
Undangan Dubes Australia Chiara Porro untuk menghadiri Oceania speaks, Ecological voices from Australia and the Pacific region, di Serra Moresca, telah membawa saya ke rumah Benito Mussolini. Rumah itu, tak jauh dari Serra Moresca karena sama-sama di kompleks Villa Torlonia, Roma.
Villa Torlonia, termasuk Serra Moresca, menurut catatan-catatan, awalnya milik keluarga Pamphili, lalu berpindah tangan ke keluarga Colonna. Pada awal abad kesembilan belas dibeli oleh keluarga bangsawan Torlonia.
Pangeran Giovanni II Torlonia, pada tahun 1925 menyewakan vila tersebut kepada Benito Mussolini (1885 – 1945) dengan sewa simbolis yakni 1 lira per tahun. Saat itu, Mussolini sudah menjadi penguasa Italia.
Wajarlah, sebagai penguasa ia bisa mendapatkan apa pun yang diinginkan. Secara gratis. Apalagi hanya sebuah rumah tinggal untuk keluarganya. Sekalipun, untuk memberikan kesan tidak semata-mata melakukan abuse of power, dibuatlah kontrak sewanya. Walau hanya satu (1) lira per tahun.
Di Villa Torlonia itu, Mussolini tinggal bersama keluarganya: Rachele Guidi (istri), dan anak-anaknya, Edda, Vittorio, Buno, Romano dan Anna Maria. Mereka tinggal di villa itu hingga 25 Juli 1943. Sedangkan kekasihnya, Claretta Petacci (1912 – 1945), ditempatkan di Villino Rosso.
***

Mussolini adalah nama besar. Ini terlepas bahwa dia–Benito Amilcare Andrea Mussolini–seorang diktator. Diktator fasis pertama abad 20 yang pada PD II berkongsi dengan Adolf Hitler.
Tak ada yang pernah menduga bahwa anak pandai besi, Allesandro dan guru sekolah dasar, Rosa Maltoni, suatu ketika menguasai panggung (bahkan depan panggung dan belakang panggung) politik Italia. Ia tercatat dalam sejarah Italia sebagai Perdana Menteri Italia (1922 – 1943).
Kata Lutz Klinkhammer (2024), Mussolini lahir di kota kecil, Predappio, 324 km utara Roma. Predappio masuk wilayah Emilia Romagna Italia tengah bagian utara, Propinsi Forli. Ia lahir pada 29 Juli 1883.
Ayahnya seorang ateis. Ibunya, penganut Katolik yang taat, sangat saleh dan berasal dari lingkungan keluarga yang rendah hati. Selain bekerja sebagai pandai besi, Alessandro juga sebagai wartawan, dan buka kafe, warung minuman, patungan dengan ibunya Rachele yang di kemudian hari menjadi istri Mussolini.
Darah politik Mussolini mengalir dari ayahnya. Walaupun Allesandro seorang pandai besi, tetapi melek politik, memiliki kesadaran politik tinggi. Ia seorang sosialis yang gandrung dengan sosialisme. Maka dari ayahnyalah, Mussolini belajar politik, meski di kemudian hari meninggalkan paham politik ayahnya; dan memilih fasisme.
Fred Frommer (2023) menulis pada tahun 1919, Mussolini–yang juga seorang wartawan bahkan pemimpin surat kabar– membentuk Fasci Italiani di Combattimento, (Pasukan Tempur Italia), cikal bakal Partai Fasis yang didirikan tahun 1921. FIC terlibat dalam banyak kekerasan terhadap kaum Sosialis dan musuh lainnya.
Nama partai itu mengacu pada kata fascio (Latin) yang berarti bendel—ikatan batang yang digunakan di Roma kuno yang melambangkan kekuatan karena bersatu dalam satu bendel dan juga digunakan alat untuk memukuli seorang terhukum.
Dengan memilih nama itu, maka Partai Fasis menekankan persatuan nasional. Walaupun menggunakan kekuatan, tangan besi, dan kekerasan untuk mengelola perbedaan pendapat. Yang tidak sependapat minggir atau dipinggirkan.
Benito Mussolini, misalnya, pada suatu ketika mengatakan dalam suatu pidatonya: “O con noi o contro di noi”—Anda bersama kami atau melawan kami.” Puluhan tahun kemudian (2001) Presiden AS, George W. Bush mengatakan, “… Either you are with us, or you are with the terrorists.”
