KISS OF JUDAS

Kiss of Judas karya Giotto di Bondone

Kemarin malam, Judas Iskariot pergi ke Taman Gethsemane di Bukit Zaitun. Ia turun dari Jerusalem, melintasi Lembah Kidron yang juga disebut Lembah Jehoshaphat, sebelah timur-laut Jerusalem. Dari Lembah Kidron, ia naik menuju Bukit Zaitun, di mana Taman Gethsemane berada.

Tujuannya jelas: menemui Sang Guru. Ia tahu di mana Sang Guru berada. Ia tahu kebiasaan Sang Guru: di mana makan, di mana tidur, di mana mengajar, di mana berdoa. Ia tahu semuanya, karena ia satu dari 12 murid-Nya. Apalagi, beberapa saat sebelumnya, ia makan malam bersama Sang Guru.

Leonardo da Vinci, pelukis agung zaman Renaisans yang membayangkan suasana makan malam saat itu, menuangkannya dalam lukisan yang diberi judul “The Last Supper.” Sangat menarik, dalam lukisan itu, Leonardo da Vinci menempatkan Judas Iskariot duduk di sebelah kiri Sang Guru.

Tangan kanan Judas Iskariot memegang kantong uang perak kecil. Di depannya juga terdapat wadah garam yang tumpah. Mengapa Da Vinci menempatkan Judas duduk di sebelah kiri Sang Guru? Mengapa garam tumpah?

Sementara di ujung kanan meja, duduk Simon Petrus. Di sebelahnya, Judas Thaddeus (Tadeus). Menurut Da Vinci, saat itu, Sang Guru sedang menjelaskan bahwa satu dari 12 muridnya akan mengkhianatinya. Ketika itu, menurut Mateus, Judas mengatakan, “Bukan aku, ya Guru?” Apa kata Sang Guru? “Engkau telah mengatakannya.”

***

Foto: Istimewa

Malam itu, Judas Iskariot tidak datang sendirian saat menemui Sang Guru. Ia bersama sejumlah imam kepala yang juga dikenal sebagai Sanhedrin dan serdadu lengkap bersenjata. Mereka adalah kenalan baru Judas, yang selama tiga tahun berseberangan. Tapi, entah karena apa, Judas, bendahara kelompok pengikut Sang Guru, bersekutu dengan mereka.

“Apa yang hendak kamu berikan kepadaku, supaya aku menyerahkan Dia, Sang Guru, kepada kamu?” Kata Judas suatu ketika kepada para Imam Kepala. Mereka memberikan 30 kepeng uang perak pada Judas Iskariot. Dan, sebagai gantinya Judas Iskariot menyerahkan Sang Guru pada mereka.

Sebelum berangkat ke Taman Gethsemane, Judas berpesan kepada teman-teman barunya: “Orang yang kucium adalah orang itu; tangkaplah dia”. Dan, begitu mendekati Sang Guru, Judas lalu menciumnya, sebagai ungkapan salam.

Tidak ada yang curiga melihat tindakan Judas, kecuali Sang Guru, yang sudah tahu bahwa muridnya itu mengkhianatinya. Sebab, dalam budaya Israel pada saat itu, ciuman merupakan sapaan umum. Ungkapan sederhana rasa hormat dan kasih persaudaraan; juga ungkapan seorang murid pada gurunya.

Tetapi, ciuman Judas malam itu, bermakna lain. Ciuman itu untuk menunjukkan pada para imam kepala dan serdadu bahwa orang itulah Sang Guru. Maka, ciuman Judas, bukan ciuman biasa. Ciuman itu bukan sepenuhnya tindakan menyapa dan menghormati seorang murid kepada gurunya. Melainkan, sebuah drama.

