Meski tidak paham soal seluk-beluk pensurveian, saya selalu tertarik mengikuti atau sekurang-kurangnya ikut membaca rilis hasil survei popularitas dan elektabilitas para calon kandidat presiden. Hasil survei itu menarik sekaligus kadang mencengangkan.
Barangkali yang menjadi obyek survei pun tercengang atau malah kaget, setelah membaca hasil survei. Sebab, merasa diri populer, ternyata menurut hasil survei, tidak. Karena, hasilnya nol koma atau dalam kategori “balita”, misalnya atau hasil survei tak sesuai harapan.
Hasil survei, memang bisa bikin hati gundah gulana; tak tenang, karena tak sesuai dengan prediksinya; tak sesuai dengan apa yang dimauinya, tak seperti yang diharapkan. Meskipun bisa juga menjadi bangga dan lalu berlagak seakan-akan sudah menjadi presiden.
Yang kecewa terhadap hasil survei, kadang ada yang mengatakan, “Berdasarkan survei internal, jago kami masih unggul atas jago lawan.”
Yah, meski ini pernyataan bernada penghiburan bagi diri sendiri yang gundah-gulana, ya tetap sah-sah saja. Apa salahnya memuji diri sendiri, sekurang-kurangnya untuk menenteramkan hati.
Begitulah politik. Memang, ada yang berpolitik, antara lain, untuk mencari kepuasan, termasuk kepuasan diri. Bukan kepuasan masyarakat banyak.
***
Entah sudah berapa banyak lembaga survei yang sejak tahun lalu merilis hasil surveinya baik itu menyangkut elektabilitas maupun popularitas partai dan mereka yang disebut-sebut akan dicalonkan sebagai kandidat presiden serta wakil presiden oleh partai atau koalisi partai; yang “dijual” oleh para pendukungnya lewat berbagai platform media: yang mengampanyekan diri sendiri; yang sedang mematut-matut diri. Padahal, pemilu presiden masih Februari 2024.
Sejak, katakanlah survei Litbang Kompas Oktober 2021 (mungkin ada yang lebih dulu) hingga saat ini, September 2022, tiga nama di posisi tiga teratas. Mereka adalah Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, dan Anies Baswedan.
Misalnya, hasil survei elektabilitas oleh SMRC yang diris hari Minggu (21/8), Ganjar Pranowo (17,6 persen), Prabowo Subianto (12,6), dan Anies Baswedan (9,1). Survei Poltracking Indonesia, dirilis Selasa (30/8): Ganjar Pranowo (26,6 persen), Prabowo Subianto (19,7), dan Anies Baswedan (17,7).
Hasil survei Indo Riset, dirilis Rabu (7/8): Ganjar Pranowo (23,2 persen), Prabowo Subianto (20,6), dan Anies Baswedan (15,6). Menurut hasil survei Indometer, dirilis Senin (29/8): Prabowo Subianto (23,8 persen), Ganjar Pranowo (20,7), dan Anies Baswedan (18,0).
Lalu, menurut hasil survei Charta Politika yang dirilis Kamis (22/9): Ganjar Pranowo (31,1 persen), Prabowo Subianto (24,4), dan Anies Baswedan (20,6)
Dari contoh hasil survei itu, Ganjar selalu menempati urutan pertama, kecuali hasil survei Indometer yang menempatkan Prabowo di posisi pertama. Posisi Ganjar juga tidak di urutan pertama menurut hasil survei CSIS, saat head to head dengan Anies.
Tetapi, kata Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS, Arya Fernandes, saat merilis hasil survei itu, Senin (26/9), Ganjar tetap menempati posisi teratas ketika dalam simulasi 14 nama, 7 nama, dan 3 nama lain.
Artinya, hasil head to head menunjukkan adanya perpindahan pemilih. Barangkali, ini yang perlu dicermati oleh partai-partai pengusung, selagi masih ada waktu. Hasil itu juga bisa menjadi pertimbangan saat hendak membangun koalisi.
***
Sebenarnya apa itu survei? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia: teknik riset dengan memberi batas yang jelas atas data; penyelidikan; peninjauan.
Pernah saya bertanya pada seorang kawan, yang sangat akrab dengan dunia survei. Apa sih gunanya survei menjelang pemilu? Dia tersenyum mendengar pertanyaan bodoh saya. Meski tersenyum dia tetap menjawab. Karena dia baik hati, mau berbagi ilmu.
