Para rahib dan rubiah–pertapa perempuan–itu menyanyikan doa berbahasa Latin secara bergantian. Suara mereka terdengar begitu indah sekaligus terasa mistis.
Nada suara mereka yang lembut, cenderung pianissimo, menyusup sudut-sudut gereja tua tempat mereka berdoa. Bahkan cenderung mengetuk-ketuk hati.
De profundis clamavi ad te, Domine; (Dari jurang yang dalam aku berseru kepada-Mu, ya Tuhan);
Domine, exaudi vocem meam. Fiant aures tuæ intendentes in vocem deprecationis meæ (Tuhan, dengarkanlah suaraku! Biarlah telinga-Mu menaruh perhatian kepada suara permohonanku).
Mereka tidak sekadar bernyanyi, tidak sekadar bersuara indah untuk menghibur hati. Tapi, membangun suatu komunikasi iman yang dihayati melalui keindahan nada, syair, irama, dan tentu selaras dengan jiwa liturgi.
Kata Santo Agustinus, “Qui bene cantat bis orat”; yang bernyanyi dengan baik berdoa dua kali. Jadi bermusik, bernyanyi dalam ibadah bertujuan untuk memperdalam sikap batin pada Allah.
Apalagi, kata St Yohanes Krisostomus (dari Turki, meninggal tahun 407), Allah sendiri menambahkan melodi pada kata-kata para nabi agar manusia yang disukacitakan dengan keindahan dari lagu itu menyanyikan madah bagi-Nya dengan sukacita.
***
Suasana seperti itu menguasai gereja yang dibangun atas perintah Paus Honorius I (meninggal tahun 638): Gereja Santo Vincentius dan Anastasius. Gereja yang dibangun pada tahun 626 itu berbahan bata merah berlangit-langit tinggi itu temaram.
Apalagi cahaya matahari tak leluasa masuk ruang Gereja Santo Vincentius dan Anastasius. Cahaya hanya lewat kaca-kaca di dinding berlukiskan Bunda Maria yang begitu indah dan di atap persis di atas altar.
Suasana temaram itu mendorong hasrat manusia untuk mengalami dan merasakan emosi bersatu dengan Tuhan; membangun suasana lahir dan batin untuk mencapai ketenangan abadi.
Di pertapaan itu, suasana seperti itu terus dipelihara. Ini suatu cara untuk memelihara kesucian diri, ibadah, menjalani kehidupan dengan sederhana, hingga sikap rela berkorban untuk kebaikan dan selalu bijaksana.
Maka suasana magis itu mendatangkan keheningan. Kata penyair mistikus agung Spanyol Santo Yohanes dari Salib (1542–1591), Allah itu “la musica callada, la soledad sonora“; musik yang hening, dan keheningan yang nyaring.
Allah itu hening terhadap kemampuan-kemampuan insani, akan tetapi nyaring terhadap kemampuan-kemampuan rohani. Karena itu, tak seorang yang mencintai Tuhan yang tidak ingin bernyanyi di hadapan-Nya dan bagi-Nya dalam keheningan.
Sejumlah peziarah, lebih dari 20 orang laki-laki dan perempuan, ada pula anak-anak mengikuti ibadah siang itu, yang dimulai pukul 12.15 dengan penuh khidmat. Ibadah hanya 10 menit.
Meski hanya 10 menit, tapi suasana keheningan, magis terbawa keluar gereja. .
***
Sangat beruntung kami datang ke Abbazia delle Tre Fontane atau Biara Tiga Mata Air, Roma, siang itu. Kami mengunjungi seorang rubiah yang pernah selama 34 tahun tinggal di Pertapaan Bunda Pemersatu Gedono, Desa Jetak, Getasan, Semarang, Jawa Tengah.
Martha Driscol (80). Dialah rubiah dari Ordo Trapis (OCSO) yang pada tahun 1987 memimpin pembangunan rumah pertapaan Gedono itu. Arsitek rumah pertapaan itu, Romo Mangunwijaya. Karya karya Romo Mangun pada tahun 1993 mendapat Penghargaan IAI Nasional dari Ikatan Arsitek Indonesia (IAI).
Kata Ibu Martha, begitu rubiah itu biasa dipanggil, Abbatia trium fontium ad Aquas Salvias, Biara Tiga Mata Air, mempunyai cerita yang panjang dan berhubungan dengan akhir hidup Rasul Santo Paulus.
Di tempat itulah, pada 29 Juni 67 atas perintah Kaisar Nero (37 – 68) Paulus dibunuh dengan cara dipenggal kepalanya. Begitu kepala terlepas dari tubuh, jatuh ke tanah, membal tiga kali. Di tempat kepala itu membal lalu muncullah mata air. Maka tempat itu diberi nama “Tiga Mata Air” (Tre Fontane).
Kata Ibu Martha, dulu dari mata air pertama keluar air panas; mata air kedua mengeluarkan air hangat; dan dari mata air ketiga keluar air dingin.
Tempat di mana Paulus dipenggal kepalanya, didirikan gereja: Gereja Santo Rasul Santo Paulus. Gereja itu dibangun pada abad kelima. Gereja Santo Paulus adalah salah satu dari tiga gereja.
