
Roma dan Parma dipisahkan jarak 460,9 km. Kota ini terletak di wilayah Emilia-Romagna, Italia Utara. Ada jalan bebas hambatan halus, sebagaimana jalan-jalan bebas hambatan di Italia, yang menghubungkan kedua kota itu.
Pagi itu, kami meninggalkan wisma, pukul 05.15. Mobil yang dikemudikan Pak Marimin, lelaki asal Kebumen yang sudah 42 tahun mengabdi di KBRI Takhta Suci, yang membawa kami, meluncur mulus, begitu masuk jalan tol. Berulang kali saya longok, berapa kecepatan lajunya. Ternyata antara 140 – 160 km per jam. Kadang-kadang 180 km per jam.
“Pak nggak usah ngebut.” Ucapan itu selalu meluncur dari mulut saya. “Ya, Pak,” begitu jawabnya.
Pemandangan sepanjang jalan–andaikan pagi itu tidak hujan dan berkabut–pasti indah. Mobil kami menyusuri lereng-lereng bukit, lembah, celah-celah bukit yang hijau, dan menembus lebih dari sepuluh terowongan panjang dan pendek. Beberapa hari sebelumnya ketika kami ke Rimini, menyusup terowongan sepanjang 10 km.
Ketika mendekati tempat yang kami tuju, biara para romo Misionaris Xaverian (SX)–dua dari mereka, Willybrordus Aditya Yudistira dan Servasius Azist Haryono, hari itu ditahbiskan jadi diakon. Itulah alasan kami ke Parma–kami memasuki wilayah pinggiran kota: ada ladang, perkebunan, dan hamparan tanah luas.
***

Inilah Parma. Selama ini yang saya tahu tentang Parma hanyalah sepak bolanya: Parma Calsio 1913 yang lebih dikenal sebagai Parma saja. Tetapi ternyata, selain urusan bola, Parma kota tua yang menurut catatan sejarah didirikan tahun 183 SM, menarik dan memiliki sejarah panjang.
Kota ini terkenal dengan kulinernya, misalnya. Bahkan oleh UNESCO ditetapkan sebagai kota kreatif untuk keahlian memasak. Parma juga kota seni dan budaya. Dari Parma lahir pula komponis besar musik klasik Giuseppe Verdi.
Meskipun di Parma ada Museum Verdi, namun menurut cerita, sang komponis itu agak malu-malu mengaku lahir di Parma. Ia lahir pada tahun 1813 di kota kecil Roncole, dekat Busseto. Pada waktu itu, secara administratif masuk wilayah Parma. Artinya dijajah penguasa Parma.
Verdi, yang sangat menentang segala jenis dominasi asing, meninggalkan Parma dan memusatkan perhatiannya ke utara, ke Milan. Di kota itu, ia antara lain menghasilkan banyak karya komposisi opera.
Tiga karya operanya yang banyak disukai adalah Rigoletto (1851), Il trovatore (1853; The Troubadour), and La traviata (1853). Salah satu karya yang dipersembahkan kepada penguasa Parma ketika itu adalah I Lombardi alla prima crociata atau Orang-orang Lombardi di Perang Salib Pertama.
Penguasa Parma, juga Piacenza, dan Guastalla kala itu adalah Marie Louise atau Maria Luigia Leopoldina Francesca Teresa Giuseppa Lucia (1791 – 1847) dari Austria. Ia istri kedua Napoleon Bonaparte (1769 — 1821). Istri pertama Napoleon adalah Josephine de Beauharnais. Mereka menikah sepekan sebelum Napoleon memimpin ekspedisi militer ke Perancis. Marie Louise meninggal tak lama setelah melihat opera karya Verdi
Ketika menikah dengan Marie Louise, pada tahun 1 April 1810, Napoleon berusia 40 tahun (lahir 1769) sedangkan Marie Louise, 18 tahun. Marie Louise, putri Kaisar Romawi Suci Austria Francis II diangkat sebagai penguasa Parma (1814 – 1847) oleh Kongres Wina.
Sebelum menikahi Marie Louise, Napoleon sebagai pemimpin pasukan Perancis pernah melancarkan invasi militer ke Italia, 1796 – 1797. Awal Agustus 1796, pasukan Napoleon merebut Parma dari kekuasaan pasukan Austria. Menurut World History Encyclopedia, ini menjadi awal Perancis menguasai Italia utara
Perang inilah yang menaikkan bintang dan pamor Napoleon. Dalam tempo empat tahun 1795 – 1799, prajurit dari Pulau Corsica, di Laut Mediterania, menjadi sangat kondang. Garis nasib mengubah jalan hidupnya.
