DIPLOMASI JOKOWI

Presiden Jokowi (Foto:Antara)

Rencana kunjungan Presiden Jokowi ke Ukraina yang sampai saat ini masih dilanda perang dan kunjungan ke Rusia–setelah menghadiri pertemuan G7 di Jerman, 26-28 Juni–tidak hanya menarik tetapi penting. Kunjungan ini mengingatkan kunjungan Presiden Jokowi ke Afganistan, yang juga masih perang pada 29 Januari 2018.

Di Kyiv, ibu kota Ukraina, Presiden Jokowi akan bertemu dengan Presiden Volodymyr Zelenskiy dan di Moskwa akan bertemu dengan Presiden Vladimir Putin. Kedua presiden itu selama beberapa bulan terakhir menjadi sorotan dunia karena perang di Ukraina.

Kita katakan menarik, karena kunjungan dilakukan ketika perang masih berlangsung. Kata Menlu Retno Marsudi, “situasi yang tidak normal.” Jokowi juga merupakan presiden pertama dari Asia yang ke Ukraina di saat perang sekaligus ke Rusia. Para pemimpin negara Eropa pun bahkan hanya mengunjungi Ukraina.

Pertengahan April lalu, empat presiden negara Eropa–Presiden Polandia Andrzej Sebastian Duda, Presiden Lithuania Gitanas Nausėda, Presiden Estonia Alar Karis, dan Presiden Latvia Egils Levits– mengunjungi Ukraina. Sebelumnya, bulan Februari Presiden Perancis Emmanuel Macron, Kanselir Jerman Olaf Scholz, PM Italia  Mario Draghi, dan Presiden  Romania  Klaus Iohannis, mengunjungi Ukraina.

Kunjungan mereka sebagai bentuk dukungan pada Ukraina. Sejak semula mereka–negara-negara Eropa–berpihak pada Ukraina. Karena itu, mereka memberikan bantuan senjata. Sementara kunjungan Jokowi adalah untuk mendorong terciptanya perdamaian. Itulah sebabnya,  Indonesia menolak permintaan Ukraina untuk memberikan bantuan senjata.

Hal itu mempertegas sikap Indonesia yang mendukung dicarinya jalan perdamaian. Karena itu, Presiden Jokowi mengimbau agar perbedaan antarnegara bisa diselesaikan secara damai selaras dengan amanat yang termaktub dalam Pasal 2 ayat 3 Piagam PBB: “Semua Anggota harus menyelesaikan persengketaan internasional dengan jalan damai sedemikian rupa sehingga perdamaian dan keamanan internasional, dan keadilan, tidak terancam.”

Menlu Retno Marsudi (Foto: Kompas.com)

Kunjungan Penting
Kunjungan Presiden Jokowi kita katakan penting, tentu dalam konteks peran Indonesia dalam mengusahakan perdamaian dunia. Pembukaan UUD 1945 menyebutkan salah satu alasan dibentuknya pemerintah RI adalah untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia.

Amanat konstitusi itu diwujudkan dalam berbagai partisipasi dan kontribusi aktif dalam menjaga perdamaian dan keamanan dunia. Kontribusi pada perdamaian dunia  dimulai sejak pada tahun 1957, saat itu Indonesia mengirimkan 559 personel infantri sebagai bagian dari “United Nations Emergency Force” (UNEF) di Sinai. Pengiriman tersebut diikuti dengan kontribusi 1.074 personel infantri (1960) dan 3.457 personel infantri (1962), sebagai bagian dari “United Nations Operation in the Congo” (ONUC) di Republik Kongo. Peran serta Indonesia untuk mewujudkan perdamaian dunia itu dilanjutkan hingga kini.

Maka kata Menlu Retno Marsudi, kunjungan ini merupakan respons atas krisis global yang melanda dunia sejak COVID-19 terjadi dan diperparah dengan terjadinya perang di Ukraina. Ini artinya, Indonesia sangat tanggap terhadap kondisi dan situasi dunia. Dengan demikian membuka potensi bagi Indonesia untuk kembali ke orientasi tradisionalnya yakni mencoba membangun jembatan bagi perdamaian dan menjadi bagian dari solusi.

Sejarah diplomasi damai Indonesia, misalnya, mencatat  peran Indonesia dalam mengupayakan perdamain Kamboja. Yakni lewat “Jakarta Informal Meeting” (JIM) dua kali:  JIM I  di Bogor pada 5-28 Juli 1988 dan JIM II  di Jakarta pada 19-21 Februari 1989.

Melalui JIM I dan II, Indonesia berhasil memfasilitasi kedua negara–Kamboja dan Vietnam–untuk berunding dan menyelesaikan konflik bersenjata mereka. Pada akhirnya, konflik Kamboja-Vietnam berakhir setelah  ditandatangani Perjanjian Paris pada 23 Oktober 1991.

Keberhasilan peran Indonesia ini merupakan implementasi dari kebijakan bebas-aktif yang juga menegaskan bahwa sikap non-interference (tidak campur tangan) bukan berarti non-involvement (tidak turut serta). Kiranya dalam konteks semacam ini pula, kita bisa membaca misi diplomasi damai yang dilakukan Presiden Jokowi.

Secara luas diplomasi dianggap sebagai alternatif perang—dan perang sebagai kegagalan diplomasi. Diplomasi negara pada dasarnya adalah seni dan kemampuan dalam mempersuasi pihak lain. Ini telah dilakukan Presiden Jokowi dengan berbicara dengan para pemimpin penting dunia (dengan Vladimir Putin dan Joe Biden, antara lain) untuk memperlancar dan suksenya KTT  G20 mendatang. Bahkan, Jokowi ketemu Biden, di Washington.

