LOMBA MAKAN KERUPUK

Lomba makan kerupuk (Foto: Kontan)

Lomba makan kerupuk–selain lomba balap karung, lomba panjat pinang,  dan lomba tarik tambang, misalnya—memang identik dengan peringatan perayaan kemerdekaan, 17 Agustus.

Lomba makan kerupuk, sudah populer sejak dulu. Kerupuk identik dengan makanan rakyat. Bahkan, menurut Historia (31 Agustus 2017) cerita, kerupuk sudah disebutkan dalam naskah Jawa kuno sebelum masa abad ke-10 Masehi, dalam prasasti Batu Pura

Dulu, di awal-awal republik, perlombaan-perlombaan itu bertujuan untuk menghibur rakyat setelah masa peperangan berakhir. Kini, selain bertujuan untuk menghibur rakyat, juga untuk mempererat persaudaraan, persatuan, dan kesatuan.

Sebenarnya, lomba-lomba yang diadakan saat memperingati perayaan Hari Kemerdekaan juga merupakan ungkapan syukur. Ungkapan syukur atas kemerdekaan.

Ungkapan syukur, memang, bisa diungkapkan dalam berbagai rupa dan bentuk. Mengucap syukur sudah menjadi bagian dari gaya hidup kita orang beriman. Sebab, bersyukur  adalah kehendak dari Allah. Ucapan syukur adalah tanggapan kita akan anugerah yang sudah Tuhan berikan.

Allah selalu menginginkan kita untuk selalu mengucapkan syukur dalam segala hal, saat sedang berada dalam kesulitan ataupun kesenangan dan bukan hanya saat kita sedang menerima berkat akan tetapi saat kita menemukan kesulitan di dalam hidup. Ibarat kata, “tiada hari tanpa bersyukur”, dan kata Jakob Oetama, “Syukur tiada akhir.”

Di saat kita mengucapkan syukur di dalam semua kondisi seperti sehat, sakit, senang, susah, gagal ataupun sukses, maka ini berarti kita sebagai umat mengakui Tuhan yang memegang sepenuhnya atas kehidupan kita.

Bukankah, sepanjang sejarah bangsa ini, Tuhan mencurahkan kasih sayang yang besar kepada kita semua. Tuhan  menumbuhkan kesadaran kita sebagai bangsa, atas bahasa yang mempersatukan kita, dan atas Pancasila, dasar kemerdekaan kami. Kita bersyukur  Kebangkitan Nasional yang membangkitkan kesadaran kebangsaan kita.

Kita bersyukur atas Sumpah Pemuda yang mempersatukan kita: Satu Tanah Air, Satu Bangsa, dan Satu Bahasa. Kita bersyukur atas  Proklamasi Kemerdekaan yang membebaskan kita dari cengkeraman kekuasaan asing dan menjadi tonggak berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia.

***

Lomba masukin paku ke dalam botol (Foto: Tribun)

Kemerdekaan bangsa Indonesia adalah anugerah. Maka anugerah itu harus disyukuri. Rasa syukur kiranya perlu diwujudkan. Mewujudkan rasa syukur antara lain dengan semakin Menjadi Indonesia.

Menjadi Indonesia berarti semakin menyadari dan menerima realitas negara dan bangsa Indonesia. Menjadi Indonesia berarti semakin menyadari bahwa Indonesia negara yang berdasarkan Pancasila, yang ber-UUD 1945, yang ber-Bhinneka Tunggal Ika. Bangsa yang plural, yang majemuk dalam banyak hal:  agama, suku, etnis, budaya, bahasa, adat-istiadat,  dan segala perbedaan lainnya.

Dan yang terpenting dari Menjadi Indonesia adalah adanya keterbukaan dan kelapangan hati dan pikiran untuk menerima dan merayakan perbedaan. Perbedaan haruslah dirayakan sebagai penguat persatuan dan kesatuan.  Membuka diri dalam menerima perbedaan  menjadi alasan yang paling humanis untuk lebih dapat menghargai perbedaan, baik itu beda dari sisi keagamaan, budaya, maupun cara pandang tentang kerukunan.