Di kemudian hari ia diakui sebagai salah satu genius tentara sejajar dengan Aleksander Agung dari Makedonia, Hannibal dari Carthago, dan Yulius Caesar dari Roma, menjadi bintang, menjadi jenderal besar. Bahkan, akhirnya menjadi kaisar Perancis, setelah melakukan kudeta, November 1799.
***

Saat pecah Perang Napoleon (1803 – 1815), Parma menjadi sasaran kembali. Di awal perang, 1804, pasukan Napoleon menduduki Parma. Saat itulah tragedi peradaban itu terjadi.
Pasukan Napoleon menduduki “Chiesa di San Francesco del Prato“, Gereja San Francesco del Prato (Gereja Santo Fransiskus). Gereja berasitektur gaya gotik ini tidak hanya diduduki tapi dirusak.
Altar mereka hancurkan. Fresko-fresko indah, mereka rusak. Ditutup dengan warna abu-abu. Hilang sudah keindahan fresko-fresko lukisan abad ke-15 itu.
Bahkan, mereka mengubah gereja menjadi penjara. Ruangannya dibuat sel-sel berjeruji besi. Sejak itu, gereja dan kompleks biara menjadi penjara kota hingga tahun 1993.
Gereja itu didirikan oleh para imam Fransiskan dari Asisi pada 1227 – 1238. Lalu tahun 1240 diperbesar, tahun 1398 diperbesar dan dilengkapi, lalu terakhir tahun 1443 diselesaikan pembangunannya.
Pada waktu itu, keluarga-keluarga kaya di daerah itu memberikan dukungan dana untuk pembangunan gereja. Sebagaimana gereja-gereja di Italia (juga Eropa) fresko-fresko karya seniman Renaisans-Maneris, yakni masa Renaisans Tinggi akhir Michelangelo Anselmi (1492 – 1554) dan Francesco Rondani (1490 – 1550) menghiasi dinding dan langit-langit gereja. Indah. Mengagumkan.
Tapi, yang indah itu tinggal kenangan dalam buku-buku sejarah bergambar.

Untung di Parma masih ada Katedral Bunda Maria Diangkat ke Surga. Katedral ini berada tidak jauh dari Gereja St Fransiskus. Bangunan katedral yang dibangun mulai 1059 dan diresmikan 1106 ini, berada persis di atas gereja lama yang dibangun pada abad kedelapan.
Fresko di capula (kubah) gereja adalah karya seniman Renaisans akhir, Antonio da Correggio. Fresko ini menggambar Bunda Maria Diangkat ke Surga.
Fresko-fresko karya Gerolamo Mazzola Bedoli (1500 – 1569) yang mendominasi seluruh katedral. Ada fresko yang sangat menarik dan indah yakni menggambarkan Kristus naik ke surga di tengah sorak-sorai para malaikat dan orang-orang kudus. Adegan ini didominasi oleh cahaya biru yang intens dan menyatukan simbol-simbol gairah dalam satu komposisi, menuntun umat beriman dalam perjalanan spiritual yang dimulai dari penderitaan duniawi menuju kemuliaan ilahi.
***
Napoleon yang “mewarisi” semangat revolusi–walaupun ketika revolusi pecah, ia baru berusia 20 tahun dan prajurit rendahan– mau menghabisi peran dan pengaruh Gereja Katolik di Perancis dan negara-negara taklukannya. Meskipun, belakangan memerlukan peran dan dukungan untuk mengamankan kekuasaannya.
Memang, Napoleon, bukan “anak Revolusi Perancis” yang berkobar antara 1789 dan 1799. Ia tidak ikut memulai dan juga tidak ikut mengakhiri revolusi yang mengubah tatanan dunia; menghancurkan rezim lama yang memberikan hak istimewa kepada Gereja Katolik dan para bangsawan kaya; dan melahirkan gagasan baru seperti liberty, equality, dan democracy.
