Di lantai dua, rumah seorang karib yang saya kenal sejak tahun 1985, kami berlima ngobrol, siang itu. Sebenarnya, setiap hari Selasa, kami berlima bertemu.
Tempat pertemuan kami berpindah-pindah; kadang di rumah salah satu di antara kami, kadang di kafe, kadang lain di mal, bahkan pernah di ruangan pertemuan milik sebuah bank.
Karena kemarin ngobrol di rumah karib kami, maka “teman” ngobrol kami istimewa: ada pecel (bayam, kembang turi, tauge, kacang panjang, labu siam) ditambah tempe dan tahu goreng, empal gepuk, telor asin, rempeyek teri dan kacang kedelai, dan bothok. Masih ada makanan kecil: goreng pisang, lapis manado, sukun rebus berkelapa parut, bika ambon, klepon, onde-onde, ceriping ketela dan pisang; dan jeruk serta apel; air putih, teh, dan kopi.
Wow…lengkap…bahkan lebih dari lengkap dan terlalu banyak.
***
Karena sajen-nya lengkap, kami sampai lupa waktu. Pukul 21.00 kami baru bubar. Padahal, kami mulai kumpul pukul 13.00.
Namanya ngobrol, maka yang kami obrolkan beragam-ragam. Obrolan pertama, soal grup band God Bless, yang tahun ini kata seorang teman, berumur 50 tahun. Begitu seru kami membahas God Bless.
Padahal hanya seorang dari kami, yang betul-betul penggemar grup band rock ini. Empat yang lain, yah…seperti kebanyakan orang zaman sekarang, “sok tahu.” Padahal, kami tahu bahwa seorang yang luar biasa itu, bukan dilihat dari besar ucapannya tapi dari hebat tindakannya.
Maka orang sering memlesetkan diktum cogito ergo sum, “aku berpikir karena itu aku ada”, menjadi antara lain, “aku omong kosong, karena itu aku ada” atau “aku bohong, karena itu aku ada”; “aku membuat hoaks, karena itu aku ada”, “aku memfitnah, karena itu aku ada”, “aku membuat ujaran kebencian, karena itu aku ada”, “aku menteror, karena itu akua ada,” dan masih banyak lain.
Tapi, sekarang ini banyak orang merasa sudah menjadi orang besar hanya karena “omong besar”, atau pintar berbual-bual. Apalagi ada banyak panggung untuk omong besar itu.
Tak lama lagi, memang akan tiba “musim omong besar.” Yakni, ketika banyak orang ngomong besar untuk mempromosikan diri; mengobral janji seperti lagunya Bob Tutupoli, Tinggi Gunung Seribu Janji….
Memang lidah tak bertulang
tak berbekas kata-kata
Tinggi gunung seribu janji
lain di bibir lain di hati
***
Ingat God Bless, ingat panggung sandiwara. Kata kawan yang ngefans berat God Bless, lirik lagu Panggung Sandiwara ditulis penyair Taufik Ismail dan Ian Antono (personel God Bless). Ia lalu mendendangkannya:
Dunia ini panggung sandiwara
Ceritanya mudah berubah
Kisah Mahabrata atau tragedi dari Yunani
Setiap kita dapat satu peranan
Yang harus kita mainkan
Ada peran wajar dan ada peran berpura-pura
Ketika mendengar kawan itu mendendangkan lagu Panggung Sandiwara, tak satupun dari kami komentar. Meskipun suara kawan itu, tidak bisa dibilang masuk dalam kategori enak didengar, karena tembakan nadanya juga meleset. Tapi, ya kami biasa saja.
Karena itu “panggung sandiwara” yang jangan-jangan kawan itu hanya pura-pura nggak bisa nyanyi. Padahal, mungkin hobi nyanyi walau suaranya fals. Barangkali ia sadar bahwa dunia ini ibarat panggung sandiwara. Maka, ia pun ikut bersandiwara.
Sebab, panggung sandiwara adalah suatu realitas. Kenyataan yang ada, hidup, dan dijalani manusia. Sebab, bukankah hampir setiap orang pernah bersandiwara walau kecil-kecilan dalam melakoni perannya sebagai makhluk sosial. Ada banyak sandiwara yang kerap atau biasa dimainkan oleh kebanyakan kita: Berpura-pura marah kepada anak buah yang berbuat salah; Bermanis muka terhadap atasan; Berwajah memelas pada saat mengajukan pinjaman uang.