Diplomasi juga dapat didefinisikan sebagai pelaksanaan hubungan internasional melalui negosiasi dan dialog atau dengan cara lain untuk mempromosikan hubungan damai antar-negara. Kata S Brown (2001) secara konvensional diplomasi bisa sama dengan negosiasi untuk menyelesaikan konflik (dalam hal ini konflik bersenjata Rusia-Ukraina).

Inilah yang akan diupayakan Jokowi saat bertemu dengan Zelenskiy dan Putin. Jokowi akan meyakinkan kedua pemimpin itu bahwa dampak perang sangat dirasakan banyak  negara, antara lain krisis pangan dan energi. Kata UNHCR, lembaga pengungsi PBB, sekitar 6,8 juta orang Ukraina terpaksa mengungsi; sementara jumlah korban tewas dan luka, belum ada angka yang pasti, bisa jadi ribuan.

Bahkan, “United Nations Secretary-General’s Global Crisis Response Group” (GCRG) mengungkapkan, diperkirakan 1,6 miliar orang di 94 negara terkena setidaknya satu dimensi krisis karena perang dan sekitar 1,2 miliar dari mereka yang tinggal di negara-negara ‘badai sempurna’  sangat rentan terhadap ketiga dimensi krisis:  pangan, energi dan keuangan. Krisis itu yang harus segera dihentikan.

 

Diplomasi Gandum
Krisis dan ancaman krisis seperti itu yang telah pula menggerakkan hati Jokowi untuk menemui Putin dan Zelenskiy. Ini menunjukkan kepedulian Indonesia terhadap isu kemanusiaan. Karena itu, Indonesia mendorong spirit atau semangat perdamaian, serta mencoba memberikan kontribusi untuk menangani krisis pangan yang dampaknya dirasakan oleh semua negara di dunia.

Perang Ukraina telah mengancam terjadinya kekurangan pangan parah, kelaparan, dan stabilitas politik di negara-negara berkembang. Kata Direktur Jenderal WTO Ngozi Okonjo-Iweala (BBC News), negara-negara Afrika bisa sangat terpukul oleh kekurangan gandum dan pupuk. Jutaan ton biji-bijian disimpan di gudang dan pelabuhan Ukraina tidak dapat diekspor karena perang.

Sebanyak 35 negara di Afrika mengimpor makanan dari kawasan Laut Hitam (Ukraina dan Rusia), sementara 22 negara mengimpor pupuk dari kawasan yang sama. Mesir, misalnya, mengimpor 80 persen kebutuhan gandumnya dari Ukraina dan Rusia.

Akibat krisis pangan itu, harga gandum naik 59 persen, minyak bunga matahari naik 30 persen, dan jagung naik 23 persen dibandingkan tahun lalu, sebelum perang pecah.  Selama ini, secara bersama-sama, Rusia dan Ukraina mengekspor hampir sepertiga gandum dan barley dunia, lebih dari 70 persen minyak  bunga matahari dan pemasok jagung. Rusia juga produsen besar pupuk yang dibutuhkan industri pertanian dunia (Aljazeera, 18 Juni 2022).

Menurut catatan Program Pangan Dunia PBB, delapan bulan sebelum perang, Ukraina mengekspor 51 juta metrik ton biji-bijian lewat tujuh pelabuhan di wilayah Laut Hitam (Ukraina Selatan). Tetapi, sejak invasi Rusia, sebagian besar cadangan biji-bijian ekspor Ukraina tertahan  karena kerusakan infrastruktur kereta api, pelabuhan tertutup, dan blokade Rusia di Laut Hitam.

Masalah ancaman kelangkaan pangan dunia itulah yang telah mendorong Jokowi untuk pergi ke Ukraina dan Rusia. Jika perang tidak segera berakhir,  situasi dunia akan sangat mengerikan karena kurangnya bahan pangan, tidak hanya negara-negara Afrika saja tetapi banyak negara lain.

Kata Okonjo-Iweala, bila perang terus berlanjut, maka ini benar-benar akan menjadi situasi yang mengerikan di seluruh dunia. Karena itu, kita berharap pertemuan antara Jokowi dan Zelenskiy serta Jokowi dan Putin, akan memberikan buah seperti yang kita harapkan. Meskipun, itu tidak mudah.

Pada akhirnya, apapun hasil dari diplomasi Jokowi ke Ukraina dan Rusia, kita sebagai anak bangsa bangga bahwa bangsa kita sangat peduli pada penderitaan bangsa lain karena perang. Ini akan memperkuat pengakuan dunia pada  reputasi Indonesia sebagai negara cinta damai dan pendorong perdamaian dunia serta  berpihak pada kemanusiaan. Dunia juga mengakui reputasi Jokowi, sebagai “pemimpin yang paling efektif yang dipilih secara demokratis di dunia sekarang”, seperti dikatakan oleh Kishore Mahbabuni, Peneliti di Asia Research Institute, National University of Singapore.

Semoga pertemuan Presiden Jokowi dengan Presiden Zelenskiy dan Presiden Putin, membuka jalan bagi terciptanya perdamaian, menjadi langkah pertama menuju perdamaian antara kedua negara.***

**Artikel ini sudah dimuat Kompas.com pada tanggal 24 Juni 2022

Bagaimana menurut Anda artikel ini
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
Artikel Internasional