Saat menggalang kekuatan di Napoli, dalam pidatonya, 24 Oktober 1922, Mussolini mengatakan, “Program kita sederhana. Kami ingin memerintah Italia.” Lalu, ia berteriak kepada para pendukungnya, pemerintah harus mundur, kalau tidak mereka harus bergerak ke Roma. Hal itu, terjadi. Mereka masuk Roma berpakaian serba hitam.
Dengan partai dan pasukan khususnya, yang berseragam hitam, Camicie Nere, Mussolini menyingkirkan lawan-lawan politiknya. Siapa pun berdiri di seberang, disingkirkan, dihabisi. Kata orang Italia, “ha semper ragione!” (“Bos selalu benar!”). Mau ngomong apa saja, berbuat apa saja, bahkan tidak melalukan apa pun, itu benar. Melakukan kesalahan pun dianggap benar. Pendek kata, “Boss can do no wrong”, atau “The boss is always right.”
Itulah bos. Itulah “Il Duce.” Ia memang menyebut dirinya, “Il Duce”, Sang Pemimpin; Boss. Tapi, ia juga menyebut dirinya, “man of the people,” rakyat biasa.
Maka, menyingkirkan orang-orang yang tidak disenangi, menyingkirkan musuh-musuh politiknya, itu biasa dan juga dibenarkan. Dan, begitu politik kekuasaan yang dipraktikan.
Partai Fasis menjadi kendaraan yang membawa Mussolini ke kursi kekuasaan tertinggi. Adalah Raja Italia, Victor Emmanuel III yang memberikan jabatan itu, karena kesengsem, jatuh hati pada Mussolini, yang bertindak tegas dan keras menyingkirkan para pesaingnya. Maka untuk mengatasi krisis sosial, politik, dan ekonomi yang melanda Italia setelah PD I, ia memilih Mussolini.
The National WWII Museum (28 April 2020) menceritakan di tengah kekacauan pasca-Perang Dunia I, Mussolini memulihkan ketertiban, mengakhiri pertikaian partisan, dan membangun Italia menjadi kekuatan militer yang disegani.
Kata Peter J Williamson (2023), Mussolini sering digambarkan sebagai pemimpin yang karismatik, namun kekuasaannya terutama dicapai melalui paksaan, kekerasan, dan ‘sistem rampasan’. Meskipun demikian, kultus kepribadiannya memiliki daya tarik populer yang signifikan, meskipun didasarkan pada mitos politik.
Hal ini memungkinkan dia untuk mengkonsolidasikan posisinya dan mendominasi rekan-rekan Fasisnya—tetapi dengan konsekuensi pengambilan keputusan yang terlalu terpusat dan tidak berfungsi.
***

Mussolini tahu persis tujuan utama kekuasaan. Ada tertulis, tujuan dari kekuasaan adalah untuk mengendalikan musuh sepenuhnya, untuk membuat mereka menuruti keinginan pemegang kekuasaan. Pemegang kekuasaan tidak bisa bertindak setengah-setengah, setengah jalan. Jika mereka tidak punya pilihan, mereka akan terpaksa menuruti perintahnya.
Maka, setelah berkuasa, mengendalikan aparatur negara, kata Giovanni Tiso (2013), ia tidak perlu membakar kantor serikat buruh atau kantor surat kabar untuk membungkam orang-orang di dalamnya; orang-orang atau pihak-pihak yang tidak sejalan dan menentangnya. Meskipun, Mussolini pernah memimpin koran. Artinya, tahu persis tugas suci surat kabar: menegakkan dan membela kebenaran dan keadilan, menyuarakan suara mereka yang tidak dapat bersuara, peduli pada yang papa dan terpinggirkan.
Ia bisa meminta polisi dan para penguasa lokal untuk menutup kantor serikat buruh atau media yang menentangnya, yang mengritiknya. Setelah usaha pembunuhan terhadapnya (1926) Mussolini bertindak lebih keras dan brutal. Ia membubarkan semua partai politik, membatalkan semua paspor, menutup semua publikasi anti-fasis, membentuk polisi rahasia yang dikenal sebagai OVRA.
Semua yang melawan dirinya: ditangkap, dipenjara, dan dihukum mati. Pada saat inilah Antonio Gramsci (1891–1937) ditangkap. Dalam persidangannya, atas tuduhan penghasutan dan kejahatan lainnya, jaksa yang mewakili pemerintah menuntut agar ‘otaknya dibungkam selama dua puluh tahun’.