Mas, katanya. Hasil survei merupakan produk ilmiah dan dilakukan berdasarkan metode yang sudah teruji serta bisa dipertanggung jawabkan. Karena itu, hasil surveinya pun bisa dipertanggung jawabkan, bukan asal-asalan sekadar memenuhi pesanan.
Memangnya ada survei yang asal-asalan dan sekadar memenuhi pesanan? Dia hanya angkat bahu dan lagi-lagi tersenyum.
Ada alasan lain? Ada, Mas. Hasil survei dapat meningkatkan kesadaran baik itu partai maupun calon kandidat presiden menyangkut popularitas dan elektabilitas. Partai–tentu yang percaya survei–bebenah diri kalau hasil survei kurang bagus. Yang sudah bagus sesuai harapan, bisa bertahan atau berjuang lebih keras agar lebih bagus dan terus mempercantik diri.
Calon kandidat presiden, yang angka popularitas dan elektabilitasnya tinggi, padahal belum secara resmi dicalonkan partainya atau bahkan belum ada yang secara jelas mencalonkannya (baru sebatas merasa diri pantas dicalonkan), bisa meyakinkan partainya atau beberapa partai tertentu (karena tak punya partai) agar dicalonkan.
Sebaliknya, calon kandidat presiden yang selama ini merasa pantas diajukan dan terus mematut diri, tapi ternyata menurut hasil survei, popularitas dan elektabilitasnya rendah, bisa sadar diri bahwa jalan ke depan sangat berat. Akan tetapi, juga bisa hasil survei itu menjadi penyemangat untuk berjuang lebih keras lagi, terutama mengambil hati rakyat calon yang punya suara dan calon pemilih dengan taktik dan strategi baru yang lebih jitu sehingga popularitas dan elektabilitasnya melejit.
Jangan lupa, Mas, hasil survei juga dapat membentuk atau membangun opini publik. Melihat hasil survei, publik bisa percaya bahwa calon kandidat itu yang bakal menang. Maka, mereka pun lantas mendukungnya. Ini yang oleh para ahli disebut bandwagon effect.
Mereka yang sebelumnya belum punya pilihan atau masih ragu-ragu, akan segera mengambil keputusan. Demikian pula partai politik pun akan meminangnya. Ini psikologi massa, menjatuhkan pilihan pada calon kandidat yang cenderung menang. Mereka ingin menjadi bagian dari mayoritas.
Tetapi, ada juga teori underdog effect; pemilih memilih calon atau partai yang diprediksi kalah. Maka, tak aneh kalau ada yang memainkan peran sebagai calon yang dizalimi atau membiarkan dirinya dizalimi, untuk menarik simpati, belas kasihan. Skenario semacam ini selalu berulang dan diulang.
***
Pendek kata, hasil survei tidak hanya memberikan kepercayaan bagi publik, namun juga bagi calon kandidat ataupun partai politik. Sebaliknya, juga bisa mengecilkan hati calon kandidat dan partai yang bernyali kecil.
Meski demikian, hasil survei belumlah kata akhir. Masih ada waktu untuk berichtiar, bagi para calon kandidat yang merasa yakin memiliki banyak pendukung dan akan memenangi pertarungan meskipun sekarang hasil survei “belum berpihak” padanya.
Yah, namanya usaha, ya kan…
Thanks bung Trias.
Semoga rakyat juga melek survey dan memperluas cakrawala nya.
Gus Moko
Sae mas Trias. Lanjutkan. Tetap objektif.
Matur nuwun pencerahannya.
Dalam hati, pikiran n harapan, ….nomor satu mmg pk Ganjar. Tp mgkin ada skenario lain. Njur piye.
Smg Ind tdk ada perang sdr, itu yg penting.
Tks mas Yas.
Sae mas Trias. Lanjutkan. Tetap objektif.
Nggih, suwun…salam
Parpol dalam membuat keputusan tentang candidat yang mau diusung sebagai Capres atau Kepala Daerah perlu mempertimbangkan hasil survei supaya keputusan yang dibuat berbasis bukti (evidence based policy). Dengan catatan, hasil survei tersebut memiliki memiliki validitas, bukan survei abal-abal. Hasil survei yg valid akan memiliki tingkat prediksi hasil yang akurat.
Ya, betul…semoga demikian…Mas
Suwun
Sangat mantab analisis survei dari Maha Guri ias. Setuju dan mudah2n terpilih sesuai hasil survei. Tks pencerahannya.
Semoga demikian…salam
Yg unggul kok disebut Jago kenapa Pak Trias?
Kok ga Banteng
Atau Garuda?
Aku sekedar tanya.
Hahaha…soal kesepakatan saja, Senior…hehe salam