Dua hari berturut-turut, Selasa dan Rabu lalu, saya ditraktir makan siang. Hari Selasa, saya dan tiga kawan ditraktir seorang teman yang sedang ulang tahun, makan di rumah makan Remboelan di Citos.
Lalu, hari Rabu, saya serta dua teman diajak makan siang di Penang Bistro, Pakubuwono. Kali ini tidak ada yang ulang tahun. Seorang kawan, mengajak kami bertiga ngobrol; dia milih tempat itu untuk ngobrol. Saya sih ok-ok saja, toh ditraktir.
Di dua rumah makan itu, kami ngobrol ngalor-ngidul, apa saja. Salah satunya ngobrolin soal dunia persilatan di panggung politik negeri ini, yang makin lama makin membuat kami rakyat kecil ini terhibur sekaligus sedih.
Aneh, kan: terhibur kok sedih. Ya, terhibur karena kami menyaksikan lelucon-lelucon politik yang dimainkan para politisi. Tetapi juga sedih, karena sebagai rakyat makin lama makin dibuat bodoh oleh aksi-aksi atau pernyataan-pernyaan mereka. Banyak pernyataan yang kurang atau malah tidak mencerdaskan (kehidupan bangsa).
***
Coba bayangkan, apa yang dimaksud dengan istilah “turun gunung” yang beberapa hari lalu menjadi bahan obrolan banyak orang, baik yang bernada positif maupun negatif, cenderung mencibiri, ditambah meme-meme yang membuat tertawa sekaligus mengelus dada.
Lalu saya cerita pada teman-teman makan siang gratis. Saya pertama kali mengenal istilah “turun gunung” sekitar tahun 1970’an ketika sedang senang-senangnya membaca buku-buku cerita silat.
Dalam cerita silat digunakan istilah “turun gunung” untuk menggambarkan seorang pendekar yang meninggalkan padepokannya tempat berguru, menuju dunia ramai untuk mengamalkan ilmu yang diserapnya. Tujuannya satu, menebar kebaikan, bukan keburukan (KBBI).
Istilah “turun gunung” kerap kali juga digunakan untuk menggambarkan seorang tokoh linuwih (memiliki kelebihan di luar kemampuan manusia pada umumnya), yang meninggalkan pertapaannya setelah lama meninggalkan dunia ramai, mengasingkan diri dari kehidupan duniawi untuk mesubrata, melatih diri menuju kearah suatu kesempurnaan yang mutlak dengan cara melatih diri khusus di bidang rohaniah.
Tujuannya tetap sama: mengamalkan kebaikan, bukan angkara murka. Semua tindakannya dilambari sikap belas kasih, semangat compassion, semangat membantu bukan semangat dendam kesumat dan balas dendam, bukan pula semangat dengki dan iri, semangat membangun bukan menghancurkan, semangat berbagi bukan monopoli, semangat merengkuh bukan nyebratake, mengusir, dan semangat persatuan bukan memecah-belah.
Istilah “turun gunung” digunakan juga untuk menyebut binatang buas seperti macan yang turun ke permukiman penduduk mencari makanan. Selain itu, ketika sebuah gunung, misalnya Gunung Merapi, akan meletus binatang-binatang pada turun gunung, karena merasakan akan ada bahaya.
Seorang kawan mengatakan, “turun gunung” juga bisa diartikan sebagai tindakan campur tangan karena melihat ketidak-beresan atau untuk menyelesaikan suatu persoalan pelik dan berat yang mengancam masa depan bila tidak diberesi.
Karena kami hanya ngobrol bukan seminar, maka tidak ada kesimpulan tentang apa yang dimaksud dengan “turun gunung” itu. Apalagi, toh sandiwara semacam itu akan cepat berakhir sebagaimana biasanya.
***
Lalu kami ketika sedang makan dibuat tercengang-cengang dengan munculnya istilah “Dewan Kolonel”. Sore harinya ketika sedang ngopi dan ngobrol dengan empat kawan di tempat lain, saya bertambah heran sekaligus senyum kecil, membaca berita tentang muncul “Dewan Kopral.” Aha, lelucon macam apa itu. Begitu, kami berkomentar.
Tapi, kami terhibur meski tercengang dan terheran-heran mengapa digunakan istilah yang mengingatkan masa lalu, 1965, ” Dewan Jenderal.” Meski demikian, kami tetap terhibur. Karena semua itu, kami anggap hiburan saja. Sebab, senang hati adalah sangat penting di masa sekarang ini.
Saya tambah senang hati, ketika seorang sahabat karib dalam WA grup menulis begini:
“Nanti kita buat Dewan Angkringan saja, Pak. Tak perlu ada komandan atau pengarah acara. Semua orang boleh masuk, egalitarian, bisa omong apa saja, diskusi politik OK, ngomong BBM iya, ngomong Rumput Tetangga Lebih ijo tak soal, ngalem Farrel dll….yang menyatukan teh nasgitel, kopi pahit, wedang jahe, jadah bakar, tempe mendoan dll. Keluar masuk bebas…”
Betul juga usul sahabat karib itu. Ini usul yang jenius, menurut saya. Toh, seperti kata Pak Jokowi berulang-kali, Indonesia negara demokrasi, yang menghormati kebebasan berpendapat dan berorganisasi. Kita bukan bagai ayam disambar elang.
Jadi kalau membentuk “Dewan Angkringan” pasti boleh. Toh, nggak ada komandan (sehingga tidak memunculkan persaingan untuk memerebutkan posisi itu dan perseteruan; dan juga sering terjadinya abuse of power), nggak ada pengarah gerak dan suara (hingga gerak dan suaranya tidak seragam, seperti di Korea Utara, misalnya), nggak perlu AD/ART yang penyusunannya butuh waktu dan anggaran, tidak perlu undang-undang dan aturan yang kadang diingkari karena sudah dianggap tak menguntungkan lagi.
