CATATAN HITAM PAK REKTOR

  1. Foto: Istimewa

Sudah lama saya kenal Azyumardi Azra, yang selalu saya sapa, Prof. Karena, putra Lubuk Alung, Padang Pariaman, Sumatera arat ini, memang seorang Guru Besar:
Guru Besar Sejarah Fakultas Adab UIN Sjarif Hidayatullah,  Jakarta.

Belum lama ini, Prof Azra yang pernah menjabat sebagai Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1998-2006, didapuk  menjadi Ketua Dewan Pers Periode 2022-2025. Saya rasa, ini pilihan yang tepat, karena setumpuk alasan.

Kerap kali saya ngontak Prof Azra untuk bertanya beberapa hal yang saya yakini dia tahu. Dan, Prof Azra selalu menjawab WA saya. Bukan hanya menjawab, tetapi cepat menjawab pertanyaan-pertanyaan saya dengan senang hati. Dan, dia selalu menulis, “Bung, kalau masih ada yang kurang dan ingin ditanyakan, silakan kontak. Tks.”

Sungguh beruntung, saya mempunyai sahabat seorang profesor yang baik hati, sehingga saya bisa banyak belajar darinya. Ini sama seperti kalau saya mengontak dan bertanya pada Prof Komaruddin Hidayat yang juga pernah menjabat sebagai Rektor UIN Syarif Hidayatullah, periode, 2006-2010 dan 2010-2015. Prof Komar, bahkan sekarang menjabat sebagai Rektor Universitas Islam Indonesia Internasional.

Mereka baik, benar-benar seorang ilmuwan, cendekiawan. Mereka adalah orang yang dengan senang dan tulus hati membagikan ilmunya, dan jadi panutan seluruh anggota civitas academinya,  komunitas di universitasnya.

***

Foto: Istimewa

Kemarin, saya bertanya pada Prof Azra: Apa artinya menjadi rektor? Pertanyaan  lewat WA itu, saya ajukan karena terprovokasi oleh operasi tangkap tangan (OTT) KPK  terhadap Rektor Universitas Lampung (Unila), Prof Dr Karomani, bersama tujuh orang lainnya yang terdiri dari Wakil Rektor 1, Dekan Fakultas Teknik (FT), dosen dan pihak swasta, Sabtu lalu.

Saya penasaran setelah mendengar penjelasan Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri. Katanya, Karomani diduga terjerat tindak pidana korupsi berupa suap. Dia diduga menerima suap dan gratifikasi dalam proses penerimaan mahasiswa baru jalur mandiri di Universitas Lampung.

Bukan kali ini saja, korupsi menelan korban di perguruan tinggi. Tahun 2014, Rektor Unsoed Edy Yuwono tersandung kasus korupsi proyek kerja sama penggunaan CSR. Di tahun yang sama, mantan Wakil Rektor UI Tafsir Nurchamid divonis hukuman 2,5 tahun penjara dalam kasus dugaan korupsi proyek instalasi infrastruktur teknologi informasi Gedung Perpustakaan UI.

Masih di tahun yang sama, 2014, Pengadilan Tipikor Ambon memvonis tiga tahun penjara pada mantan Dekan FE Universitas Pattimura Latief Kari (Kompas, 22 Agustus 2022)

Korupsi secara sederhana dipahami sebagai upaya menggunakan kemampuan campur tangan karena posisinya untuk menyalahgunakan informasi, keputusan, pengaruh, uang atau kekayaan untuk kepentingan keuntungan dirinya. Korupsi terjadi karena penyalahgunaan kewenangan kekuasan tidak untuk kepentingan bersama, melainkan kepentingan diri sendiri atau kelompoknya. Itu yang terjadi (Haryatmoko, 2011)

Oalah, ternyata untuk menjadi “orang cerdik pandai” perlu nyuap. Ini aneh bin ajaib.  Bukankah, tugas pokok cendekiawan mencari dan menemukan kebenaran (search for truth), berbeda dan kadang tercampur dengan tujuan politisi memburu kekuasaan (search for power), berbeda pula dengan tujuan utama pengusaha, yakni mencari keuntungan.

Bagaimana jadinya, orang yang tugas pokoknya mencari kebenaran, justru mengawalinya dengan ketidak-jujuran? Bagaimana bisa terjadi sosok tertinggi di sebuah lembaga yang mengajarkan kejujuran, justru mengajarkan ketidak-jujuran? Tetapi, itulah yang terjadi.