Revolusi merontokkan pemerintahan Raja Louis XVI. Raja Louis XVI yang dianggap lemah dalam mengendalikan pemerintahan dan istrinya, Marie Antoinette, yang boros, suka foya-foya dan dijuluki “Madame Deficit“, bahkan dihukum mati di depan umum di Place de la Révolution, Paris, 21 Januari 1793.
***

Sungguh sangat berbeda, kini melihat Gereja San Francesco del Prato dan Katedral Maria Diangkat ke Surga. Tapi, warga Parma tak mau selamanya kehilangan keindahan yang pernah mereka miliki.
Maka, pada tahun 2018 Gereja San Frencesco de Prato, direstorasi atas permintaan warga kota. Mereka menggalang dana lewat sosial media, untuk biaya renovasi. Restorasi dilakukan untuk mengembalikan keindahan dan kemegahan masa lalu ke gereja ini.
Kemegahan masa lalu, memang, kadang perlu dikenang. Walaupun, dikenang saja tidak cukup. Sebab, kalau dikenang saja hanya akan menjadi “kuburan noltalgia”, meminjam istilah yang dikatakan Paus Fransiskus tentang gereja-gereja tua dan indah yang hanya dijadikan museum.
Padahal, seharusnya dipelajari; dijadikan hidup dan relevan untuk masa kini. Sebab, masa lalu dan sejarah, kata filsuf Tiongkok, Confusius harus dipelajari, jika ingin mengetahui masa depan.
Katanya, makhluk bermoral adalah orang yang mampu merenungkan tindakan masa lalunya dan motifnya, menyetujui beberapa dan tidak menyetujui yang lain. Yang jelek ditinggal, yang baik dijadikan lebih baik.
Bukan justru sebaliknya: mengulang-ulang yang jelek dan jahat, untuk tujuan yang jauh lebih jahat, dan kemegahan diri di tengah masyarakat yang terengah-engah dan haus akan kebenaran, perdamaian serta keadilan.
Begitulah, manusia.***
Foto-foto lain:
Terima kasih telah berbagi cerita tentang Parma. Perang dan keindahan berkelindan dalam membuat orang menjadi termasyur. Apakah keduanya persembahan bagi sang pencipta?
Luar biasa, pemberitaan perjalanan yang detail, informatif, memperluas pengetahuan umum.
Yah… betul juga :
Sejarah tidak untuk dikenang / bernostalgia saja, tetapi untuk dipelajari dibawa / direfleksikan ke kehidupan masa kini dan ditarik yang baik untuk digunakan dan dikembangkan demi kebersamaan yang indah harmonis.
Yang jelek dikaji untuk dapat dibuatkan kerangka / rambu-rambu agar jangan terulang lagi di masa kini dan yang akan datang
Proficiat, pak Trias
Jaga kesehatan.
Banyak berjemur matahari, supaya nanti di masa Winter masih ada simpanan panas nya matahari musim semi dan sommer. He-he-he … emangnya badan kita itu charger, yah
🙏. px
Terimakasih Mas Trias. Inspiratif dan reflektiff khususnya 3 alinea yg terakhir, menstimulir utk belajar seumur hidup agar sehat secara sosial dan mengedepankan etika maupun moral.🙏
Matur nuwun dimas Trias. Saya nikmati cerita sejarah yg merupakan bagian perjalanan Gereja yg tak luput dari tantangan zaman yg manis dan getir.
Berkah Dalem.
Wouw, luar biasa ini pemaparan YM Dubes kita, bung Trias mengenai keindahan dan kemegahan gereja-gereja di Parma, dari sisi arsitektur, seni fresko, riwayat pendirian,… plus aspek historis yg melingkupinya. Berikut foto-foto yg bagus, terkagum-kagum kita dibuatnya.
Kok ada juga ya, yang setega itu merusak karya estetik agung dari masa lalu. Yah, namanya juga Napoleon, sang kaisar penuh kuasa. Mengubah gereja jadi penjara,… apakah dgn itu akan berhasil mengubah para penjahat dan pemberontak yg ditahan di situ kmd bertobat menjadi santo … ?? Mungkin perlu ada semacam sidang MK (Mahkamah Keadilan lho, maksudnya) di masa Napoleon untuk menjawab pertanyaan ini.
Peristiwa dari masa lalu, semoga menjadi pelajaran utk menuju masa depan.
Agar kemanusiaan, humanitas menjadi semakin adil dan beradab.
Syalooom selalu bung Trias.