Hakim memvonisnya dua puluh tahun empat bulan penjara. Mereka melakukan segalanya kecuali membunuhnya: Gramsci meninggal karena pendarahan otak pada tahun 1937, dalam usia 46 tahun, enam hari setelah dibebaskan karena kondisi kesehatannya yang semakin memburuk.
Kata Maria-Anita Ronchini (2024), Mussolini juga membongkar sistem liberal dan parlementer. Lewat “leggi fascistissime” (undang-undang “super fasis”), antara 1925 – 1926, dikeluarkan serangkaian dekrit yang mengubah Kerajaan Italia menjadi negara diktatorial. Perlahan-lahan, rezim fasis mengawasi setiap aspek kehidupan masyarakat, mulai dari pendidikan hingga waktu luang mereka.
Dengan motto “Crede, Obbedire, Combattere” (Percaya, Patuh, Berjuang), Mussolini menjalankan roda pemerintahan diktatorial fasis-nya. Maka yang tidak percaya, tidak patuh, dan tidak mau berjuang, pasti disingkirkan. Istilahnya, semua harus tegak lurus.
Tapi, sebagaimana hukum alam: ada awal dan ada akhir. Ada saatnya, matahari terbit pada pagi hari, di siang hari secara bebas melepaskan sinarnya membakar bumi, dan tenggelam pada sore hari. Kekuasaan bukan laksana sumur tanpa dasar dengan mata-air yang tak pernah kering. Kekuasaan bukan bagaikan laut tak bertepi. Bukan! Kekuasaan ada batasnya.
Kegagalan invasi militer ke Perancis, Afrika Utara, dan Yunani, menggerus popularitas rezim Fasis Mussolini. Rakyat semakin tidak menyukai Mussolini, karena dituding sebagai biang penderitaan rakyat. Rakyat menderita. Banyak tentara yang tewas.
Setelah invasi Sisilia dan pengeboman pertama sekutu di Roma, Raja Victor Emmanuel III yang semula penyokong kuat Mussolini, dan para pemimpin fasis lainnya tahu bahwa sudah waktunya untuk menyingkirkan Mussolini. Ia sudah melihat batas akhir bagi Mussolini.
Titik akhir kekuasaan itu pun, akhirnya datang. Kekuasaan Konstitusional Raja Victor Emmanuel III dipulihkan oleh “Grand Council of Fascism” (25 Juli 1943). Mussolini, yang selama 21 tahun menjadi orang paling berkuasa di Italia, dilucuti kekuasaannya. Ia bagaikan lelaki yang telanjang bulat setelah seluruh pakaian yang menempel di badannya dilucuti. Lalu dalam ketelanjangan, orang yang pernah paling berkuasa di Italia itu, ditahan. Ditahan! Ia menjadi pesakitan.
Sesuatu yang sebelumnya seperti tidak mungkin terjadi, terjadi juga. Kekuasaan, direnggut darinya. Ia kembali menjadi anak pandai besi, sebagaimana asalnya. Bahkan, lebih buruk. Ia dipenjara. Setelah dibebaskan tentara Jerman, ia dibunuh ketika hendak keluar Italia. Dan, digantung.
Begitulah dunia kekuasaan. Kata Robert Greene (2002), dunia kekuasaan memiliki dinamika seperti hutan: Ada yang hidup dengan berburu dan membunuh, dan ada juga sejumlah besar makhluk (hyena, burung nasar) yang hidup dari berburu makhluk lain. Suatu ketika, Mussolini menjadi pemburu; dan pada ketika lain menjadi buruan tak berdaya.
Tapi, siapa yang pernah mengira bahwa seorang anak pandai besi menjadi orang paling berkuasa di Italia? Tidak ada! Tetapi, itu terjadi.
Dan, ketika berkuasa, Mussolini bermimpi untuk menghidupkan kembali Emperium Romanum, Kekaisaran Romawi. Ia ingin menjadi kaisar, raja diraja.Tapi tak terwujud. Bahkan, hancur seperti reruntuhan Forum Romanum.
Nafsunya untuk menjadi Julius Caesar di zaman moderen pun–meskipun menyebut dirinya “Il Duce”–tak kesampaian. Akhir hidupnya saja yang mirip-mirip Caesar: dibunuh!