Di satu sisi, ciuman itu menunjukkan rasa hormat, penghormatan dan sapaan pada Sang Guru. Sebab, bukankah, Judas telah tiga tahun mengikuti Sang Guru. Ia tahu bagaimana Sang Guru menebarkan cinta-kasih, melakukan pelayanan, mengajar, menyembuhkan orang sakit, menghidupkan orang mati, memberi makan ribuan orang, dan menyapa siapa saja dengan penuh cinta, dan juga mensaudarakan lawan.

Akan tetapi, pada sisi lain, ciuman itu merupakan tanda yang telah diatur sebelumnya. Tanda untuk menunjukkan bahwa orang inilah, Sang Guru, yang dicari-cari para pejabat, pemimpin agama, dan aparat keamanan. Dengan mencium, Judas menyerahkan Sang Guru kepada mereka yang membencinya. Inilah ciuman kemunafikan sekaligus pengkhianatan.

***

Maka sejak itu, Judas menjadi lambang pengkhianatan. Bahkan, Dante Alighieri (1265 – 1321) penyair dan filsuf kondang abad pertengahan dari Italia dalam salah satu karyanya, Inferno, bagian pertama dari puisi naratifnya, The Divine Comedia, menulis, Judas, bersama Cassius dan Brutus, berada di pusat Neraka. Di sana, Setan berkepala tiga berada dan melahap mereka selamanya. Cassius dan Brutus adalah tokoh utama konspirasi pengkhianatan terhadap Caesar. Bahkan, dengan dalih atas nama negara dan bangsa, mereka membunuh Caesar.

Judas, Cassius, dan Brutus adalah tiga serangkai pengkhianat. Pengkhianatan mereka tidak dapat dibantah. Brutus dan Cassius secara langsung berpartisipasi dalam pembunuhan Caesar. Judas menyerahkan Sang Guru kepada pihak berwenang yang membencinya. Mereka semua mengkhianati para pemimpin pada zaman mereka, yang satu sekuler, yang lain spiritual. Brutus dan Yudas sama-sama mengkhianati seorang teman dekat…Judas mengkhianati Guru-nya yang pernah berbagi roti dengannya..

Kata Hunter Myers (2022), kisah pengkhianatan setua waktu manusia sendiri. Dalam Kitab Kejadian, Kain membunuh saudaranya sendiri, Habel. Ini merupakan pembunuhan pertama dan pengkhianatan pertama dalam tradisi Abraham. Ketika orang Sparta menahan orang Persia di “gerbang panas” Thermopylae, mereka kehilangan nyawa karena pengkhianatan Ephialtes.

Caesar ditikam sampai mati di dekat Teater Pompey oleh sekelompok senator, yang dipimpin oleh Brutus dan Cassius yang terpercaya. Sekitar tujuh puluh tahun kemudian, Judas mengkhianati Sang Guru, yang menyebabkan penyalibannya.

Di hampir setiap masyarakat yang pernah menghuni Bumi, pengkhianatan adalah salah satu pelanggaran terburuk yang mungkin terjadi, dan yang tidak akan ditoleransi oleh siapa pun. Tetapi, toh, pengkhianatan demi pengkhianatan terus terjadi dengan berbagai macam dalih dan alasan yang diupayakan pembenarannya.

***

Christianity.com

Karena Judas adalah pengkhianat. Maka ciumannya pun adalah ciuman pengkhianat. Begitulah yang terjadi….antara kesetiaan dan pengkhianatan, tipis jaraknya….hanya dengan 30 kepeng uang perak, Judas mengkhianati Sang Guru.. sebanyak itulah harga Judas Iskariot.

Tapi, mengapa Judas mengkhianati Sang Guru? Mohon maaf, saya tidak bisa menjawab pertanyaan itu… Saya hanya bisa mengutip yang ditulis pemazmur: “Bahkan sahabat karibku yang kupercayai, yang makan rotiku, telah mengkat tumitnya terhadap aku.”

foto-foto lain, Jumat Agung di Basilika St. Petrus

Bagaimana menurut Anda artikel ini
+1
0
+1
0
+1
21
+1
23
Kredensial