Tanpa sengaja, saya bertemu Komaruddin Hidayat. Saya biasa menyapanya dengan sebutan, Prof. Karena memang Komaruddin yang pernah menjadi rektor UIN Syarif Hidayatullah untuk masa jabatan dua periode, 2006-2010 dan 2010-2015; serta sekarang rektor Universitas Islam Internasional Indonesia, adalah seorang profesor.
Kami bertemu di Madania School, di Kemang, Bogor, suatu hari. Komaruddin adalah salah satu pendiri Madania School bersama dengan Nurcholish Madjid (Cak Nur, 1939-2005) dan Ahmad Fuadi (1934-2013).
Ini pertemuan dua sahabat lama. Hangat. Penuh gairah. Penuh nostalgia. Kami ngobrol sambil berjalan menyusuri gang-gang di kompleks Madania yang luas dan sejuk; melihat sejumlah siswa main futsal. Sambil jalan, mengenang kembali pengalaman kami ketika sama-sama mengikuti Interfaith Dialogue di Rusia, Serbia, dan Yunani (2011).
Lalu, kata Komaruddin, “Yuk, kita ngobrol di perpustakaan saja.” Yah, perpustakaan, tempat ngobrol yang nyaman. Ada yang berpendapat perpustakaan lebih dari fasilitas atau program lain di sekolah, perpustakaan berfungsi sebagai tempat untuk memperluas pendidikan siswa di luar kurikulum yang dipersyaratkan.
Bahkan, kata orang pandai, agar bangsa kita tetap ‘kaya’, sangat penting bagi warga negara, juga pelajar, memiliki akses informasi yang tidak terbatas, termasuk lewat buku-buku di perpustakaan.
“Bukumu yang paling laku, yang mana. Oh, iya kredensialmu di Youtube sudah banyak iklannya?” tanya Komaruddin begitu kami duduk di kursi perpustakaan.
“Buku Jerusalem yang dulu dibedah Gus Dur saat peluncuran yang paling laku. Lalu juga buku Turki, Revolusi Tak Pernah Henti Lainnya, seperti Pilgrim dan Tahrir Square, lumayan juga,” jawab saya.
***
Di perpusatakaan, kami ngobrol banyak hal. Antara lain soal dunia pendidikan, rencana penulisan buku (kami pernah merencanakan menulis buku berdua, tetapi pandemi Covid-19, menjadi halangan untuk mewujudkan rencana itu), politik mutakhir, tokoh-tokoh besar di negeri ini, seperti Cak Nur, Gus Dur, dan Buya Syafii.
Tentang Cak Nur, Komaruddin pernah nulis demikian (Kompas, 22 Desember 2010) “Sosok dan pemikiran Nurcholish Madjid (1939-2005) sulit dihapus dari ingatan intelektual Islam Indonesia kontemporer. Bersama Abdurrahman Wahid, keduanya meletakkan fondasi pemikiran keagamaan dan ke-Indonesia-an yang inklusif dan visioner. Mereka mempertegas integrasi Islam, demokrasi, dan negara kebangsaan baik dalam tataran epistemologis maupun dalam praksis-politik.”
Bagi Cak Nur, tidak ada pertentangan antara keislaman, kemodernan, dan keindonesiaan. Tiga hal itu dikembangkan secara simultan, dengan rajutan yang akan menghasilkan masa depan Indonesia yang lebih baik, lebih demokratis, lebih adil, dan lebih terbuka.
Ketika kami bicara toleransi, nama Gus Dur segera muncul. Bapak Toleransi, Pluralisme, Demokrasi, dan Perdamaian ini memiliki pandangan yang khas tentang toleransi.
Gus Dur meletakkan toleransi dalam bertindak dan berpikir. Kata Gus Dur, sikap toleransi tidak tergantung, tidak berkaitan pada tingkat pendidikan maupun kekayaan. Sebab, toleransi adalah masalah hati dan perilaku.
Toleransi bukan soal epistimologi, karena itu tidak butuh difinisi. Tetapi, aksiologi dari konsep-konsep yang bersifat normatif. Maka, Gus Dur terus dan terus memraktikannya. Persahabatan sejatinya dengan Romo Mangun dan Ibu Gedong Bagus Oka, misalnya, salah satu contohnya kecilnya.