***
Di angkringan, semua orang sama derajatnya. Mau tukang becak, tukang ojek, mahasiswa, pegawai kantoran, pegawai bank, tentara, polisi, hakim, jaksa, budayawan, ulama, politisi, tokoh masyarakat, atau siapa pun tidak ada yang diistimewakan. Hak dan kewajibannya sama; seperti one man one vote, dalam pemilu.
Maka, tak bisa dielakkan, di angkringan kadang ngobrol yang agak-agak saru, porno, plesetan, gojek kere (istilah di Yogya, yakni gojek, guyon yang nggak mutu), dan tertawa lepas. Tertawa itu menyehatkan, menaikkan imun. Begitu kredonya.
Yang menyenangkan, tidak ada yang tersinggung dengan gojekan atau omongan orang lain. Semua ditanggapi dengan tertawa. Angkringan adalah simbol egaliter antar-warga masyarakat, antar-manusia
Semuanya bebas bersuara asal santun dan menghormati orang lain, tidak menghina, mencemoohkan, memfitnah orang lain, dan tidak menyebarkan hoaks. Artinya, ngomongnya harus berdasarkan fakta bukan halu. Soalnya, sekarang ini lagi musim orang ber-halu-halu, ber-seakan-akan…karena hati gatal, mata digaruk.
Congratulations.
Selamat Dewan Angkringan
Siap, Pakde…jadi anggota, ya…
Saya ikut dewan Angkringan saja kang Trias, badut badut haus kekuasaan mempertontonkan kejumawaan nya, rakyat cuma dianggap penonton. Mungkin ada pihak yang berfikir ini kerajaan, dinasty dan keturunan berbagai ada dua trah yg gencar jualan diri menumpang leluhurnya, ada pula gubernur yg gak jelas hasil kerjanya tapi menumpang identitas agama ikut naik gunung, mau ketemu yg turun gunung
Ayo, Pak…sambil bikin badut2 baru yg lebih lucu…hehehe…suwun
Saya membentuk dewan paroki ya Mas.😅😅😅
Mantap…👍👍👍
Dewan Revolusi (mental) kog gak Memang yg jago Dewan Rakyat alias Agringan.
Ki, kalau Dewan Revolusi…agak2 nyerempet2…gamping bikin orang tertentu senewen….ya, ngangkring saja…hehe
Teringat pada kejadian di Pusat Kesenian di suatu kota beberapa puluh tahun yang lalu, sebelum Reformasi, ketika almarhum pengarang Motinggo Boesje masih hidup. Beliau didapuk oleh beberapa kawannya menjadi Rektor suatu Universitas: “Universitas Lidah Buaya” namanya. Kawan-kawan yang mengangkatnya menjadi Rektor itu, satu diantaranya adalah penyair kelahiran Solo, yang pernah menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat pada masa Orde Baru, dan menjadi pengurus organisasi Pemuda Nasional, seorang Presiden Republik Penyair dari Riau, dan seorang Raja Cerita Pendek asal Medan. Kampusnya menempati sebuah warung makan-minum di Pusat Kesenian itu. Menyerupai Universitas PBB di Tokyo, universitas inintidak menerima mahasiswa, tetapi menerima anggota untuk berbual-bual, ngobrol bebas. Banyak hal dibualkan bila para angotanya berkumpul. Umumnya tentang peristiwa seni, karya dan kelakuan seniman-seniman tertentu. Mereka kumpul setelah warung mulai jarang pengunjung, dari pukul 2 siang sampai menjelang waktu maghrib. Ketika itu para anggota ULB memesan makanan dan minuman kesukaannya masing-masing. Makanan pavorit adalah sop butut, sedangkan minuman wedang jahe. Ada juga yang memesan pecal lele. Tidak ada kuliah umum maupun peraktek lapangan. Dan obrolan dijaga, supaya tidak melukai perasaan para anggotanya. Kebanyakan pokok-pokok bualan ditutup dengan derai tertawa yang melibatkan semua. Cara pembayaranya salinbg meneraktir, bergantian. Kegiatan universitas menurun dan akhirnya berhenti sama sekali sejak Rektornya meninggal. Selamat merayakan kegembiraan, Dewan Angkringan.
Wow menarik sekali Universitas Lidah Buaya…terima kasih ceritanya…rasanya, perlu didirikan lagi…salam
Setuju..setuju sj. Bagi sy angkringan tmpt mbuang sial, tmpt cari ide, tmpt refreshing, …..et cetera paribus.
Nggih, Kang …yo perlu kadange ngangkring
Dewan angkringan kalau anggotanya ada Lara Mendut yg jual cerutu pasti laris manis mas. Wkwk….
Betul…ning ribut….hehe
Dewan Angkringan kalau ketuanya Lara Mendut maka peserta diskusinya banyak yg datang mas karena pengin beli rokok yg lezat
Hahaha ..malah bisa bikin gendro…ribut Mas Barsono
Mas Trias trima kasih share nya, saya juga merasakan yg sama, terhibur tapi prihatin, melihat tragikomedi para politisi ini … 😢🤣😢🤣😢🤣😢
Romo Dipo, matur nuwun…makin lama makin prihatin…
Dewan Angkringan… Tempat bicara lepas tanpa topik khusus, tapi bisa menelurkan solusi bagi masalah (bangsa)…. Lanjut… 👍
Siap, Mas Dubes….apa kabar? Salam
Dewan Angkringan ada tempat Ngangkring nya gak yaaa….😄
Ya, kita bikin….hehe