Ketika berdiri di pinggir Piazzale Loreto, Milan, terbayang akhir kehidupan diktator Italia dan kekasihnya, yang begitu tragis. Di piazzale, lapangan itu, tubuh Benito Mussolini dan kekasihnya, Claretta Petacci, digantung dengan kepala di bawah oleh massa rakyat yang marah padanya. Selain mereka digantung pula di tempat itu sejumlah pejabat Partai Fasis Nasional.
Musolini dan Petacci, ditembak seorang partisan komunis, Walter Audisio, di desa Giulino di Mezzegra, dekat desa Dongo, pinggiran Danau Como, Italia utara, 28 April 1945. Sehari sebelumnya, mereka ditangkap ketika hendak meninggalkan Italia, mencari selamat, setelah tentara Italia dan juga Jerman dihancurkan pasukan Sekutu dalam PD II.
Tapi sial, tanggal 27 April pagi, mereka ditangkap kaum partisan; dan Walter mengeksekusinya. Dua hari setelah itu, sahabatnya yang juga penguasa Jerman, Adolf Hitler, bunuh diri bersama gundiknya, Eva Braun. Menurut cerita, Hitler sudah menikahi Eva Braun.
Menurut laporan BBC saat itu, setiap orang yang lewat tempat di mana kedua mayat tersebut digantung, meludahinya dan melempari dengan batu. Padahal di masa sebelumnya, tidak ada orang yang berani secara terang-terangan melawan Mussolini dalam bentuk apa pun, kalau nyawanya tak ingin hilang. Mussolini sungguh berkuasa.
Kekuasaan, memang, kadang membuat pemegang kekuasaan kehilangan hati nuraninya, kehilangan rasa kemanusiannya. Lalu, berbuat sesuka hatinya, sak karepe wudele dewe, kata orang Jawa. Sebut saja, Adolf Hitler, Joseph Stalin, Pol Pol, Idi Amin, Radovan Karadzic, Jorge Rafael Videla, dan masih banyak lagi.
***
Tetapi, memang, kemarahan rakyat kepada pemimpinnya, yang dianggap sangat kejam, menyengsarakan, mengkhianati rakyatnya, yang tak peduli kesengsaraan rakyatnya dan hanya memikirkan dirinya sendiri, wujudnya bermacam-macam. Tak ada seorang pun pemimpin yang mampu membedung kemarahan takyat; yang mampu membeli kemarahan rakyat. Sejarah dunia mencatat semua itu.
Akhir hidup Muammar Gaddafi yang menyebut dirinya, “king of the kings of Africa“, juga di tangan rakyatnya. Menurut berita yang beredar saat itu, pada 20 Oktober 2011, Gaddafi ditangkap saat sembunyi di pipa pembuangan, dan ditembak.
Ia-lah pemimpin besar Libya yang pernah memproklamirkan diri sebagai “Brother Leader“, seorang tokoh revolusioner yang pada tanggal 1 September 1969 mengudeta Raja Idris. Ia lalu menjanjikan sebuah negara yang diperintah oleh rakyatnya, daulat rakyat. Tapi, nyatanya, kekuasaan sepenuh-penuhnya di dalam genggamannya. Tak ada kedaulatan rakyat.
Rakyat juga mengadili Nicolae Ceausescu. Pemimpin komunis Rumania itu, ditembak mati oleh regu tembak, 25 Desember 1989. Ia berkuasa sejak tahun 1965. Padahal, ia berjasa membawa Rumania lepas dari dominasi Uni Soviet dan keluar dari Pakta Warsawa, mengecam invasi Pakta Warsawa ke Cekoslovakia (1968) serta invasi Uni Soviet ke Afganistan (1979).
Tapi krisis ekonomi mengecewakan rakyatnya. Apalagi, tak ada kebebasan berpendapat dan sensor terhadap media serta tidak menoleransi perbedaan pendapat atau oposisi. Yang lebih membuat rakyatnya makin kecewa adalah Ceaușescu melembagakan kultus pribadi dan menunjuk istrinya, Elena, serta banyak anggota keluarga besarnya menduduki jabatan tinggi di pemerintahan dan partai. Ujungnya, terjadilah revolusi. Ia dan istrinya ditangkap. Ditembak mati. Begitu saja. Riwayat kekuasaannya, selesai.