Gereja pertama, yang paling besar adalah Gereja Santo Vincentius (orang suci dari Spanyol, 1581 – 1660) dan Anastasius (orang suci dari Persia, meninggal tahun 628) tempat ibadat siang itu. Ketika pertama kali dibangun (626) gereja itu sederhana. Nyaris tak ada fresko seperti gereja-gereja lainnya di Roma.
Lalu pada tahun 1200-an, direnovasi, diperbesar, ditambah serambi depan dan atap kayu yang indah. Tapi, interiornya tetap polos. Hanya pada tiang-tiangnya terdapat fresko para kudus. Meski demikian, ruang gereja yang luas dan sejuk itu, begitu terasa damai.
Kami beruntung diajak Ibu Martha tidak hanya masuk gereja tapi ikut ibadat yang begitu khusuk, menggetarkan hati.
Gereja kedua lebih kecil: Santa Maria Scala Coeli. Gereja ini berdiri beberapa meter sebelah kiri Gereja Santo Vincentius dan Anastasius. Kata Suster Martha, Scala Coeli berarti “tangga menuju surga.”
Menurut cerita, pada tahun 1138, Santo Bernardus (1090 – 1153) di tempat mendapat penglihatan tentang jiwa-jiwa yang meninggalkan api penyucian kemudian menaiki tangga menuju surga. Catatan sejarah, gereja ini lebih dahulu dibangun dibanding Gereja Santo Vincentius dan Anastasius. Tapi, gereja yang berdiri saat ini dibangun pada abad ke-16.
Di tempat inilah, kata Suster Martha dahulu Santo Paulus dipenjara, sebelum dihukum mati. Bekas sel penjara itu ada di bawah gereja. Ada beberapa anak tangga turun menuju ruang penjara itu.
***
Biara Tiga Mata Air adalah tempat yang indah; dan terasa jauh dari hiruk pikuk Roma modern. Roma Kota Abadi tempat pertemuan antara masa lalu dan masa kini.
Sambil berjalan keluar biara di jalan berbatu, di bawah keteduhan pohon, masih mengiang di telinga doa-doa para rahib dan rubiah yang begitu menyentuh hati.
Si iniquitates observaveris, Domine, Domine, quis sustinebit? (Jika Engkau, ya Tuhan, mengingat-ingat kesalahan-kesalahan, Tuhan, siapakah yang dapat tahan?).
Untunglah siang itu, kami mendengarkan lagu-lagu pujian bukan lagu-lagu yang mengungkapkan bahkan mendorong kemarahan dan kebencian. Lagu-lagu pujian membuat hati tentram. Adem.
Kami mendengarkan ayat-ayat Mazmur yang dinyanyikan. Mungkin, para rahib dan rubiah itu juga menyanyikan lagu We Shall Overcome, lagu favorit para aktivis. Tapi, bagi para rahib dan rubiah lagu itu menggambarkan keyakinan mereka mampu mengalahkan nafsu diri, nafsu duniawi, kepentingan diri dan memerjuangkan kepentingan sesama, mereka akan hidup damai dan memperoleh kedamaian di hati.
Abbazia delle Tre Fontane, Biara Tiga Mata Air sudah di belakang. Tapi masih terngiang di telinga:
…. ecce quam bonum et quam decorum habitare fratres in uno, sungguh, alangkah baiknya dan indahnya, apabila saudara-saudara diam bersama dengan rukun….***
Foto-foto Erick lainnya:
Rubiah Martha Driscol
Luar biasa. Ndudut ati bisa belajar sejarah sakral dalam keheningan dan saksi rohani para rubiah. Nggak kebayang nostalgia kidung2 bahasa Latin yg indah dan abadi.
Bersyukur berteman dengan dubes yg juga jurnalis.
Matur nuwun bro Trias n sugeng makarya.
Berkah Dalem
“Mgr” Trias lama-lama jadi Dubes Trappist. Mengingatkan teman Mas Dubes yg jadi Trappist Rowoseneng.
Suster 80 tahun tapi seger👍
Hahahaha…aku kan hanya melaporkan apa yang saya lihat dan rasakan, Gus…
Foto2nya warbyasakkk banget mas Dubes.
Subhanallah
Mbaca tulisan Romo Kiai Trias melu khyusuk, mrinding.
Matur nuwun pencerahanipun Pak Dubes.
Salam sehat.
Salam hangat buat keluarga.
BD
Mrinding….trenyuh…nglangut…campur aduk dadi siji matur nuwun….saged ..ngemut emut lagu boso latin…zaman dados misdinar….Berkah dalem
Nggih, matur nuwun…sampun maos seratan puniko.
Jadi ingat punya saudari (mbak Yanti) yg dulu bekerja di pabrik penyamaan kulit Mertoyudan, lalu keluar dan masuk menjadi biarawati (Rubiah) OCSO di Gedono – Semarang. Tulisan Mas Trias membawa pembaca ke suasana indah yang adem seakan kita ikut dlm keheningan ibadat mereka
Wah hebat itu Mbak (Rubiah) Yanti…terima kasih Tom
Ulasan kekayaan musik Gregorian yang masih jadi andalan biara pertapaan katolik untuk memuji Tuhan, sungguh sangat menyentuh.