Yang sangat menarik adalah soal kebudayaan Tionghoa. Gus Dur mengakui kebudayaan Tionghoa sebagai bagian dari kebudayaan Indonesia. Maka, tak ada lagi dikotomi di kalangan masyarakat Tionghoa di Indonesia mengenai pilihan antara mengambil pendekatan asimilasi atau integrasi seperti pada era sebelumnya.
Berbagai aksara China, yang sebelumnya ditabukan, dilarang dituliskan, digunakan, dibebaskan. Pertunjukan barongsai yang menarik, indah itu dan dulu dilarang, oleh Gus Dur diperbolehkan dipentaskan. Maka, kelompok kesenian ini pun tumbuh bak jamur di musim hujan.
Tokoh lain yang kami bicarakan adalah Buya Syafii Maarif. Kata Komaruddin, Buya Syafii adalah sosok pengingat, seorang muazin yang sederhana. Seorang pengingat yang berseru mengingatkan dan mengajak penguasa untuk peduli akan situasi dan kondisi bangsa dan global.
Buya adalah sosok yang selalu memerhatikan kondisi sosial bangsa dan dunia. Ia selalu berpikir keras akan bangsa serta tak segan untuk mengingatkan dan mengajak para penguasa untuk terus memperbaiki permasalahan bangsa. Sikap seperti itu, dipertahankan sampai di titik akhir hidupnya dengan sepenuh hati dan pikiran.
Kata Komaruddin, Buya seorang muslim yang inklusif, plural, dan bermoral. Salah satu pendapat Buya adalah sikap fundamental tak akan mampu mempertahankan bangsa Indonesia seutuhnya dalam mengayomi setiap elemen suku, etnis, dan agama. Maka, Buya selalu mengatakan, sing waras aja ngalah menghadapi ketidak-warasan dalam sikap, omongan, dan tindakan.
Kata Komaruddin, dengan menjadi seorang muslim yang inklusif dibarengi dengan intelektual, maka tak heran jika pemikiran Buya Syafii melintasi batas teritorial. Hal itu menjadikan Buya sebagai sosok intelektual muslim yang melintasi batas agama dan teritorial.
Sikap pluralnya bahkan diserukan dengan lantang dengan menyebut bahwa setiap manusia, baik itu muslim, nonmuslim, bahkan atheis sekalipun, diberikan kebebasan untuk hidup di muka bumi ini oleh Tuhan. Asalkan, kebebasan tersebut harus dibarengi dengan sikap menghormati akan rambu-rambu suatu agama dan budaya tertentu di suatu tempat yang ditinggali.
***
Tidak lama kami ngobrol. Karena Prof Komaruddin sudah dijemput putri dan cucunya. “Kita lanjutkan lain kali ya, ngobrolnya, sambil ngrencanakan bukunya itu,” katanya sebelum meninggalkan perpustakaan.
Sambil jalan, ia masih mengatakan, “Mereka itu–juga sejumlah tokoh lainnya penganjur, pembela, dan pelaksana toleransi, pluralisme, demokrasi, dan perdamaian–sudah layak dan sepantasnya kita teladani, ikuti, kita puji dengan setulus hati.”
“Tetapi,” lanjutnya, “puja-puji saja terhadap mereka–meskipun memang sudah pantas dan selayaknya–tidak cukup. Yang dibutuhkan sekarang adalah melanjutkan dan mewujud-nyatakan gagasan-gagasan besar tiga guru bangsa itu. Misalnya, soal pluralisme, toleransi, inklusivitas beragama.”
Bukankah, toleransi misalnya, bukan sekadar saling menghormati, tenggang rasa, tetapi harus diwujudkan pengembangan rasa saling pengertian yang tulus dan diteruskan saling memiliki dalam kehidupan menjadi ukhuwah basyariyah, persaudaraan kemanusiaan.
Persaudaraan kemanusiaan itu artinya di mana seseorang merasa saling bersaudara satu sama lain karena merupakan bagian dari umat manusia yang satu di pelbagai penjuru dunia; sama-sama merupakan makhluk ciptaan Tuhan.