Nasib pemimpin Tunisia, lebih baik. Kemarahan rakyatnya tidak berujung pada kematiannya. Zine al-Abidine Ben Ali, pada 14 Januari 2011, memilih melarikan diri meninggalkan Tunisia setelah berkuasa sebagai presiden Tunisia, 23 tahun. Lebih baik lari daripada diadili kemarahan rakyatnya.
***
Tapi, Piazzale Loreto, kini tinggal “sepetak” tanah yang mejadi pusat simpang tujuh, dikelilingi gedung-gedung tinggi, berbagai hotel dan gedung lainnya. Walau demikian, orang selalu ingat arti penting tempat itu dan dicatat sejarah bahwa di tempat tersebut pernah digantung jenazah seorang tokoh Italia yang pada zamannya sangat berkuasa (1922 – 1943). Bahkan, menyebut dirinya “Il Duce“, Sang Pemimpin, Bos Besar.
Ketika seluruh kekuasaan ada dalam genggaman tangannya, Mussolini, diktator fascis pertama itu bermimpi menjadi Julius Caesar (100 SM – 44 SM) zaman moderen. Caesar adalah seorang jenderal, politisi cerdik, dan sejarawan yang kemudian mengangkat dirinya sebagai “dictator perpetuo“, diktator seumur hidup.
Tapi, zaman sudah berubah. Italia abad ke-20 bukan lagi Italia zaman Imperium Romanum, Kekaisaran Romawi yang wilayah kekuasaannya membentang dari Inggris hingga sejumlah negara di Timur Tengah sekarang ini, seperti Palestina dan Mesir. Luas wilayahnya, menurut catatan National Library of Australia, 5 juta km persegi; sementara luas Uni Eropa adalah 4,4 juta km persegi.
Mussolini, juga melakukan sejumlah invasi: ke Libya, Somalia, Ethiopia, dan Albania. Kata Mussolini pada tahun 1935, di hadapan ribuan massa, sebelum invasi ke Ethiopia, untuk memberikan semangat, “Kita adalah bangsa pahlawan, orang suci, penyair, seniman, navigator, penjajah, dan pelancong”.
Periode antara 27 SM – 180 M (Imperium Romanum, 27 SM – 476 M) disebut sebagai Pax Romana (Perdamaian Roma); yakni zaman ketika tercipta stabilitas dan perdamaian di seluruh kekaisaran.
Tapi Mussolini tidak mampu menciptakan “Pax Italiana.” Meskipun, kata Antonio Tajani (The New York Times, 14 Maret 2021) ketika menjabat sebagai Presiden Parlemen Eropa, ” Kita harus jujur: Mussolini membangun jalan, jembatan, bangunan-bangunan, fasilitas olah raga, dan banyak fasilitas lainnya.”
Ia melakukan banyak hal positif, sebelum akhirnya menyeret Italia terjebak dalam perang dunia karena bergabung dengan Hitler, mensahkan undang-undang rasial, anti-yahudi. Menurut sejarawan Inggris, Corner, sekitar 500.000 orang Italia tewas karena Mussolini membawa Italia bergabung dengan Hitler dalam PD II.
***
Satu hal yang sama antara Julius Caesar dan Benito Mussolini. Kedua-duanya lupa, bahwa kekuasaan itu ada batas akhirnya; bahwa ada awal dan selalu ada akhir; ada siang dan ada malam; ada saatnya menanam, ada saatnya memanen; ada tawa dan ada tangis. Maka kata orang bijak, kalau pas bahagia, jangan tertawa berlebihan. Sebab, batas antara tangis dan tawa sangat tipis. Bahkan, lebih tipis dari kulit ari, lebih tipis dari rambut dibelah tujuh.