Bukankah mencari ilmu harus dilakukan dengan jujur. Tanpa kejujuran, ilmu yang diperoleh tidak akan ada gunanya. Ilmu adalah untuk kebenaran, maka harus diperoleh dengan cara yang benar.

***

Foto: Rakyat Merdeka

Oh iya, apa artinya menjadi rektor, Prof? Seperti biasa, penerima anugerah gelar kehormatan dari Kerajaan Inggris ini–Commander of the Order of British Empire–langsung menjawab. Katanya,  menjadi rektor berarti  membuktikan keteguhan integritas, tidak  tergoda melakukan KKN.

Kata kuncinya adalah  integritas. Maka,  hanya (semestinya) orang-orang yang memiliki integritas-lah yang bisa dipilih menjadi rektor. Sebaliknya, hanya (semestinya) orang-orang berintegritaslah yang memiliki suara untuk memilih seseorang menjadi rektor, entah itu universitas atau institut.

Apa jadinya kalau yang dipilih menjadi rektor bukan orang yang berintegritas? Juga, apa jadinya kalau yang memilih juga bukan orang-orang yang berintegritas.

Maka benar, kata mantan Rektor Atma Jaya Yogyakarta, Maryatmo, kalau pimpinan tertinggi sebuah perguruan tinggi dipertanyakan integritasnya maka proses pemilihan rektor atau komunitas yang memilih rektor, serta hasil anak didik-nya juga bisa dipertanyakan nilai kejujuran dan integritasnya.

Kata integritas dipungut dari bahasa Latin, integer, yang antara lain berarti utuh, seluruhnya, komplet, lengkap, genap, bulat, tidak bercampur, tidak bercela, tidak kurang suatu apa, dan suci.

Maka integritas antara lain berarti keutuhan, kelengkapan, kesempurnaan, kelurusan hati, sifat tidak mencari keuntungan sendiri, kejujuran, dan kesalehan (K Prent, J Adisubrata, WJS Poerwadarminta, Kamus Indonesia-Latin, 1969).

Sedangkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan integritas sebagai “mutu, sifat, atau keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan; kejujuran.”  Kesatuan yang utuh dapat dipahami sebagai kesamaan antara pikiran, hati, dan tindakan.

Orang yang berintegritas adalah orang yang sama ketika sedang sendirian dan ketika berada di tengah khalayak ramai. Tidak ada perbedaan baik dari sifat maupun karakternya ketika ditempatkan di keadaan apapun; termasuk ketika memiliki kekuasaan, tidak tergoda untuk menyalah-gunakan kekuasaan, abuse of power,  yang dimilikinya demi keuntungan diri.

Maka itu, orang yang jujur disebut sebagai “man of integrity”, seseorang yang berintegritas. Bila seseorang memiliki karakter integritas, maka dalam dirinya tidak ada kemunafikan; dia dapat bertanggung jawab secara personal, keuangan, dan tindakan; bahkan motivasinya murni.

***

Kompas, 22 Agustus 2022

Maka itu, kata Kata Doed Joesoef (2014), rektor sebaiknya memusatkan perhatian pada usaha mengembangkan perguruan tinggi (PT) yang dipimpinnya menjadi pusat pendidikan keilmuan par excellence demi kemajuan ilmu pengetahuan (IP) yang sesuai dengan kemajuan peradaban manusia dan demi perkembangan spirit ilmiah yang diperlukan untuk itu. Dengan kata lain  seorang rektor bertugas mewujudkan komunitas ilmiah.

Tetapi, bagaimana mungkin komunitas ilmiah itu terbentuk dan berkembang, kalau yang semestinya bertanggung jawab membentuk dan mengembangkan, tak berintegritas? Yang terjadi adalah jauh panggang dari api.

Maka menjadi terasa aneh, kegiatan yang kehadirannya dimaksudkan untuk meraih dan menjaga kebenaran serta kejujuran ternyata malah dimanipulasi. Bila demikian  pendidikan  sebagai institusi yang semestinya berfungsi melatih kejujuran, menjadi hanya sekadar alat untuk, misalnya, mendapatkan ijazah atau gelar.

Hal itu terjadi lantaran ada kalangan pimpinan perguruan tinggi  yang greedy, rakus. Maka, terjadilah corruption by greed karena mentalitas korup yang tanpa ragu-ragu  mengorbankan moralitas atau korupsi dianggap sebagai tindakan yang biasa saja. Karena toh banyak juga orang lain yang korupsi…..***

Bagaimana menurut Anda artikel ini
+1
0
+1
0
+1
32
+1
6
Kredensial