Sore kemarin, ketika hujan turun begitu lebat disertai angin yang membuat kurungan burung perkutut di rumah berayun-ayun kuat, saya mendadak ingat sepotong kalimat sahabat saya, Bre Redana. Dalam novelnya, Koran Kami with Lucy in the Sky. Bre menulis, “Mabuk bir jadi orang jujur. Mabuk agama jadi pembohong.”
Buru-buru saya kontak dia. Dan, bertanya tentang “kata-kata bijak” itu. Dalam rumusan lain, dulu, orang Romawi mengatakan, “In vino veritas; in aqua sanitas”, dalam anggur ada kebenaran; dalam air ada kesehatan. Apa benar In vino veritas? Dalam anggur ada kebenaran?
Katanya, orang-orang yang, di bawah pengaruh alkohol, merasa bebas untuk mengungkapkan pikiran mereka. Jujur. Bebas ngomong. Tak terkontrol. Itu karena “air kata-kata”, kata Romo Sindhunata (kumpulan puisi Air Kata-kata, 2003).
Ada cerita, jika orang Persia memutuskan sesuatu saat mabuk, mereka membuat aturan untuk mempertimbangkannya kembali saat sadar (Herodotus). Tapi, belakangan penulis lain, menambahkan, jika orang Persia membuat keputusan saat mabuk, mereka membuat aturan untuk mempertimbangkannya kembali saat mabuk.
***
Tulisan Bre itu, benar juga adanya. Terbukti. Saat ini, orang tidak hanya mabuk bir yang membuat orang berkata apa adanya (meski di banyak daerah menjual bir itu dilarang. Mungkin takut orang berkata jujur. Yang dibiarkan malah mabuk agama), tapi juga mabuk yang lain.
Sekarang ini lagi banyak yang mabuk kekuasaan, mabuk jabatan, mabuk politik, mabuk harta, mabuk tepuk tangan, mabuk pujian, mabuk pencitraan, mabuk wanita, mabuk korupsi, dan masih banyak yang lain. Kalau hanya sekadar mabuk darat, mabuk laut, atau mabuk udara, mudah obatnya. Tapi, kalau mabuk kekuasaan atau harta, misalnya, bikin repot. Ngrepotin rakyat.
Kekuasaan itu (berbagai bentuk kekuasaan, termasuk kekuasaan agama) memang memabukkan. Karena itu, kekuasaan disebut candu. Ketika orang sudah sudah mabuk kekuasaan, akan gelap mata. Tidak peduli aturan (atau malah membuat aturan sesuka hatinya, melarang ini dan itu, yang merugikan rakyat). Sesuka udel sendiri.
Dan, yang biasa terjadi, mereka yang mabuk kekuasaan, laku menerapkan aji mumpung; mumpung berkuasa; mumpung ada kesempatan. Maka ada ujar-ujaran, power tends to corrupt, and absolute power corrups absolutely meminjam istilah dari John Emerich Edward Dahlberg Acton (1834-1902).
Karena berkuasa, lalu mengeruk kekayaan secara tak halal alias korupsi. Hidup bermewah-mewah, tak peduli kondisi masyarakat sekitar susah hidup. Tidak hanya hidup bermewah-mewah, tetapi juga memamerkan kekayaannya.
Kata anak saya, tindakan semacam itu disebut flexing, suka pamer kekayaan, suka menonjolkan harta benda bermerk terkenal, bikinan luar negeri; pamer kekayaan, rumah serba mewah bak istana ada di berbagai kota negeri ini, mobil bermerk berderet-deret, sering piknik ke luar negeri, kuliner di tempat mewah, tak lupa berfoto-foto.
Lalu, orang merasa bangga disebut sebagai “sultan” atau the crazy rich karena kekayaannya. Bergaya dengan tas, sepatu, kacamata, jaket, dan mahal bikinan luar negeri yang harganya tidak hanya puluhan juta, tapi ratusan juta.
Baru nanti ketika terjerat masalah dan terbongkar semua, buru-buru semua postingan dihapus, pura-pura hidup sederhana. Tiarap sambil harap-harap cemas akan diusut KPK tentang asa-muasal kekayaan itu.