Baru baca ceritera nyata mas Dubes Trias saja, aura kenikmatan rohani bisa terasa sampai di Cinere. Sayang sekali Gereja RK di Indonesia banyak yang abai dengan kekayaan batin ini, PSG di paroki dipandang sebelah mata dan kurang mendapat tempat.
Padahal kita sadar musik Gregorian adalah musik yang paling dekat dan cepat manusia bisa merayu Allah.
Gereja dewasa ini lebih memberi porsi ke musik² profan dan dipaksakan masuk dalam liturgi dengan dalih yang sangat dangkal, demi menyenangkan hati umat dan umat tidak lari ke interdenominasi lain.
O tempora o mores.
Nuwun Mgr.Trias.
Malah ada gereja kita yang ordinarium pun sekedar diucapkan, tidak lagi dinyanyikan (apalagi secara gregorian). Mungkin mburu wektu, ben cepet. Kenikmatan misa tak lagi kental. Semakin hambar, encer kaya santan pecah. Greget, getar dan semedhotnya batin ketika bertafakur menunduk semakin hilang. Entah apakah yang ngunjukke Misa masih merasakan getaran itu atau semua hanya rutinitas. Saya sepakat, gregorian adalah salah satu pusaka gereja. Pujian Paskah itu lagunya gregorian banget, tapi rasanya kok belum nemu yang bisa membawakannya secara gregorian dengan baik.
Hehehehe….
Menyanyikan lagu Gregorian memang tidak mudah, Mas…cengkoke khas banget..masih kudu mbaca not balok…generasi lampau saja yang masih paham…bahkan, mungkin banyak romo muda yang juga sudah nggak paham.dulu, Ibu saya ngelatih nyanyi Gregorian di paroki
Mgr…mungkin sulit nyanyikannya…jadi banyak yang malas belajar apalagi menyanyikannya…malahan ada pastor yang juga kurang biasa…jadi, ya fals2…
jadi kangen suasana trapis rowoseneng….
Wah, perlu pergi ke sana, Rawaseneng, Mas
Di balik keindahan dan keagungan arsitektur, .. pun keheningan suasana gereja-gereja yang dibangun berabad-abad silam ini, ada peristiwa teramat penting yang melatar belakangi pendiriannya. Jadi, kecuali untuk rumah ibadat dan doa, juga untuk mengenang moment historis penting itu, baik yang mulia, sedih, memberi terang, sukacita, dst. Umat beriman masa kinilah, sebagai pewaris, yang harus merawat dan menjaga kelestariannya. Senantiasa mengingat dan mengenang kembali, peristiwa agung yang pernah terjadi, yang telah menginspirasi imajinasi insani mewujudkan kreasi arsitektur dan seni yg dmk estetis dan agung, demi kemuliaan Tuhan, kemanusiaan, dan semesta.
Perlu dijaga kelestariannya juga, candi-candi eksotik di Jawa, pura di Bali, rumah adat/tradisional, tempat-tempat ibadah yg banyak di negeri kita yaaa bung Trias.
Betul sekali, Senior..
Di tempat itu…pernah terjadi peristiwa besar..
Di balik krindahan dan keagungan arsitektur, pun keheningan suasana gereja-gereja yang dibangun berabad-abad silam ini, ada peristiwa teramat penting yang melatarbelakangi pendiriannya. Jadi, kecuali untuk rumah ibadat dan doa, juga untuk mengenangkan moment historis penting itu, baik yang mulia, sedih, memberi terang, sukacita, dst.
Umat beriman masa kinilah- sebagai pewaris, yang harus merawat dan menjaga kelestariannya. Senantiasa mengingat dan mengenang kembali peristiwa agung yang pernah terjadi, … yang telah menginspirasi imajinasi insani mendesain kreasi sehingga mewujud menjadi karya arsitektur dan seni yang dmk estetik dan agung, … demi kemuliaan Tuhan, kemanusiaan, dan semesta ciptaan.
Perlu dijaga pula kelestariannya- tentulah bung Trias, candi-candi eksotik di Jawa, pura di Bali, tempat-tempat ibadah, pun rumah adat/tradisional yang banyak tersebar di negeri kita.
Betul, Senior…pernah terjadi peristiwa besar di tempat itu.
Mengesankan, menyenangkan, menenangkan, menenteramkan hati, mengenang kembali saat-saat pernah berkunjung disini. Trima kasih mas Trias, share ceriteranya 👍
Matur nuwun, Romo Dipo…tempat itu memang sungguh menenteramkan….
Tulisan mas Dubes Trias benar-benar mendalam. Bukan sekadar kedalaman materinya dan panjangnya tulisan, tetapi kedalamannya menyentuh yang terdalam: kalbu, jiwa, dan rasa. Terima kasih mas Dubes🙏🙏🙏
Pak Haji, matur nuwun…saya sekadar berbagi yang saya lihat dan rasakan…salam