Kemarin siang, tiba-tiba sahabat lama saya Sukidi–nama lengkapnya Sukidi Mulyadi–menelpon. Saya agak kaget, kok tumben-tumbennya menelepon. Sebab, biasanya kami hanya berkomunikasi lewat WhatsApp. Dengan itupun kami bisa ngobrol seru, banyak hal.
Saya kagum padanya. Sukidi itu “cah ndeso.” Dia dari Tanon, salah satu kecamatan di Sragen, Jawa Tengah. Tanon kira-kira 14 kilometer sebelah barat Sragen.
Tetapi walaupun “cah ndeso”, Sukidi adalah doktor lulusan Universitas Harvard (2019), di Cambridge, Massachusetts, AS, setelah berhasil mempertahankan desertasinya The Gradual Qur’an: Views of Early Muslim Commentators.
Maka itu, saya selalu kagum padanya, cendikiawan muda Muhammadiyah ini, seperti kekaguman saya pada Zuhairi Misrawi (sekarang Dubes RI di Tunisia) cendikiawan muda NU, atau Fuad Fanani dari Muhammadiyah, dan banyak yang lain seperti Sukardi Rinakit, Agus Sudibyo, Donny Gahral, Donal Fariz, Febri Diansyah, dan Sahat K Panggabean, sekadar menyebut nama.
Mereka ini sangat peduli pada ke-Indonesiaan, pada ke-Bhinnekaan Tunggal Ika, pada kemajemukan bangsa, pada toleransi, pada kemoderatan beragama, pada budaya bangsa yang adiluhung. Pendek kata, mereka peduli pada NKRI yang ber-Pancasila, ber-UUD 1945, yang ber-Bhinneka Tunggal Ika. Istilah kerennya, “NKRI Harga Mati.”
Kepedulian, kecintaan mereka terhadap semua itu menjadi sangat berarti, besar maknanya di tengah terpaan-terpaan angin sakal yang berusaha mengikis pondasi negeri saat ini. Apalagi, ketika ada yang bermimpi hendak mengganti pondasi negeri ini dengan pondasi yang lain; yang tidak menghormati kebhinnekaan, kemajemukan, yang menyingkirkan toleransi, yang memilih kebencian dari pada cinta.
Maka, pikiran-pikiran atau gagasan-gagasan besar yang diwujudkan dalam tindakan-tindakan besar dan berani untuk terus mengawal perjalanan republik ini menjadi penting artinya.
***
Kemarin waktu telpon, Sukidi mengungkapkan rasa gundah-gulana hatinya terhadap kondisi negeri ini. Terutama berkait dengan persatuan dan kesatuan bangsa, dengan kemajemukan yang dia sebut sedang dipertaruhkan; yang pelan-pelan digerogoti
Persatuan dan kesatuan, kamajemukan dan toleransi, keindonesiaan dan kebhinnekaan selalu menjadi perhatian Sukidi sejak lama. Semua itu tercermin dalam tulisan-tulisannya selama ini di berbagai media. Misalnya di Kompas, Kamis, 21 April 2022. Waktu itu, Sukidi menulis begini:
Republik ini didirikan oleh mereka yang menjiwai sepenuhnya arti penting persatuan untuk membentuk Indonesia yang majemuk. ”Kita mencintai bangsa kita dan dengan ajaran agama kita (Islam),” ujar Hadji Oemar Said Tjokroaminoto dalam Kongres Sarekat Islam di Bandung pada tahun 1916. ”Kita berusaha sepenuhnya mempersatukan seluruh atau sebagian besar bangsa kita,” ujarnya.
Islam yang diajarkan oleh Tjokro kepada para pendiri bangsa ini, antara lain Soekarno, bercorak nasionalistis karena Islam diyakini sebagai kekuatan pemersatu bangsa yang majemuk.
Dengan meneladani Tjokro sebagai ”pujaan dan cermin hidupnya”, tulis Cindy Adams dalam menceritakan Sukarno: An Autobiography as told to Cindy Adams (1965), Soekarno pun mengikuti Islam yang diajarkan gurunya dengan penegasan bahwa ”I am convinced
that it is only this unity which will bring us to the realization of our dreams: A free Indonesia” (Sukarno, Nationalism, Islam and Marxism, 1969:36).
***
Saya tangkap dalam obrolan lewat telepon, Sukidi sangat prihatin dengan kondisi sekarang. Kata Sukidi, keutuhan Indonesia sedang dipertaruhkan. Masyarakat semakin terbelah. Prasangka, kebencian, bahkan permusuhan mewarnai karakter baru masyarakat yang terbelah. Agama yang seharusnya menjadi sumber compassion, belas kasih justru menjadi sebaliknya.
Dan, dikhawatirkan nanti mendekati Pemilu 2024 akan semakin menjadi-jadi. Karena, berdasarkan pengalaman, politik identitas seperti yang sudah-sudah dimanfaatkan para pelaku politik (atau sengaja ndompleng para pemburu kekuasaan) untuk meraih, merebut kekekuasaan, memenangkan konstestasi politik.