Yang mabuk politik pun, sama saja. Mereka lupa bahwa politik memiliki misi suci. Yakni, menciptakan kesejahteraan, keamanan, ketertiban dan kelayakan dalam bernegara (bonum commune). Namun, yang terjadi adalah perseteruan antar kubu pilihan masing-masing. Ada yang merasa paling tahu, paling bersih, paling bijaksana lalu “ngomongin” orang lain sesuka hati, mencerca, menghina, membodoh-bodohkan.
Itu terjadi karena politik sudah penuh dengan berbagai ambisi kekuasaan yang hanya menguntungkan kelompok atau individu semata. Nalar masyarakat dipermainkan sementara elite untuk dipergunakan sebagai peraup suara. Lebih parah lagi kalau mabuk politik campur mabuk agama!
****
Padahal, kata almarhum simbah saya, “Le, urip kuwi mung mampir ngombe.” Hidup itu laksana orang yang singgah untuk minum saja. Sesaat. Setelah selesai minum harus melanjutkan perjalanan lagi.
Tapi, konon kata ngombe, minum dalam nasihat luhur itu, memiliki dua makna. Makna pertama, “ngombe banyu wening/bening”, atau meminum air bersih, air kehidupan, banyu perwitasari atau hidup berjalan di jalan yang benar, sesuai dengan kehendak Hyang Ilahi.
Makna kedua adalah omben, dalam arti meminum air beralkohol; minuman yang memabukkan. Tapi, omben minuman yang memabukkan ini tidak hanya arak, tuwak, bir, anggur, jenewer, ciu, minuman keras cap kunthul, cap tikus, tetapi juga kekuasaan, jabatan, politik, harta, kekayaan, wanita, dan agama yang menurut sahabat saya membuat orang jadi pembohong, merasa paling suci, dan merasa diri pemegang kunci surga-neraka.
Mereka “pemabuk” itu menjadi drunken master. Istilah drunken master itu segera mengingatkan film Drunken Master (1978) yang dibintangi Jackie Chan (Wong Fei-hung). Dikisahkan Wong belajar kung fu pada Beggar So (Yuen Siu-Tin). Dengan jurus The Eight Drunken Immortals yang diajarkan Beggar So, Wong mampu mengalahkan Yitm Tit-sam, pembunuh ayahnya.
Sementara para “drunken masters” di negeri ini, yang mungkin mendalami ilmu aji mumpung, ilmu dumeh (mentang-mentang) benar-benar mabuk kepayang untuk kesenangan dirinya. Entah itu mabuk kekuasaan, jabatan, politik, harta-kekayaan, pencitraan, wanita, dan juga agama…
P Trias, menurut sy yg namanya mabuk, konotasinya mesri negative, tidak pernah positif. Bagaimana menurut bapak?
…kalau nilai rasanya, memang negatif..tetapi, lalu dilihat dalam konteksnya…misalnya, mabuk ilmu pengetahuan..nah ini kan baik
Ya, begitulah…sebab berarti berlebih-lebih..
Tulisan ini refleksi dari realitas yang terjadi saat ini, sekaligus refleksi bagi kita di mana posisi moral kita serta apakah kita berupaya mempertahnkan atau mengubahnya.
TErima kasih banyak…salam
Terima kasih, Bung Claudius…salam
Menurut saya, banyak orang itu pada mabok macam-macam oleh karena merasa diri kurang berharga dan kurang bernilai dalam dirinya sendiri, sehingga dia ingin nambah harga diri itu dengan sesuatu yang external: supaya berharga dan bernilai maka naik Rubicon, naik moge, mencari uang dengan korupsi, lari ke agama secara munafik, mencari kekuasaan dan sebagainya.
Kalau orang itu sudah merasa berharga dengan dirinya sendiri, maka dia tidak perlu mencari tambahan supaya berharga dari yang external. Celakanya: mereka itu sangat menggantungkan diri pada pemenuhan kebutuhan itu pada yang external itu sehingga terjadi kemabokan macam-macam yang sangat tidak rasional.
Seharusnya orang itu menjadi manusia yang baik, bekerja dengan baik, berprestasi dengan jujur, membantu sesamanya, mencintai sesamanya dan sebagainya sehingga dia akan merasa dirinya berharga. Harga diri itu seharusnya muncul dari kedalaman diri dan bukan berasal dari yang external. Ketika orang merasa berharga dari dalam dirinya sendiri, maka tidak akan buat yang aneh-aneh dan tidak masuk akal.
