Presiden Jokowi baru saja melakukan kunjungan maraton ke tiga negara–China, Jepang, dan Korea–dalam tempo tiga hari. Di China, President Jokowi bertemu dengan PM Li Keqiang dan Presiden Xi Jinping; di Jepang bertemu dengan PM Fumio Kishida dan kalangan bisnis; dan di Korea Selatan bertemu dengan Presiden Yoon Suk-yeol.
Kunjungan ini amat menarik, walau dilakukan secara singkat. Akan lebih menarik dan bermakna penting bila kunjungan ke ketiga itu diletakkan dalam bingkai dinamika di kawasan Indo-Pasifik.
Memang Menlu Retno Marsudi mengatakan bahwa ketiga negara adalah mitra strategis Indonesia di sektor ekonomi; juga mitra strategis ASEAN di isu-isu regional.
China, misalnya, adalah mitra perdagangan strategik Indonesia dengan total nilai traksaksi mencapai 110 miliar dollar AS (Jepang, 32 miliar dollar AS; Korsel, 18, 41 miliar dollar AS) pada tahun 2021. Di tahun yang sama, China merupakan investor terbesar ketiga di Indonesia dengan nilai investasi 3,2 miliar dollar AS (Jepang, 2,26 miliar dolar AS; Korsel, 1, 64 miliar dollar AS)
Angka-angka itu memberikan gambaran pentingnya ketiga negara bagi Indonesia. Karena itu, kata Menlu, secara bilateral fokus kunjungan adalah untuk memperkuat kemitraan ekonomi terutama dalam sektor perdagangan dan investasi.
Tentu, kunjungan ini juga dalam rangka presidensi G20 Indonesia yang akan mengadakan KTT November mendatang di Bali. Dipilihnya Indonesia untuk memegang Presidensi G20 di tengah pandemi membuktikan persepsi yang baik atas resiliensi ekonomi Indonesia terhadap krisis. Presidensi ini juga merupakan bentuk pengakuan atas status Indonesia sebagai salah satu negara dengan perekonomian terbesar di dunia, yang juga dapat merepresentasikan negara berkembang lainnya.
Karena itu, kehadiran para pemimpin tiga negara itu, penting dan besar maknanya. Itulah sebabnya, Presiden menemui pemimpin ketiga negara itu. Ketiga negara itu adalah kekuatan ekonomi di Asia. Bahkan China, kekuatan ekonomi utama dunia. Ketiganya, juga “terlibat” dalam persaingan strategik di Indo-Pasifik yang di dalamnya ada AS.
Dinamika Indo-Pasifik
Ketiga negara yang dikunjungi Jokowi, menempati posisi yang penting dalam konteks dinamika Indo-Pasifik. Apalagi bila dikaitkan dengan kompetisi strategik antara AS dan China. AS, Jepang, dan China adalah kekuatan strategis di Asia Timur dan seluruh kawasan akan sangat tergantung pada ketiga negara itu dan hubungan di antara mereka.
Kata Chu Shulong (2008) dari Tsinghua University, di antara tiga hubungan bilateral, hubungan AS – Jepang, terstruktur, stabil, dan kuat sejak akhir Perang Dingin, terutama sejak pertengahan 1990-an. Hubungan AS- China, sangat berkembang sejak akhir 1990-an, dan stabil semasa pemerintahan George Bush.
Tetapi, nature dan struktur hubungan bilateral jangka panjang AS – China tetap tidak menentu, tidak jelas, dan tidak mapan. Hubungan bilateral Jepang-China pada dasarnya stabil sejak awal 1970-an dan sampai akhir abad ke-20.
Bisa dikatakan, sejak awal abad ke-21, hubungan kedua negara, Jepang-China, secara strategik tidak atabil, karena perubahan struktural di dalam kedua negara dan antara kedua bangsa. China, Jepang, dan AS adalah kekuatan amat penting di Asia sekarang ini dan mendatang. Hubungan di antara mereka bisa dikatakan sebagai pondasi hubungan internasional, perdamaian, dan stabilitas di Asia Timur. Tapi kata Chu Shulong (2008) dari School of Public Policy and Management, Tsinghua University, juga bisa menjadi sumber konflik strategik besar di kawasan. Bahkan dapat dikatakan, akan menjadi apa Asia sekarang dan mendatang akan sangat tergantung pada tiga negara itu dan hubungan di antara mereka.
Sementara itu, kata Tong Zhao (2022) dari the Carnegie Endowment for International Peace’s Nuclear Policy Program, sekarang ini, China sudah sampai pada kesimpulan bahwa AS bertekad untuk menahan dan melemahkan China. Salah satu usaha yang dilakukan AS adalah menjadikan Jepang dan Korsel sebagai sekutunya–membentuk aliansi trilateral, AS-Jepang-Korsel– dalam kompetisi strategik dengan China.
Langkah lainnya adalah membentuk Dialog Keamanan Kuadrilateral (Quad/The <span;>Quadrilateral Security Dialogue; yakni dialog keamanan strategik antara Australia, India, Jepang, dan AS), Quad Plus (plus Korsel, Selandia Baru, Vietnam, Brasil, dan Israel), dan Five Eyes (aliansi intelijen yang terdiri dari Australia, Kanada, Selandia Baru, Inggris, dan AS).