Maka sikap-sikap seperti diskriminatif, tidak toleran, inklusif dalam hidup beragama, kebenciaan, penuh kecurigaan pada orang lain yang tak seagama dan tak sepaham, bertentangan dengan hakikat dasar manusia tersebut. “Wis, ya ...kita ketemu lagi.” ***
Tiga tokoh yg memang luar biasa. Semoga muncul tokoh spt beliau ber3.
Amin…semoga makin, Pakde…suwun
Sangat menginspirasi utk mewujudnyatakan sikap inklusif beragana, toleransi, perdamaian dan persaudaraan lintas agana, budaya dan teritori.
Terima kasih, Bung Anton…salam
Bukannya Komariddin ahidayatsebagai petinggi PKS menaruh dendam yang kuat kepada Gis Dur dan Buya Syafii karena mereka berdua bergabung mengedit buku Idealisme Negara Islam yang menjadi tonggak yang sangat mengerdilkan tujuan dan posisi HTI serta PKS dan jelas² menguraikan posisi mereka berseberangan dengan Pancasila dan sikap intoleransi yang bahkan militan berseberangan dengan semangat NKRI bersatu dan cenderung memilih khilafah internasional ?
Apakah politik dan sikap PKS sudah berubah dari deskripsi yang diuraikan dengan rinci oleh buku editan bersama GusDur dan Buya Syafii ?
Sementara kita hanya bisa mengamati gerak gerik para petinggi negara yang berafiliasi dengan PKS apakah bermanfaat untuk kemajuan NKRI atau makah cenderung bikin negeri ini porak poranda ? Tentu dengan sudut pandang yang sudah bias karena sudah membaca buku yang lumayan menyudutkan HTI dan PKS, Pemerintah sudah mebgambil langkah dalam menangani HTI dengan membubarkannya, namun terhadap PKS sama sekali mendiamkan, padahal organisasi PKS sangat militan dan mengambil banyak teknik² PKI dalam menggerakkan massa dalam sistem sel dan pengaruhnya sudah sangat berhasil ke berbagai pelosok pedesaan dan sekolah². Sungguh pujian keberhasilan PKS meyusupi berbagai kegiatan pedesaan, sekolah² di berbagai pelosok, dan ASN di banyak tempat. Kita ingat betapa PKS sangat berhasil dalam Kemenkoinfo dengan mengebiri kemajuan Indonesia dalam gerakan kemajuan dalam bidang digital, dan kini Indonesia sangat tertinggal dalam jangkauan jaringan digital dan nengalami tingkat kemahalan yang sangat tinggi dalam setiap gerak upaya memperoleh akses dan biaya yang tinggi. Mungkin saja saya agak bias menyimpulkan ulah PKS, namun faktanya masih begitu besar daerah di Indonesia yang berada di luar jangkauan 3G dan biaya akses jaringan nasih yerlaku mahal ! Padahal ini merupakan infrastruktur yang sangat penting untuk memajukan pendidikan di Indonesia, Tentunya kemajuan pendidikan di Indonesia bisa melompat jauh ke depan dengan memperluas akses jaringan internet dan mengupayakan turunnya biayanya. Jelas dengan latar belakang bias yang diceritakan buku GusDur dan BuyaSyafii, upaya kemajuan pendidikan masyarakat Indonesia dengan segala upaya akan dihambat. Entah masih ada kah jaringan PKS bercokol didalam kementerian Kominfo.
Upaya Test Wawasan Kebangsaan ternyata bisa membuka tabir kontaminasi wawasan yabg bertentangan dengan semangat kemajuan NKRI, dan lihat saja pihak mana yang menjadi kalang kabut marah² dengan adanya Test seperti itu, mirip test serupa ketika kita menjaring orang² yang condong pada pemikiran komunis dan berafiliasi dengan pikiran G30S !
Tentu kita tidak boleh berkutat hanya dengan apa yang sudah terlanjur terjadi, tetapi harus segera melajukan assesment tentang situasi yang ada, dan mekakukan tindakan segera untuk mengatasi permasalahan pada seluruh tingkat administrasi Negara ini !
Om, Komaruddin Hidayat, bukan PKS ..
Sebuah obrolan yang mencerahkan mas Trias, sudah sulit mencari Negarawan seperti mereka…sukses terus mas 🙏
Teuku, apa kabar? Sehat2 semua ya, seluruh keluarga…terima kasih masih sempat baca..kapan ke Jakarya?