hati dan pikiran melalui perut’ (foreign policy, 20 Agustus 2022). Tapi, rakyat Indonesia, sudah memenangkan hati Paus Frasiskus.

“Saya sangat senang datang ke Indonesia dan terharu atas sambutan masyarakat dan semua pihak yang begitu ramah…” kata Paus Fransiskus beberapa kali dalam setiap kesempatan menurut Ignatius Kardinal Suharyo…

Foto-foto lain:

Bagaimana menurut Anda artikel ini
+1
0
+1
0
+1
35
+1
99
Kredensial