KUCING HITAM, TIKUS BERDASI

 

Foto: Istimewa

Saya tidak memelihara kucing. Tetapi, saban hari banyak kucing yang berkeliaran di halaman rumah. Mereka tidak hanya berkeliaran tetapi juga menakut-nakuti burung dan ayam peliharaan saya dan bahkan buang kotoran di rerumputan halaman. Beberapa kali  menerkam ayam kate saya.

Meski demikian, tak seekor pun kucing  saya buru, tangkap, dan bunuh, seperti di Sekolah Staf dan Komando Tentara Nasional Indonesia (Sesko TNI) di Jalan RAA Martanegara, Bandung. Penembakan kucing ini sampai-sampai mendorong Panglima TNI, Jenderal Andika Perkasa, turun tangan, dan memerintahkan jajarannya untuk menyelidiki kasus dugaan penganiayaan tersebut.

Di rumah, kucing-kucing liar atau milik tetangga, paling-paling saya usir. Oleh anak saya, bahkan kucing-kucing itu diberi makan.  Kucing akan selalu mengingat siapa yang memberi makan setiap harinya. Maka ada kucing “tamu” yang sering bermanja-manja dengan anak saya.

Ada yang bagus, cantik dan ada pula yang berkalung. Warna bulunya macam-macam: putih, hitam, coklat, abu-abu, hitam-putih, putih-kuning, abu-abu putih dan sebagainya.

***

Kisah sedih kucing di Bandung itu mengingatkan saya  cerita tentang kucing. Kata orang, kucing adalah simbol keanggunan,  rasa ingin tahu, kemandirian namun menikmati hubungan sosial, perlindungan, sihir, kesabaran (menunggu sampai saat yang tepat untuk bertindak), dan semangat petualangan, keberanian.

Karena biasa terlihat berkeliaran di malam hari, mereka  dalam beberapa budaya diasosiasikan dengan alam kegelapan. Selain itu, kucing telah dianggap sebagai simbol  ilmu sihir dan ilmu hitam, terutama jika warnanya hitam! Maka lahirlah berbagai mitologi tentang kucing.

Menurut cerita, orang Mesir kuno sangat menghormati kucing. Mereka memiliki beberapa dewi kucing, termasuk Bast, Sekmet (dewi dengan kepala singa betina), dan Mafdet (dewi yang datang sebelum Bast, yang mewakili kucing liar Mesir). Kucing juga diasosiasikan dengan pengobatan wanita.

Kucing didomestikasi di Mesir sekitar 2100 SM untuk tujuan berburu. Di Mesir, ketika itu, kucing  adalah simbol kelahiran kembali dan kebangkitan, karena kucing dipercayai memiliki sembilan nyawa. Maka, meskipun sudah ditembak, kucing-kucing itu tidak mati.

***

Foto: Istimewa

Ingat kucing, ingat Deng Xiaoping  (1904-1997). Pada tahun 1962, orang terkuat, paling berkuasa di China, mulai akhir 1970-an hingga meninggalnya tahun 1997 itu mengatakan,  “Buguan hei mao bai mao, zhuo dao laoshu jiu shi hao mao.” Tak masalah, apakah kucing itu berbulu hitam atau putih, selama dapat menangkap tikus, itu kucing yang baik.

Deng, kata Wen Liao (Foreign Policy, 2009), mengutip pepatah Sichuan, sebuah propinsi di China Barat-daya. Ketika Deng mengatakan hal itu, China seperti sedang di persimpangan jalan. Jalan mana yang akan dipilih: ekonomi terencana atau ekonomi pasar.

Lalu, Deng mengatakan selama kekuatan produktif dapat dikembangkan, tidak peduli apakah itu ekonomi terencana atau ekonomi pasar, yang penting dapat digunakan dan memberikan kemakmuran. (Tak peduli kucing itu berbulu hitam atau putih)

Maka China pun mengawinkan “kucing hitam dan putih”, sosialisme dan kapitalisme.  Kata Thitinan Pongsudhirak, seorang profesor politik dari Universitas Chulalongkorn (The Week, 30 November 2021), komunisme China sekarang ini berkarakter, bercitarasa kapitalis.

Kata Deng, “menjadi kaya itu mulia.” Kekayaan itu diraih lewat kapitalisme. Kapitalisme dipilih karena secara ideologis netral dan dapat melayani kebutuhan rezim komunis. Apalagi, kata Tomaz Kamusella (The Conversation, 2021), para petinggi China percaya bahwa sebuah negara dapat memiliki kapitalisme tanpa demokrasi.

Dalam bidang hubungan dengan negara lain pun, prinsip kucing hitam dan kucing putih juga berlaku. Apakah negara lain demokratis atau despotik, selama tidak merugikan kepentingan nasional China, tidak jadi masalah, akan tetap menjadi sahabat Beijing. Misalnya, Korut dan Myanmar.

***

Foto: Abishai Sahadeva

Tentu penembakan kucing di Bandung itu tak ada hubungannya dengan cerita tentang kucing hitam dan kucing putih di China. Apalagi, di China yang ditembak bukan kucing melainkan tikus-tikus berdasi. Maka di sana, kucing hitam dan kucing putih, tetap hidup dan berkeliaran.

Sebaliknya, di sini, yang ditembak justru kucing-kucing, yang katanya untuk menjaga kebersihan dan kenyamanan di lingkungan tempat tinggal atau tempat makan Perwira Siswa Sesko TNI, bukan karena kebencian terhadap kucing.

Padahal, tikus-tikus berdasi–entah hitam, entah putih–jauh lebih membuat negeri ini kotor, dibandingkan kucing-kucing itu. Tindakan tikus-tikus berdasi itu juga jauh berdampak pada seluruh aspek bidang ekonomi, politik, reformasi birokrasi, penegakan hukum, sosial dan kemiskinan, dan kerusakan lingkungan, serta wajah negeri ini, Indonesia.

Tikus-tikus berdasi itu rakus seperti tikus berekor, merusak tatanan, dengan memerkaya diri dengan cara-cara yang ilegal dan tak pantas, menghalalkan segala cara demi kepentingan pribadi, dan akhirnya, merusak martabat manusia.

Bahkan, tikus-tikus berdasi itu  sudah menggerogoti dunia pendidikan. Sabtu (20/8) dini hari, KPK menangkap Rektor Universitas Lampung Karomani, terkait dugaan suap penerimaan mahasiswa baru jalur mandiri. Yang mereka lakukan, benar-benar melukai, mencederai misi suci perguruan tinggi sebagai garda depan moral dan etika yang bersih dari korupsi.

Apa jadinya, bila dunia pendidikan yang semestinya menjadi tempat, kawah candradimuka untuk menanamkan jiwa mulia, etika luhur, dan nilai-nilai baik dalam kehidupan justru dirusak oleh pendidiknya. Mereka itulah tikus-tikus berdasi….yang sudah semestinya harus dibersihkan, bukan kucing…..***

Bagaimana menurut Anda artikel ini
+1
0
+1
0
+1
14
+1
8
Kredensial