Tapi mereka sama-sama ingin menjadi pemegang kekuasaan selama-lamanya, dan untuk keuntungannya sendiri. Maka, mereka memaklumkan diri sebagai “dictator perpetuo“, diktator seumur hidup. Padahal, hidup ada titik akhirnya. Dan, titik akhir itu tragis: mereka dibunuh!
Begitulah akhir kekuasaan mereka. Bahkan, Mussolini digantung dengan kepala di bawah di Piazzale Loreto, Milan, tempat sore itu kami berada, yang hiruk-pikuk dan bising oleh kendaraan serta orang-orang yang menyeberang jalan, yang di bawahnya ada stasiun metro….****
Foto-foto lain, Abishai dan Trias
Kenapa banyak pemimpin negara tidak mau belajar dari sejarah. Selalu saja kalau sudah jadi penguasa terus berusaha melanggengkan kekuasaannya baik untuk dirinya, keluarganya, maupun kroni2nya. lupa kalau kekuasaan mereka itu amanat yang harus dipertanggung jawabkan pada rakyat, juga pada Yang Maha Kuasa kelak di akhirat. Dimas Dubes jadilah pejabat yg amanah, jgn adigung, adigang, adiguna. Doa mbakyu dr tanah air. Salam
Amin…Mbakyu..donga pangestunipun….suwun
Sejarah memang sumber belajar…. sayang banyak pemimpin yg tidak mau belajar sejarah selagi berkuasa. Terima kasih pencerahannya. Salam kredential.
Semoga pemimpin Indonesia hari ini tidak berakhir demikian….
Aman Bu Yosephin. Semoga begitu. Kepuasan publik tambah 3 persen justru pasca melewati isu2 krusial. Dan tulisan Mas Dubes Ias boleh menjadi pengingat/alarm kode keras bagi pemimpin2 Indonesia lain….! IFO
Milan… Milan… Milan … dg sejarah lampaunya tdk dpt lepas dari Musollini dan sejarah kekiniannya… dg AC Milan ..
Sangat menarik utk dikunjungi selalu.. untuk banyak belajar : sejarah, budaya dan peradaban
Arsitektur Katedral Duomo maupun Galeria mall dan stasiun KA sangat menakjubkan..
Salam 🙏🏽
Betul, Mbak…terima kasih
Terima kasih foto2 yg indah dan pencerahannya. Semoga di Indonesia
Para pemimpin bijaksana,tidak serakah sehingga tidak bernasib seperti Mussolini
Sejarah bisa berulang sepanjang jiwa pemimpin bersemayam kerakusan terhadap kekuasaan.
Yang baik2 juga akan berulang
Situasi dan kondisi nya koq mirip dengan keadaan perpolitikan di sebuah negara ttt ???
Mosok?
Sae dimas Duta. Kangge pangeling eling. Lha milik niku nggendhong lali.
Laporan perjalanan bang Dubes kali ini sangat menarik. Menarik soal perilaku individu (dan moralitas) pemimpin serta kebijakannya. Banyak dr pemimpin terapkan “populisme” dg propaganda selalu ‘demi’ rakyat. Perbuatan baik digadai yg mungkin awalnya mmng kebutuhan/membela rakyat thp elitisme kel tertentu yg dominan. Ttpi pd akhirnya pola koersi demi kebutuhan kekuasaan pemimpin dn kroninya. Populisme itu bermetamofosis jadi kekuasaan yg “memangsa” anaknya sendiri. Jadilah perilaku kejam Mussolini, Hitler, Khadafi, Idhi Amin, Pinochet, Pol Pot dll. Bahkan sebagian perilaku Soeharto. Di negri ini (maaf bang Dubes bukan benci atasan Abang/presiden), blusukan joko widodo, bansos, dll awal dg ciri karitatif, berubah jadi alat politik dn kekuasaan. Perbesar utang negara akan dibayar rakyat, nepotisme dgn langgar konstitusi (MK dan MA) demi anak, mantu dan jokowi sendiri. IKN kontroversi, Wantipres mau balik jadi DPA, men. jokowi is usulan DPR ttpi DPR justru melihat gelagat jokowi utk terus “memerintah”. Populisme, nepotisme dn kekuasaan lebih penting dp demokrasi yg berkedaulatan rakyat, kejujuran konstitusionalisme di bawah Pancasila. Maaf klu opini kurang pas..