Kata Sukidi, bangsa ini kehilangan figur pemimpin yang tampil menjadi pemersatu rakyat. Terakhir kita kehilangan Buya Syafii Maarif, yang selama ini selalu menyuarakan suara kenabian. Jauh hari sebelumnya kita kehilangan antara lain Gus Dur, Cak Nur, Romo Mangun, dan Ibu Gedong Bagus Oka. Mereka itu adalah tokoh-tokoh anti-kekerasan, pendukung persatuan dan kesatuan bangsa, kebhinnekaan, dan juga moderasi agama.
Sekarang ini, alih-alih mempersatukan rakyatnya yang terbelah, tak sedikit pemimpin malah memanfaatkan keterbelahan itu, mempertontonkan nafsu kekuasaan, tanpa peduli atas pembelahan sosial yang semakin memprihatinkan. Padahal, persatuan menjadi warisan dan kesepakatan luhur pendiri bangsa.
Bukankah Republik ini meraih kemerdekaan dan mampu berdiri tegak di atas pilar kebinekaan berkat persatuan. Persatuan menjadi spirit perjuangan kolektif para pendiri bangsa, bukan sekadar untuk melawan kolonialisme yang brutal, melainkan juga untuk membentuk negara Indonesia.
Maka benar yang dikatakan Bung Karno, beberapa puluh tahun silam, “Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah, namun perjuangan kalian akan lebih sulit karena melawan bangsa sendiri.”
***
Itulah sekarang yang terjadi. Kata Sukidi, suka tak suka harus kita akui bahwa persatuan dan kesatuan bangsa saat ini menghadapi cobaan. Padahal, kesatuan bangsa Indonesia itu, kata Franz Magnis-Suseno (1992), bukan fakta alamiah –misalnya seperti Korea dan Jerman yang satu etnis, satu bahasa, satu sejarah, dan satu kebudayaan–melainkan satu kesatuan moral. Dalam arti, kesatuan berdasarkan tekad bersama yang tumbuh berdasarkan pengalaman satu sejarah penderitaan.
Oleh karena itu, kesatuan tekad tersebut harus terus dihidup-hidupi, dirawat, dipelihara, dan dipupuk, ibarat kata seperti pohon, agar semakin tumbuh subur dan berbuah. Sebab, ada saja usaha-usaha dalam berbagai macam bentuk dan rupa berusaha mencobai persatuan dan kesatuan bangsa dan negara; mengikis sendi-sendi pondasi bangunan republik ini.
Api persatuan dan kesatuan itu harus terus dipelihara agar tidak padam. Banyak pelajaran dan contoh dari negara lain yang hancur berantakan karena padamnya api persatuan dan kesatuan, karena adanya ide-ide atau gagasan-gagasan yang bertentangan dengan landasan dasar yang sudah disepakati sebagai pemersatu.
“Di Indonesia, pemersatu itu Pancasila, tentu saja,” kata Sukidi di ujung obrolan lewat telepon siang itu. Sebelum menutup teleponnya, Sukidi masih mengatakan, “Kita tetap harus ketemuan, Mas.”
“Saya tunggu, waktu luang sampeyan_,” jawab saya….
Saya juga sdh mengikuti ceranah ulang Gunawan Mohammad ttg pancasila dan sejarah..th circa 2019 yg menyitir ketimpangan akses akses dan radikalisme, dan jalan keluar a.l reformasi birokrasi, itu yg dikatakan Jokowi. 60 persen murid SMA negeri tidak mau pancisila. 75 persen setuju dgn hukum potong tangan.
Wow…bagaimana bisa begini ..dan berbagai survei mengungkapkan hal yang sama….kalau ini berterus-terus…bgmm masa depan republik ini, Ki Francis….
Luar biasa mendalam tulisan mas Trias dalam Spirit Kebangsaan NKRI yang tinggi.
Romo, terima kasih banyak
Teruslah menulis yang memberikan pencerahan.
Saya pernah ikut madepokan Asram Gandhi di Candhi Dhaksa, selama 10 hari. Ketika itu Ibu Gedong Oka masih sugeng.
Saat di sana saya terhenyak, karena ketika doa bersama, yang didoakan adalah Gita Sang Surya (Fransiskus Asisi) dan Madah Damai dari St. Ignatius.
Sangat berutung pernah merasakan pengalaman yang sangat indah….terima kasih, salam
Sebuah pembicaraan lewat telepon yang membahas soal mendalam tentang Negara Bangsa yang mulai di ‘ rapuhkan’, hanya guna kepetingan kekuasaan sesaat dan keinginan merubah realitas pondasi dasar…terima kasih Mas Tryas atas sharing ini, salam hormat dari Aceh
Teuku yang baik hati…apa kabar? Semoga selalu sehat semua…kita sudah lama sekali tak berjumpa…terima kasih masih menyempatkan untuk membaca cerita saya….salam
Matur nuwun mas Trias…ruarrrr biasa obrolan2 nya…semoga tetap sehat optimal njih
Sama2, Mbak….terima kasih sudah meluangkan untuk membacanya…salam