Jepang semakin merasakan ancaman dari China yang terus bertumbuh semakin besar baik sebagai kekuatan militer maupun ekonomi. Sementara China juga melihat aliansi strategik komprehensif antara AS dan Korsel sebagai ancaman baginya.
Berbeda dengan Jepang yang teguh bersekutu dengan AS, Korsel masih “bimbang.” Pada bulan Mei 2021, dilakukan KTT antara Presiden AS Joe Biden dan Presiden Korsel Moon Jae-in (sekarang Presiden Yoon Suk-yeol). Dalam KTT, kedua presiden menegaskan kerja sama kedua negara dalam menghadapi tantangan global, termasuk Covid-19, perubahan iklim, dan pemulihan ekonomi global akibat pandemi Covid-19.
Tetapi, kata Seungjoo Lee, dari Chung-Ang University (2022), pemerintah Moon Jae-in berhati-hati dalam memperkuat kerja sama dengan Washington dalam strategi regionalnya. Pemerintah Moon khawatir bahwa kerja sama dengan strategi Indo-Pasifik yang dipimpin AS dapat disalahartikan sebagai partisipasi dalam koalisi anti-China. Sementara, Korsel memiliki kepentingan pada China.
Dengan kata lain, Korsel sangat memerhitungkan kekuatan China di kawasan di mana Korsel berada. Maka Pemerintah Moon pun “memilih” kebijakan strategis yang ambigu, mendua. Seoul berusaha memisahkan kepentingan keamanan nasionalnya dari ekonomi. Maka mantra kebijakannya adalah “keamanan dengan Amerika Serikat, ekonomi dengan China.”
Dalam bidang ekonomi, misalnya, Korsel berusaha mengambil keuntungan dari kebangkitan ekonomi China. Dalam bidang politik, Moon Jae-in, berusaha mendapatkan dukungan Beijing dalam usahanya menengage dengan Pyongyang, Korut. Tapi, tetap memperkuat aliansi keamanan tradisionalnya dengan Amerika Serikat.
Sikap ambigu Seoul itu berubah setelah Yoon Suk-yeol menggantikan Moon Jae-in sebagai presiden (10 Mei 2022). Bisa dikatakan, Yook mengawali babak baru dalam hubungan Korsel-AS. Kalau Moon mendua, Yook lebih fokus: AS sebagai aliansi strategisnya dalam kebijakan luar negerinya.
Yook melihat ancaman keamanan makin nyata dari China dan juga Korut. Kata Scoot Snyder (Forbes, 11 Mei 2022) alah satu tantangan terbesar yang dihadapi pemerintahan Yoon Suk-yeol adalah bagaimana mendefinisikan hubungan China-Korsel berdasarkan “saling menghormati.” Tapi, kedua negara memiliki definisi yang berbeda tentang “saling menghormati”, yakni kedua didasarkan pada kepentingan nasional masing-masing.
China menyatakan, setiap tantangan oleh pemerintahan Yoon terhadap kerangka three noes atau “tiga noes” (tidak ada baterai rudal Pertahanan Udara Terminal High Altitude Air Defense baru di Korea Selatan; tidak ada sistem pertahanan rudal trilateral AS-Jepang-Korea Selatan; dan tidak ada trilateral AS-Jepang-Selatan Aliansi keamanan Korea) dianggap ketidakhormatan Korea Selatan terhadap China.
Menghadapi hal itu, Korsel memperkuat diplomasi regional untuk mengurangi ketergantungan pada China dan mengejar daya saing teknologi tinggi melalui tata kelola ekonomi global yang lebih baik. Dan, ini yang akan menyumbang penaikkan ketegangan di kawasan Indo-Pasifik adalah Pemerintah Yoon sedang berusaha untuk meningkatkan aliansi Korsel-AS menjadi aliansi strategis yang komprehensif.
Dua Karang
Di sinilah, kepiawaian diplomasi Jokowi “menyusup” (dalam bahasanya Bung Hatta: “mendayung antara dua karang”) di antara persaingan antara AS dan China di kawasan Asia Pasifik. Bagaimana agar tidak terseret dalam arus kompetisi strategik di Indo-Pasif, sekaligus kepentingan nasionalnya terpenuhi dan aman.
Maka perjalanannya ke ketiga negara–satu pesaing AS dan dua sekutu AS–dan meneguhkan kerja sama bilateral dengan mereka, menjadi sangat berarti. Indonesia menegaskan posisinya yang seturut dengan politik luar negerinya yakni bebas aktif.
Prinsip tersebut–bebas aktif, netralitas–adalah penting. Sebab, dengan demikian Indonesia bisa menjalin hubungan ekonomi baik dengan AS (dan dua sekutunya Jepang dan Korsel) maupun China. AS dan China adalah dua mitra ekonomi terbesar. Maka itu, Indonesia perlu membangun hubungan ekonomi dan politik yang netral dengan kedua negara itu.
Dengan ini, Indonesia memberikan sumbangan besar bagi terciptanya jaringan ekonomi yang inklusif, damai, dan berkelanjutan di Asia Tenggara dan Indo-Pasifik secara lebih luas. Hal ini penting bagi Indonesia untuk memperkuat perannya dalam rantai nilai global. Inilah kiranya, hasil dari muhibah tiga negara, tiga hari. ***
* Artikel ini sudah dimuat di Kompas.com, pada hari Sabtu, 30 Juli 2022.