Kemabukan membuat akal sehat tidak berfunsi sebagaimana mestinya, mabuk apapun: mabok alkohol, mabok agama, mabok penghargaan, mabok uang, mabok yang lainnya juga.
Perlu menjaga kewarasan akal budi agar manusia bisa bertindak secara rasional. Untuk itu, jauhkan segala macam kemabukan.
Siap, Romo…setujua seratus persen….”karena merasa diri kurang berharga dan kurang bernilai”…sehingga cari pelampiasan dengan cara mabuk-mabukan dalam berbagai bentuk…
Warisan feodalisme ada rakyat kecil ada raja – rakyat kecil wajib bayar upeti- raja hidup mewah.
Setiap orang bermimpi menjadi raja karena terlihat hidup enak. Bagi rakyat kecil, hidup ini penuh perjuangan dan kesengsaraan. Bisa menjadi abdi dalem dengan gaji a la kadarnya pun dijalani.
Perubahan tata ekonomi dimana rakyat kecil bisa sukses ekonomi nya tergoda untuk menjadi raja kecil.
Alhamdulillah tidak semua rakyat seperti itu. Masih banyak yang kehidupan spiritualnya tetap terjaga.
Hanya saja yang diekspose dan terpandang adalah orang kaya. Hal ini mengingatkan lagu “koyo ngene rasane. Dadi wong ora duwe. Ngalor ngidul diece”.
Gus Moko
Nggih Gus Moko..memang masih banyak yang hidup spiritualnya terjaga…hanya saja yang tidak terjaga yang lebih ketok mata..lan keras teriaknya..salam
Kata mabuk punya makna pejorative. Maka mabuk apapun negative, tidak elok.
Semoga yg mabuk bisa siuman.
..ya ada yang mabuk beneran…tapi ada juga yang ethok2e mabuk..
Maka seharusnya yang memegang kekuasaan haruslah orang yang sudah selesai dengan dirinya. Tidak punya kepentingan, termasuk kepentingan untuk mewariskan sesuatu kepada anak-cucunya.
Repotnya, senyatanya banyak yang belum selesai…yang sudah selesai makin sulit dicari…salam
Mas Trias, sak apik-apike wong mabuk, isih apik wong kang eling lan waspada….sebagus-bagusnya orang mabuk, tetap lebih baik.orang yang.selalu ingat dan waspada…😊🙏👍.menurut @jarene.com
Alm. Mochtar Lubis dlm bukunya yg terbit Tahun 1970 an, menyebut karakter-2 orang Indonesia yg kontra produktif ini. Dan sampai sekarang bukannya membaik, karakter-2 tsb semakin menjadi nyata & meluas. Rasanya ada sesuatu yg kurang di negeri ini. Pendidikan agama di rumah ataupun di sekolah & Rumah ibadah, dulu ada pendidikan moral Panca Sila, P4, dan sekarang ada BPIP atau apapun dlm pembentukan karakter bangsa, rupanya belum bisa membuat kita sadar dan tercelik matanya. Revolusi mental yg dicanangkan sbg program rezim sekarang ini, belum terlaksana dgn baik. Pemimpinnya sudah memberikan contoh, tapi belum berimplikasi luas pada bawahannya . Semestinya pemangku kekuasaan di level manapun di negeri ini, entah itu lembaga legislatif, yudikatif ataupun eksekutif, baik instansi pemerintah maupun swasta, dpt berkontribusi membentuk karakter di tempatnya. Pertanyaannya : apakah mereka tahu & sadar, akan salah satu peran yg mereka pikul itu ? Ataukah mereka sudah merasa nyaman di zonanya sehingga tidak perlu repot memikirkan karakter ini.
Bli, pertanyaan sampeyan itu pas banget. Ya, apakah mereka tahu dan sadar peran mereka? Rasanya, kok banyak yang tak peduli…lebih memikirkan butuhe dewe-dewe..Aapakah mereka merasa
nyaman di zonanya, iya juga juga…entah itu zona diri sendiri atau zona kelompok..salam
Setuju, Pak Hari…meski demikian, e..tetap ana sing seneng mabuk lan pura-pura mabuk….