Ketika kemarin Nahdlatul Ulama (NU) memperingati ulang tahun seabad (100 tahun), saya lantas ingat Gus Dur. Suatu siang, tahun 2008, saya menemui Gus Dur yang tengah cuci darah, di sebuah rumah sakit di kawasan Kebayoran Baru. Saya ditemani Siane Indriane, sahabat saya waktu di harian Surya, Surabaya dan yang kemudian menjadi anggota Komnas HAM 2012-2017
Gus Dur ditunggui putri keduanya, Zannuba Ariffah Chafsoh–lebih akrab dipanggil Yenny Wahid. Yenny pernah menjadi wartawan surat kabar Australia, The Sydney Morning Herald dan The Age. Ia lulusan Universitas Harvard Kennedy School of Government, dengan gelar master dalam bidang Administrasi Publik.
Yenny yang hingga saat ini menjabat sebagai Direktur Wahid Foundation, pada tahun 2009 dinobatkan sebagai salah satu penerima penghargaan “Young Global Leaders” oleh World Economic Forum, bersama dengan Tiger Woods dan Mark Zuckenberg.
Kemarin Yenny menjadi ketua panitia hari lahir satu abad Nahdlatul Ulama. Puncak peringatan organisasi kemasyarakatan Islam terbesar dan yang umurnya lebih tua dari Republik Indonesia ini diselenggarakan di Stadion Gelora Delta, Sidoarjo, Jawa Timur, Selasa, 7 Februari 2023. Acara itu dihadiri antara lain oleh Presiden Jokowi dan Wapres Ma’ruf Amin.
Selain Yenny, yang ketika itu menunggui Gus Dur adalah Maman Imanul Haq. Pak Kiai, demikian sekarang saya menyapanya. Karena ia memang seorang kiai dan saat ini menjabat sebagai wakil sekretaris Dewan Syura DPP PKB masa bakti 2019-2024. KH Maman juga Ketua Dewan Pembina Pondok Pesantren Al-Mizan ini, dan anggota DPR-RI dari PKB sampai sekarang.
***
“Pak, ini Mas Trias dari Kompas,” kata Yenny memperkenalkan saya pada Presiden keempat Indonesia itu. Saya mendekat ke tempat tidur Gus Dur. “Assalamualaikum, Gus…” uluk salam saya.
“Apa khabar, Mas Trias?” sapa Gus Dur sangat ramah. Padahal, saya belum pernah bertemu langsung dengan Kiai besar ini. Gus Dur seorang tokoh pemikir Islam terkemuka dan pemimpin yang berkomitmen untuk mempromosikan perdamaian, keadilan dan menghormati perbedaan.
Kami pun langsung ngobrol akrab tentang banyak hal, ngalor-ngidul, karena itu tak bertema. Tapi menyenangkan, menambah pengetahuan.
Setelah obrolan berjalan begitu cair, saya mengatakan, “Gus, saya mau meluncurkan buku..” Belum selesai saya menyampaikan Gus Dur sudah bertanya, “Buku apa, Mas?”
“Buku tentang Jerusalem. Apakah Gus Dur berkenan untuk menjadi pembahasnya?” kata saya sambil menyerahkan buku yang saya luncurkan itu, Jerusalem: Kesucian, Konflik, dan Pengadilan Akhir.
Dengan cepat Gus Dur menjawab, “Ya, saya mau.” Saya pun tak kalah cepat mengatakan, “Matur nuwun, Gus.”
Gus Dur lalu bercerita banyak cerita tentang Jerusalem, tentang buku-buku yang sudah dibacanya yang membahas Jerusalem. “Mas, sampeyan harus membaca buku ini (sambil menyebut judul buku yang saya sudah lupa. Gus Dur bahkan menjelaskan, sampul buku yang ditulis mantan Dubes Israel untuk AS itu warnanya merah).”
Pertemuan siang itu, kami rayakan dengan makan soto bangkong bersama, setelah Gus Dur selesai cuci darah. Pada saat peluncuran buku, di Toko Buku Gramedia, Matraman, Gus Dur benar-benar hadir menjadi pembahas buku bersama Sultan Hamengku Buwono X.
Yang masih saya ingat terus, di akhir pembahasannya, Gur Dur mengatakan, “Buku ini nanti akan dicetak ulang lebih dari sebelas kali.” Dan, benar yang dikatakan Gus Dur itu. Sampai saat ini buku saya, Jerusalem: Kesucian, Konflik, dan Pengadilan Akhir, sudah dicetak 20 kali dan diterjemahkan dalam bahasa Inggris.
***
Yang membuat obrolan kami waktu itu begitu cair antara lain saya rasa adalah sikap Gus Dur yang informal. Kata Greg Barton dalam bukunya biografi Gus Dur, The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid (2002), Gus Dur telah mendobrak kemapanan masyarakat secara umum. Guyonannya dalam politik maupun dalam keseharian membuat suasana menjadi cair dan tidak tegang.
Apalagi, kata Franz Magnis-Suseno (2010), Gus Dur memiliki sikap hati yang terbuka bagi semua orang. Gus Dur sahabat dekat Romo Mangun.
Tidak mudah memiliki hati yang terbuka. Hati Gus Dur terbuka pada semua minoritas, para tertindas, para korban pelanggaran HAM. Maka kaum minoritas merasa aman pada Gus Dur. Saya pun, yang waktu baru pertama kali bertemu langsung, merasa aman, nyaman, seperti sudah kenal lama.