Inilah yang harus terus-menerus diusahakan bersama. Memang,  banyak tantangan kehidupan harmonis. Tetapi, perlu dipahami dan dihayati bahwa perbedaan itu tidak harus sama dengan perpisahan. Perbedaan bukan berarti menjadi alasan untuk bermusuhan, untuk saling menafikan, untuk saling menghina, untuk saling membenci. Perbedaan adalah hal yang memperkaya sejarah.

Indonesia adalah rumah besar kita bersama. Kita tidak bertakwa dan berbakti pada Allah tanpa merekatkan tali kasih itu dengan sesama manusia. Dengan kata lain, iman itu semestinya diimplementasikan dalam amal perbuatan nyata.

Toleransi dan kesetiakawanan adalah pelataran  dalam keberbedaan merangkai tali kasih untuk hidup bersama, saling menjaga, saling menghormati, dan memelihara kerukunan, toleransi. Semangat cinta damai dengan mengupayakan keselarasan hidup rukun dengan saudara-saudara yang memiliki keyakinan atau agama yang berbeda, perlu terus diaktualisasi dari waktu ke waktu.

Prinsip ini sebagai cermin kepatuhan dan ketaatan pada falsafah bangsa, yang oleh sejarah telah dijadikan komitmen dan konsistensi warga bangsa yang ikut memelihara kedamaian.

Lomba balap karung (Foto: Antaranews.com)

Kata Yuval Noah Harrari (2018), semua itu adalah  kerja identitas  yang harus menjadi bagian integral dari proses pendidikan. Ada tiga kerja besar dari sebuah bangsa dalam membangun: kerja ekonomi, kerja politik, dan kerja identitas. Kerja ekonomi dan kerja politik memiliki kejelasan area dan indikator, sedangkan kerja identitas tidak terlalu mudah dilihat.

Akibatnya adalah sering terabaikan. Atau bahkan diabaikan. Sebab, kerja identitas berada pada ruang abstrak, seperti budaya, pendidikan, estetis, dan metafisik. Salah satu wahana paling penting untuk memfasilitasi proses kerja identitas sejak dini ialah pendidikan.

Sistem pendidikan–hingga saat ini–dianggap sebagai cara paling efektif dalam membentuk identitas warga negara sesuai dilihat. Sayangnya, dunia pendidikan akhir-akhir ini menghadapi persoalan yang tidak boleh dianggap enteng. Misalnya, kasus SMA Negeri 1 di Banguntapan, Bantul, yang ternyata juga terjadi di banyak wilayah negeri ini, bahkan di Jakarta, ibu kota Republik ini.

***


Pada akhirnya,  Menjadi Indonesia adalah sebuah gerakan moral yang mengajak siapa saja, pelajar,  mahasiswa, pegawai, ulama, umaroh, tentara, polisi, politisi, pengusaha, buruh, lelaki-perempuan, dan siapa saja warga negara Indonesia untuk berbuat nyata untuk Indonesia. Tidak hanya nyata, tetapi bermanfaat bagi bangsa ini, bukan sebaliknya.

Itu penting. Sebab, sekarang ada kecenderungan bersikap dan berperilaku pragmatik serta keterpesonaan terhadap wacana ideologi-ideologi dunia, ideologi asing, budaya negara lain, perilaku bangsa lain, meniru bangsa atau menjadi bangsa lain. Hal seperti itu nyaris menenggelamkan bahkan menghilangkan jati diri kita.

Akibatnya adalah rasa keindonesiaan pun juga terasa memudar. Memudarnya rasa keindonesiaan tersebut bisa menjadi awal kepunahan kita sebagai bangsa. Bangsa yang merdeka.

Orang merdeka adalah orang yang berani melawan ketakutan-ketakutan dalam melihat situasi kekinian. Tidak menyurutkan langkah untuk menyongsong masa depan.

Ibarat kata, sama halnya, tidak takut kalah dalam lomba makan kerupuk atau lomba apa pun. Karena, bukan kemenangan yang dicari, tapi persahabatan, persaudaraan, ucapan syukur sebagai sesama anak bangsa yang mempunyai tugas mulia untuk membela, memertahankan persatuan dan kesatuan bangsa dan negara.

… dengan demikian, kita semakin Menjadi Indonesia.****

Bagaimana menurut Anda artikel ini
+1
0
+1
0
+1
12
+1
6
Kredensial