IN PARADISUM

Doa oleh para patriark dan Metropolis Gereja Timur, di Lapangan St. Petrus di akhir Misa Pemakaman, Sabtu (26/4). (Foto: Trias Kuncahyono)

In paradisum deducant te angeli:
in tuo adventu suscipiant te martyres,
et perducant te in civitatem sanctam Jerusalem.
Chorus angelorum te suscipiat,_
et cum Lazaro quondam paupere,_
aeternam habeas requiem._

Lagu itu yang dinyanyikan paduan suara Kapel Sistina,The Sistine Chapel Choir, saat peti jenazah Paus Fransiskus diangkat; dan pelan-pelan dibawa masuk Basilika St. Petrus, Vatikan. Kemudian dibawa ke Basilika St. Maria Maggiore–sesuai testamen spiritualnya– sekitar 30 menit waktu tempuhnya dari Basilika St. Petrus.

Lantunan lagu In Paradisum membuat suasana di Lapangan St. Petrus yang siang itu di bawah langit biru bersih, panas matahari Roma, terasa demikian khidmat, haru mendalam. Ada rasa duka yang menguasai Lapangan St. Petrus, juga Via della Conciliazione, yang siang itu disesaki lebih dari 250.000 orang. Ada rasa kehilangan begitu tebal karena perginya untuk selamanya pribadi agung. Maka meski begitu banyak orang, namun tenang dan hening.

Tiba-tiba, ketika peti jenazah dibawa meninggalkan piazza, tepuk tangan membahana, mengiringinya. Dan, saat itulah koor menyanyikan lagu karya Gabriel Fauré (1845–1924) yang mengungkapkan keinginan kita agar para malaekat membimbing jiwa paus menuju surga:

“Semoga para malaikat menuntunmu ke surga; semoga para martir datang dan menyambutmu serta membawamu ke kota suci, Yerusalem yang baru dan abadi. Semoga paduan suara malaikat menyambutmu dan bersama Lazarus, yang tidak lagi miskin, semoga engkau memperoleh istirahat kekal.”

***

Peti jenazah Paus Fransiskus di Altar of Confession, Basilika St Petrus, Vatikan (Foto: Trias Kuncahyono)

Hingga beberapa saat sebelum pukul 10.00, jenazah Paus Fransiskus masih disemayamkan di Basilika St. Petrus. Di  Altar of the Confessio, sebuah tempat suci di depan makam utama Santo Petrus, yang diyakini umat Katolik sebagai paus pertama, peti jenazah Paus Fransiskus diletakkan, yang sampai malam sebelumnya wajahnya yang teduh masih bisa dilihat oleh ribuan orang dalam pelukan harum dupa.

Altar itu persis di depan altar utama karya seniman kondang abad ke-17, Gian Lorenzo Bernini (1598 – 1680), di Basilika St. Petrus, Vatikan.

Peti jenazah yang bagian dalamnya ditutupi kain beludru merah itu tidak sebanding dengan baldacchino atau kanopi perunggu bertiang empat yang menaungi altar utama. Baldacchino itu gemerlap indah; sementara peti mati itu benar-benar menggambarkan sosok pribadi agung yang terbaring dalam damai meski tanpa napas kehidupan: sederhana.

Padahal secara tradisi dari zaman ke zaman, paus dimakamkan dalam satu set peti terdiri atas tiga peti: yang terbuat dari kayu cemara (melambangkan kerendahan hati dan kefanaan), peti mati dari timah untuk mengawetkan jenazah dan mencegah kerusakan, dan peti mati dari kayu ek luar yang mencerminkan martabat dan kekuatan.

Tidak, demikian. Paus Fransiskus membongkar tradisi: peti matinya tidak berlapis-lapis seperti itu. Ia tidur dalam keabadian dalam peti mati kayu dilapisi seng saja. Kesederhanaan, adalah salah satu warisan Paus Agung yang rendah hati ini.

Tiga tahun lalu (2022), umat masih bisa menyaksikan bagaimana Paus Benediktus XVI, dimakamkan. Benediktus turun takhta pada tahun 2013, paus pertama yang melakukannya dalam 600 tahun, tetapi ia tetap diberi pemakaman kepausan pada tahun 2022. Tubuhnya yang dibalsem, dikenakan jubah duka kepausan merah, dibaringkan di atas peti jenazah yang ditutupi kain emas dan diangkat di atas alas di depan altar di Basilika Santo Petrus, tempat orang-orang dapat memberikan penghormatan.

Namun, Paus Fransiskus menghindari ritual ini ketika ia menyetujui aturan yang disederhanakan pada bulan April 2024. Dengan aturan baru umat beriman masih dapat melihat jenazahnya di basilika. Tetapi jenazahnya ditempatkan dalam peti jenazah sederhana yang terbuat dari kayu dan dilapisi seng, dan tidak akan diangkat ke atas panggung. Peti jenazah akan tetap terbuka hingga malam sebelum pemakaman.

Paus Fransiskus menjelaskan, mengapa tidak ingin tubuhnya dipamerkan. Sebab, ia tidak ingin diidolakan. Dengan itu, Paus Fransiskus mengirimkan isyarat bahwa bukan kekuasaan, bukan kemewahan dan kemahsyuran, kemegahan, tetapi kesederhanaan otentik, bukan kesederhanaan sandiwara atau polesan yang diperlukam dunia ini.