Maka, tidak salah kalau kawan itu ikut bersandiwara. Sebab, setiap individu mempunyai peran sendiri-sendiri. Semua menjadi pemain, selaras perannya. Tentu, termasuk dalam kehidupan politik, ada panggung sandiwara. Bahkan, ada yang mengatakan, kehidupan politik adalah panggung sandiwara.
Politik pun butuh panggung untuk pentas. Apa yang ditampakkan politik ke mata penonton, harus terlihat elegan agar disukai, dan akhirnya punya pengikut. Selain butuh panggung, politik juga perlu penonton.
Sebab politik tanpa penonton, mubasir. Siapa yang bertepuk tangan kalau nggak ada penonton? Siapa yang akan mendengarkan pidato para pelakonnya, kalau tidak ada penonton? Siapa yang akan dibujuk rayu, kalau tidak ada penonton.
***
Zaman sekarang ini, media sosial bisa menjadi panggung para politisi. Bukan hanya “bisa”, tetapi bahkan menjadi panggung utama. Lakonnya bisa apa saja, termasuk agama. Apakah semua yang main di panggung, termasuk panggung media sosial itu serius? Sama antara perkataan dan perbuatan; antara tulisan dan tindakan? Tidak semua. Itulah kehidupan panggung.
Kata Lucius Annaeus Seneca (4-65 M) seorang filsuf, negarawan, juga orator Romawi, kehidupan itu seperti permainan. Bukan soal berapa lamanya hidup, melainkan soal kehebatan akting masing-masing orang.
Jadi, jangan mudah terbuai kata-kata manis dan terpesona oleh kehebatan akting mereka yang sedang di panggung…karena ini panggung sandiwara. Kata Ahmad Albar (God Bless) di panggung ada peran wajar dan ada peran berpura-pura….
Ada benarnya Hidup adalah panggung sandiwara . . . . . begitu banyak orang yang bersandiwara . . .
Namun yang pasti, hidup adalah singkat, dan sangat terasa singkat setelah usia 40 tahun . . . .
Waduh jadi inget si ahli TATA KATA yang sekarang diberi panggung oleh mereka yang haus kuasa. Seakan telah menjadi orang besar dengan obral janji sorga yang mudah diamini oleh khalayak. Apalagi di dunia maya terus digoreng dengan aneka bumbu halu yang seakan top markotop. Walau sejatinya TIDAK BISA BEKERJA. Opo tumon le!!!
Begitulah, kanyatan urip iki…Pak Lik…
Kapanye pemilu, kalau tanpa integritas, hanyalah panggung sandiwara omong kosong besar, dan mahal. Ternyata kebanyakan rakyat suka ditipu dgn janji janji surga…oleh manusia pembohong…agar tak golput..pilihlah wakil rakyst/presiden yg cinta rakyat berintegritas dan berani ambil keputusan untuk kejayaan negri dan kesejahteraan bersama . Renungan tajam, Bung Trias.
Itulah, persoalannya, Ki…rakyat..tidak semuanya..tapi banyak..mudah tertipu oleh omong kosong, yang ndakik-ndakik..yang seakan-akan, yang “empuk eyup” (istilahe wong Yogya)…suwun
Sebelum memimpin dan mempengaruhi orang lain, aktor politik atau politisi harus mampu terlebih dulu mengatur dan memimpin dirinya sendiri. Punya integritas, berkomitment, konsisten, dan konsekwen antara kata dan perbuatan.
Krn kata2 tetap tinggal kata2, kecuali ia hidup seturut kata2nya itu. Ia menjalankan apa yg dikatakannya. Walk the talk, menurut Erick Harvey & Stere Ventura.
Baru dengan begitu, seorang politisi benar2 “lead by example”, bkn bersandiwara diatas panggung politik. Ia memberi teladan, krn hasil kerjanya nampak terlihat, bkn sekedar mendengar kata2 yg hampa tanpa realisasi ….
Meong2. Makan enak omong kosong.
Siap2 tahun politik? akan banyak omong besar tapi kosong.
Bagi orang2 yang merasa hidup ini sulit tontonan yang menghibur itu menarik. Dan perlu. Munculah badut2 politik yang omong besar. Orang suka, ketawa dengan bualan yang tidak nyata itu. Bahkan hoax dan ujqran kebencian. Geli. Percaya atau tidak bukan masalah. Itu hanya panggung sandiwara. Lelucon. Repotnya kalau penonton ada yang percaya bualan itu. Salah siapa?
Setuju, Pak..kalah penonton percaya…ya, berarti hebatnya pelawak itu…