DRUNKEN MASTER

Ilustrasi gambar Wikipedia

Sore kemarin, ketika hujan turun begitu lebat disertai angin yang membuat kurungan burung perkutut di rumah berayun-ayun kuat, saya mendadak ingat sepotong kalimat sahabat saya, Bre Redana. Dalam novelnya, Koran Kami with Lucy in the Sky. Bre menulis, “Mabuk bir jadi orang jujur. Mabuk agama jadi pembohong.”

Buru-buru saya kontak dia. Dan, bertanya tentang “kata-kata bijak” itu. Dalam rumusan lain, dulu, orang Romawi mengatakan, “In vino veritas; in aqua sanitas”, dalam anggur ada kebenaran; dalam air ada kesehatan. Apa benar In vino veritas? Dalam anggur ada kebenaran?

Katanya, orang-orang yang, di bawah pengaruh alkohol, merasa bebas untuk mengungkapkan pikiran mereka. Jujur. Bebas ngomong. Tak terkontrol. Itu karena “air kata-kata”, kata Romo Sindhunata (kumpulan puisi Air Kata-kata, 2003).

Ada cerita, jika orang Persia memutuskan sesuatu saat mabuk, mereka membuat aturan untuk mempertimbangkannya kembali saat sadar (Herodotus). Tapi, belakangan penulis lain,  menambahkan, jika orang Persia membuat keputusan saat mabuk, mereka membuat aturan untuk mempertimbangkannya kembali saat mabuk.

***

Ilustrasi foto: Pixels

Tulisan Bre itu, benar juga adanya. Terbukti. Saat ini, orang tidak hanya mabuk bir yang membuat orang berkata apa adanya (meski di banyak daerah menjual bir itu dilarang. Mungkin takut orang berkata jujur. Yang dibiarkan malah mabuk agama), tapi juga mabuk yang lain.

Sekarang ini lagi banyak yang mabuk kekuasaan, mabuk jabatan, mabuk politik, mabuk harta, mabuk tepuk tangan, mabuk pujian, mabuk pencitraan, mabuk wanita, mabuk korupsi, dan masih banyak yang lain. Kalau hanya sekadar mabuk darat, mabuk laut, atau mabuk udara, mudah obatnya. Tapi, kalau mabuk kekuasaan atau harta, misalnya, bikin repot. Ngrepotin rakyat.

Kekuasaan itu (berbagai bentuk kekuasaan, termasuk kekuasaan agama) memang memabukkan. Karena itu, kekuasaan disebut candu. Ketika orang sudah sudah mabuk kekuasaan, akan gelap mata. Tidak peduli aturan (atau malah membuat aturan sesuka hatinya, melarang ini dan itu, yang merugikan rakyat).  Sesuka udel sendiri.

Dan, yang biasa terjadi, mereka yang mabuk kekuasaan, laku menerapkan aji mumpung; mumpung berkuasa; mumpung ada kesempatan. Maka ada ujar-ujaran, power tends to corrupt, and absolute power corrups absolutely meminjam istilah dari John Emerich Edward Dahlberg Acton (1834-1902).

Karena berkuasa, lalu mengeruk kekayaan secara tak halal alias korupsi. Hidup bermewah-mewah, tak peduli kondisi masyarakat sekitar susah hidup. Tidak hanya hidup bermewah-mewah, tetapi juga memamerkan kekayaannya.

Kata anak saya, tindakan semacam itu disebut flexing, suka pamer kekayaan, suka menonjolkan harta benda bermerk terkenal, bikinan luar negeri; pamer kekayaan, rumah serba mewah bak istana ada di berbagai kota negeri ini, mobil bermerk berderet-deret, sering piknik ke luar negeri, kuliner di tempat mewah, tak lupa berfoto-foto.

Lalu,  orang merasa bangga disebut sebagai “sultan” atau the crazy rich karena kekayaannya. Bergaya dengan tas, sepatu, kacamata, jaket,  dan mahal bikinan luar negeri yang harganya tidak hanya puluhan juta, tapi ratusan juta.

Baru nanti ketika terjerat masalah dan terbongkar semua, buru-buru semua postingan dihapus, pura-pura hidup sederhana. Tiarap sambil harap-harap cemas akan diusut KPK tentang asa-muasal kekayaan itu.

Yang mabuk politik pun, sama saja. Mereka lupa bahwa politik memiliki misi suci. Yakni, menciptakan kesejahteraan, keamanan, ketertiban dan kelayakan dalam bernegara (bonum commune). Namun, yang terjadi adalah perseteruan antar kubu pilihan masing-masing. Ada yang merasa paling tahu, paling bersih, paling bijaksana lalu “ngomongin” orang lain sesuka hati, mencerca, menghina, membodoh-bodohkan.

Itu terjadi karena politik sudah penuh dengan berbagai ambisi kekuasaan yang hanya menguntungkan kelompok atau individu semata. Nalar  masyarakat dipermainkan sementara elite untuk dipergunakan sebagai peraup suara. Lebih parah lagi kalau mabuk politik campur mabuk agama!

****

Ilustrasi gambar: Brainly

Padahal, kata almarhum simbah saya, “Le, urip kuwi mung mampir ngombe.” Hidup itu laksana orang yang singgah untuk minum saja. Sesaat. Setelah selesai minum harus melanjutkan perjalanan lagi.

Tapi, konon kata ngombe, minum dalam nasihat luhur itu, memiliki dua makna. Makna pertama, “ngombe banyu wening/bening”, atau meminum air bersih, air kehidupan, banyu perwitasari atau hidup  berjalan di jalan yang benar, sesuai dengan kehendak Hyang Ilahi.

Makna kedua adalah omben, dalam arti  meminum air beralkohol; minuman yang memabukkan. Tapi, omben minuman yang memabukkan ini tidak hanya arak, tuwak, bir, anggur, jenewer, ciu, minuman keras cap kunthul, cap tikus, tetapi juga kekuasaan, jabatan, politik, harta, kekayaan, wanita, dan agama yang menurut sahabat saya membuat orang jadi pembohong, merasa paling suci, dan merasa diri pemegang kunci surga-neraka.

Mereka “pemabuk” itu menjadi drunken master. Istilah drunken master itu segera mengingatkan film Drunken Master (1978) yang dibintangi Jackie Chan (Wong Fei-hung). Dikisahkan Wong  belajar kung fu pada Beggar So (Yuen Siu-Tin). Dengan jurus The Eight Drunken Immortals yang diajarkan Beggar So, Wong mampu mengalahkan Yitm Tit-sam, pembunuh ayahnya.

Sementara para “drunken masters” di negeri ini, yang mungkin mendalami ilmu aji mumpung, ilmu dumeh  (mentang-mentang) benar-benar mabuk kepayang untuk kesenangan dirinya. Entah itu mabuk kekuasaan, jabatan, politik, harta-kekayaan, pencitraan, wanita, dan juga agama…

Bagaimana menurut Anda artikel ini
+1
1
+1
1
+1
50
+1
12
Health Kredensial