***

Sebagian umat beriman yang mengikuti Misa Pemakaman di Lapangan St. Petrus (Foto: Trias Kuncahyono)

Karena kesederhanaannya itu, kata Dean of the College Cardinals, Kardinal Giovanni Battista Re (91) dalam khotbahnya saat Misa Pemakaman, Paus Fransiskus (1936 – 2025) dikenang sebagai “pope of the people.” Ia seorang romo yang tahu bagaimana berkomunikasi dengan “yang paling kecil di antara kita.”

“Dia adalah seorang paus yang berada tengah-tengah orang-orang biasa, hatinya terbuka bagi setiap orang,” kata Re dalam khotbah panjangnya yang beberapa kali mendapat tepuk tangan saat menceritakan perjalanan kepausan Paus Fransiskus yang sangat peduli pada orang-orang kecil dan miskin, membuka hatinya pada siapa saja, peduli pada kaum migran, peduli pada lingkungan, dan memperjuangkan perdamaian.

Kata Kardinal Re, dengan mengibaratkan Gereja seperti “rumah sakit lapangan” (field hospital), Paus Fransiskus mencirikan Gereja yang secara aktif menangani luka-luka dunia. Maka, Gereja membuka tangannya lebar-lebar kepada siapa saja, yang membutuhkannya, terutama yang terluka. Karena itu, betapa kepausannya “menyentuh pikiran dan hati” banyak orang, tidak hanya di dalam Gereja.

Dengan menerbitkan Ensiklik “Fratelli Tutti” (Semua Saudara), dan menandatangani Deklarasi Abu Dhabi (2019) serta Deklarasi Istiqlal (2024), Paus Fransiskus menegaskan arti pentingnya persaudaraan; sebab persaudaraan akan membuahkan perdamaian. Karena bagi paus, “perang adalah kekalahan kemanusian.”

Itulah sebabnya, Paus Fransiskus, kata Kardinal Re selain mendoakan  tanpa henti, juga menyerukan dan mendorong dihentikannya perang serta diciptakannya perdamaian: Timur Tengah, Ukraina, Yaman, konflik di negara-negara Afrika, Asia Tengah, juga Myanmar. Mendengar pernyataan Kardinal Re itu, ribuan orang yang melepas “kepulangan paus  ke rumah Bapa”, bertepuk tangan. Memang, ia adalah “Pope of Peace”, Paus Perdamaian, selain Pope of Mercy, Paus Belas Kasih.

Lalu Kardinal Re mengatakan bahwa “Meskipun menjelang akhir hidupnya, tubuhnya lemah dan menderita, Paus Fransiskus memilih untuk mengikuti jalan pengorbanan diri ini sampai hari terakhir hidupnya di dunia,” di mana ia “mengikuti jejak Tuhannya, Gembala yang Baik.”

***

Para kardinal dan uskup di Basilika St. Petrus (Foto: Trias Kuncahyono)

Memang, masa kepausannya bukannya tidak diwarnai kontroversi. Tapi Paus Fransiskus secara konsisten menyerukan belas kasih dan pengertian, menekankan pentingnya cinta dan rasa hormat bagi semua orang.

Bahkan saat pindah ke Roma, Paus Fransiskus tetap menjadi seorang romo Amerika Latin yang sangat rendah hati dan sederhana. Ia memilih tinggal di apartemen, alih-alih di istana kepausan yang sudah tersedia, yang di masa sebelumnya menjadi istana para paus.

Kesederhaan itu bagai magnet yang menarik puluhan, ratusan ribu umat beriman, orang yang berkehendak baik. Mereka rela antre untuk masuk Basilika St. Petrus memberikan penghormatan terakhir, mendoakan, dan mengucapkan selamat jalan padanya. Pada hari-hari awal banyak orang yang harus antre lebih dari lima jam, sampai akhirnya berdiri hormat di depan peti mati yang diletakkan di Altar of the Confessio. Mereka semua rela melakoninya. Sambil antre masuk basilika, mereka berdoa. Bahkan ada yang berdoa sambil berlutut di tengah antrean.

Di depan peti mati itu, semua orang—-tanpa ada pembedaan: presiden raja, ratu, perdana menteri, kardinal, patriark, uskup, romo, suster, ulama, umat, rakyat biasa, dan mereka yang berbeda spektrum politik, pandangan hidup, dan siapa saja –menundukkan kepala dan hatinya untuk memberikan penghormatan terakhir pada pemimpin agung yang terbaring damai dalam peti sederhana kontras dengan baldacchino gemerlap indah itu.

Kesederhanaan dan kerendahan hati itulah yang ditinggalkan …

Kata Presiden ke-46 AS Joe Biden, Paus Fransiskus memperjuangkan kesetaraan dan berjuang mengakhiri kemiskinan serta penderitaan di seluruh dunia. Dan yang terpenting, ia adalah Paus bagi semua orang. Ia adalah Paus Rakyat—cahaya iman, harapan, dan cinta.”

Maka, ketika lagu In Paradisum dilantunkan semua orang yang hadir di Lapangan St. Petrus, di sepanjang jalan dari Basilika St. Petrus ke Basilika St. Maria Maggiore, dan semua yang mengikuti siaran langsung televisi dalam hatinya pun ikut berdoa sambil bernyanyi:

…In paradisum deducant te angeli: in tuo adventu suscipiant te martyres, et perducant te in civitatem sanctam Jerusalem...

Semoga para malaikat menuntunmu ke surga; semoga para martir datang dan menyambutmu serta membawamu ke kota suci, Yerusalem yang baru dan abadi..

Foto-foto lain:

Bagaimana menurut Anda artikel ini
+1
0
+1
0
+1
32
+1
115
Kredensial