Memang tragis nasib Benito Mussolini ini. Semula berprofesi sbg jurnalis; paham betul Marxisme, Nietzche, W Pareto, dst; aktivis sosial, anggota kmd pimpinan parpol- fascis idealoginya. Dan musuh utama fasisme & nazi itu, selain kapitalisme liberal, ya komunisme itu.
Sebetulnya, Mussolini sdh diturunkan dari kekuasaan, dan- menurut Hitler … sdh jd tahanan Paus dan Raja Italia Victor Emmanuel III sejak Juli 1943. Hitler menugaskan “pasukan komando” pd Sept 1943, yg terjun utk membebaskan Mussolini sahabatnya dari tahanan rumah. Dengan dukungan Hitler pula Mussolini menjadi pemimpin negara Republik Salo di Italia utara yg dianggap sbg boneka Nazi Jerman. Ketika sekutu masuk ke Italia, Mussolini dgn kawalan pasukan Jerman, berusaha menyelamatkan diri ke Swiss, namun tertangkap oleh partisan komunis Italia, kmd dieksekusi secara sadis, brutal … bersama kekasihnya: Clara Pettacci, dan bbrp fungsionaris Fasis lainnya.
Bbrp sejarawan berpendapat bahwa, eksekusi Mussolini adalah keputusan politik yg diambil pemimpin komunis Italia utk menyingkirkan saingan politik utama mrk demi memperkuat pengaruh komunis di Italia paska perang. Bbrp yg lain, mgk punya pendapat berbeda.
Tapi, begitulah sejarah, perlu dipahami dari pelbagai aspek, sudut pandang, kompleksitas, dst dst.
Para penguasa otoriter – tdk perlu sebut namalah, … sering bernasib tragis oleh sebab berbagai hal: kekalahan dalam perang, gejolak sosial,.kemunduran ekonomi, ketidak adilan, revolusi, dst dst atau kombinasi semua hal tsb. Mdh2an negeri kita terhindar dari semua hal tsb. Pemerintah sungguh-sungguh mensejahterakan rakyat sesuai cita-cita para pendiri bangsa.
Tulisan kali ini membawa saya ke tulisan Pak Dubes 8 Maret 2019, L’Histoire se Répète.
Namun sayangnya dalam tulisan tentang Mussolini ini saya mesti bilang bahwa species tercerdas ini tak banyak atau setidaknya banyak yang tidak mau belajar dari masa lalu. Bukankah Plato pernah berujar pada tahun 380 SM bahwa “tidakkah tirani tumbuh dari demokrasi”? Saya terjemahkan secara bebas bahwa demokrasi yang diberi kekuasaan -apalagi terlampau lama- akan menjadikannya tirani.
Relevan rasanya bila kita bandingkan ini dengan keadaan nyata dewasa ini. Pak Dubes juga sudah mencontohkan tokoh-tokoh itu pada tulisan kali ini. Dan sayangnya ini masih akan terus berulang, bahkan sudah ada di depan mata.
Kita masih akan banyak mengalami patah hati atas kepercayaan yang kita bebankan di pundak seseorang. Tapi ya sudahlah, karena memang yang namanya bulan madu itu tak bisa diharapkan akan seumur hidup.
Trims banget sharing nya mas Dubes….
Inilah asyiknya punya Dubes yang pandai menulis dan pintar bercerita…
Banyak hal yang bisa dibagikan ke kami2…
Sehat dan semangat selalu ya mas Trias… 🤲🍁🌸🌹🤲
Ayo, kapan ke sini…terima kasih
Keren mas Dubes Ias. Jadi pengen segera mampir ke Roma lagi nih. Mohon doanya bisa mampir.