Dengan sikap seperti itu, kata Franz Magnis-Suseno, Gur Dur meninggalkan kader intelektual bangsa yang terbuka, pluralis, dan cerdas; modal bagus bagi masa depan bangsa. Semua itu, sangat penting dewasa ini.
Dalam rumusan lain, sahabat saya Zuhairi Misrawi, salah satu kader muda NU yang sekarang jadi Duta Besar RI untuk Tunisia, mengatakan Gus Dur telah mewariskan generasi muda yang mempunyai pemikiran progresif, liberal, pluralis, juga mengedepankan nilai-kemanusiaan, kesetaraan jender, dan anti-kekerasan.
Mengapa demikian? Kata Gus Dur (1999), Islam mempunyai nilai-nilai dasar yang selalu menjadi acuan pengikutnya. Yakni, prinsip Al Musawah atau persamaan derajat kemanusiaan di hadapan Allah; yang membedakan orang satu dan lainnya adalah amal perbuatannya.
Lalu, Al Hurriyah atau kemerdekaan dan kebebasan atas nama pertanggung-jawaban moral dan hukum oleh setiap individu yang mesti ditegakkan, baik di dunia maupun di akhirat. Dan, Al Ukhuwwah, persaudaraan sesama manusia sebagai satu species yang diciptakan dari bahan baku yang sama.
Kemudian, Al A’dalah, keadilan yang berintikan pada pemenuhan hak-hak manusia sebagai individu maupun warga masyarakat atau negara. Lalu, Al Syura, musyawarah, di mana setiap warga masyarakat punya hak yang sama untuk berpartisipasi dalam urusan publik yang menyangkut kepentingan bersama.
***
Ketika kemarin Nahdlatul Ulama genap berumur seabad, kok rasanya penting merenung-renungkan apa yang dikatakan Gus Dur itu. Bagi warga NU, semua itu tidak sulit dilaksanakan. Karena, kata Ulil Abshar-Abdalla (Kompas, 7 Februari 2023), kecintaan warga NU kepada Indonesia adalah sebentuk cinta yang tak bersyarat.
Apalagi, bagi warga NU, hubbul wathon minal iman, cinta tanah air sebagian dari iman. Ini merupakan wujud kesadaran pendiri NU tentang pentingnya cinta tanah air bagi seorang muslim, yang terus diugemi, dihayati oleh semua warga NU dengan sepenuh hati. Karena itu muncul slogan “NKRI harga mati!”
Maka, kata Presiden Jokowi kemarin, Nahdlatul Ulama memiliki banyak peran besar dalam sejarah perjalanan Bangsa Indonesia. Jokowi mengatakan NU menjadi teladan berislam bagi masyarakat Indonesia. NU juga konsisten menjauhi politik identitas dan radikalisme.
Itulah sebabnya, saya merasa sangat beruntung pernah ngobrol dengan Gus Dur salah satu tokoh besar NU, pernah ikut nungguin saat Gus Dur cuci darah, pernah ditraktir makan soto bangkong, dan Gus Dur pernah membedah buku karya saya.
Selamat ulang tahun ke-100 Nahdlatul Ulama …tetaplah menjadi pilar yang kokoh bagi terus tegaknya NKRI dan nasionalisme bangsa….
Ya bro Trias beruntung bida kenal ngobrol dg Gus Dur.
Kita berharap banyak kaum muda Indonesia belajar menjadi Gusdurian.
Gusdur bapak kaum minoritas.
Gus Dur dan NU memang tak terpisahkan. Syukur di Indonesia ada NU sebagai perekat bangsa yang handl. Terimakasih Mas Trias
Gus Dur tokoh pluralis.
Bagus sbg ingatan dan peringatan manis dan indah. Koq ingat semua detail bung Trias. Saya ketemu dan dikutjan mendamoingi Gus Dur ketika dibaqa oleh Fr Mark Raper SJ dari ABA ( ASIAN BUREAU OF AUSTRALIA) circa 1984vdi Melbourne ..dan saya merasa dikawan tulus para teman karif Gus Dur dan pewarisnya sampai kini di Bina Desa. Trimakasih 1000 Gus.. engkau pasti sdh di Allah tuhan Bapa Imbrahim dan ibu Ibrahimah. Siti Sarah dan Siti Hagar.
Selamat Mas Trias. Gus Dur memang orang Suci dalam hidupnya. Menjadi contoh bagi semua warga.
Gus Dus memang top markotop. Aku kok belum pernah baca bukumu ya dimas.
Saya belum pernah bertemu gus Dur, tapi begitu mendengar namanya, tergambar pribadinya yg begitu agung, penuh kasih pada yg terpinggirkan, saya terharu, tergerak, ada rasa bahagia, adem, bersyukur Indonesia punya tokoh spt beliau ini. Mas Trias trima kasih artikelnya menggugah hati…
Gus Dur adalah pencetus perdamaian Aceh, keberanian beliau memecah kebuntuan dialog antara Pemerintah RI dengan Gerakan Aceh Merdeka, akan selalu diingat sepanjang masa, dan saya sepakat beliau adalah salah satu pemikir besar kebangsaan di Indonesia, terima kasih Mas Trias untuk tulisan ini