Begitulah cerita tentang diktator totalitarian pertama Eropa. Dari bukan siapa-siapa, menjadi penentu nasib siapa-siapa saja, dan berakhir sebagai tidak ada apa-apanya.***
Foto-foto lain:
Sebagaimana biasanya tulisan Mas Trias kali ini menuturkan perjalanan ‘Il Duce’ dengan lancar, mengalir dan mengakhrinya dengan frasa ‘dari bukan siapa-siapa, menjadi penentu nasib siapa-siapa, dan berakhir dengan tidak ada apa-apanya’ . Terus berkarya Mas Trias, dan menjadi mata kita akan gambaran masa lalu di negeri yang melahirkan banyak tokoh dunia.
Suksma, Bli….nuwun telah meluangkan waktu untuk membaca dongen kecil ini..salam
Josh. Matur tambah pengetahuan meskipun sudah lama dengar nama Mussolini.
Di sini juga ada anak tukang kayu jadi pemimpin, penguasa…. belum berakhir…
Kisah perjalanan hidup seorang fasis sejati, yang berayun dari satu ekstrem ke ekstrem yang lain. Dituliskan dalam perspektif yang luas, membuka cakrawala, merangsang imajinasi. Bukan hanya soal sejarah, namun juga soal psikologis, filsafat, moral, keadilan…
Yang selalu muncul dalam benak pikiranku, setelah tidak berkuasa kemudian mati entah dengan cara apapun, diktator, fasis ataupun penguasa lalim lainnya, bagaimana pertanggung jawabannya di akherat ?
Sayangnya belum ada kasus yang diceriterakan, penguasa lalim bangkit dari kubur dan kemudian mengajarkan kebajikan kepada manusia yang sedang mabuk kekuasaan.
Penguasa negri yang didukung kepuasan publik 80 % pun, pada masa akhir jabatannya akan menyisakan
sekelumit cerita minor karena mabuk kekuasaan.
The power tends to corrupt totally.
Hahahahahah…..Berkah Dalem
Koq rasa2 nya aku familiar dgn cerita Il Duce..bung Trias..gejala2 nya..apa di negara konoha po ya. Deya vu ya? Tajam simbolis insinuatif Bung…bravo sgt berkualitas👍👍👍
Perang Dunia I dan II membawa dampak yang kompleks bagi para penguasa di Eropa. Beberapa imperium besar runtuh. Sebut saja, Kekaisaran Jerman, Austro-Hungaria, Sultanat Ottoman, pun Tsar di Russia.
Di satu sisi, perang membuka jalan bagi kemunculan demokrasi di banyak negara bekas jajahan. Di sisi lain, perang ini juga memicu munculnya rezim otoriter seperti Mussolini dan Hitler misalnya dan menjadi tantangan bagi demokrasi.
Paska Perang Dunia II, demokrasi mengalami kemajuan pesat di Eropa Barat, namun di Eropa Timur demokrasi tertahan di bawah rezim komunis hingga runtuhnya Uni Soviet pada tahun 1991. Gelombang demokratisasi di era 1990-an menandai kemenangan demokrasi di seluruh Eropa. Walaupun dmk, masih ada bbrp tantangan yang dihadapi: kebangkitan populisme, nasionalisme vs banyaknya imigrant, perang Ukraina, kmd juga euro-skeptisisme,. Namun secara keseluruhan, demokrasi telah menjadi nilai yg fundamental di Eropa dan terus menjadi landasan bagi stabilitas, kemakmuran, dan keadilan sosial di benua biru tersebut.
Bgmn dengan negara kita, apakah demokrasi juga berkembang semakin adil dan tepat sasaran, baik secara prosedural dan substantif ??!! Mari kita gaungkan, dan kawal bersama.
Mekaten mas Trias, maju terus demokrasi.
Salam damai senantiasa.
Secara etika ada dua kesalahan besar yang dibuat oleh Il Duce. Yang pertama ialah bahwa kekuasaan yang dimiliki itu bertujuannya bukan untuk mensejahterakan takyat ataupun bonum comune tetapi untuk kepentingan diri. Yang ke dua ialah cara mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan itu bukan hanya sekedar melawan hukum tetapi juga sekaligus jahat.
Tidak ada satupun alasan untuk membenarkan apa yang dibuat oleh Il Duce.
Semoga tidak terjadi di negara tercinta ini, walaupun dalam penyajiannya ada kemiripan dengan Mussolini.
Berkah Dalem ….
Amin…semoga tidak demikian…Salam