IKUT-IKUTAN SOK TAHU

Sore itu, ketika hujan gerimis yang turun sejak pagi belum juga usai, ketika kabut tipis menyelimuti kawasan tempat rumah sahabat saya Bre Redana, yang berdiri di antara Gunung Salak dan Gunung Gede-Pangrango di jauh sana, kami berenam menikmati kopi panas seduhan tuan rumah, teh panas, serta singkong goreng dan awul.

Kami ngobrol di teras belakang. Sekitar empat meter dari tempat ngobrol, berdiri kokoh pohon pinus yang rimbun daunnya. Juga ada pohon durian, yang belum pernah berbuah. Rumpun bambu di luar tembok pagar yang daunnya menjuntai ke halaman belakang. Kolam ikan, sebelah kanan kami duduk-duduk.

Di belakang rumah, sekitar 10 meter ke bawah, mengalir sungai kecil. Airnya terlihat dari atas, menyusup di antara semak-samak liar di kebun tetangga. “Kok nggak dibeli sekalian, Pak Bre,” ucap seorang kawan yang ditangapi tawa lepas Pak Bre. Kami juga tertawa.

Rasanya, ini pertemuan kami yang paling istimewa dari sekian banyak pertemuan yang sudah kami buat. Tempat istimewa. Selain kopi panas, teh panas, air putih, singkong goreng panas, makanan sunda (makan berat): ikan nila goreng kering, lalapan, sambal, sambal oncom lengkap, karedok, juga ada kerupuk kampung, plus nasi putih yang uapnya masih mengepul, ditutup dengan makan malam–sebelum pulang–sate kambing, sate ayam, tongseng kambing, dan sop ayam. Wow…

Tapi yang paling istimewa adalah obrolan kami: mulai dari soal dunia pers yang sudah dengan suka-cita nabrak “paugeran suci” jurnalistik, kasus kriminal (dari Sambo sampai Mario dengan segala macam bumbunya), panggung politik menyongsong pemilu yang membuat ketawa karena lucu, keputusan gubernur NTT yang mewajibkan murid sekolah SMA Masuk pukul 05.30 (semula pukul 05.00), juga anjuran pergi ke sekolah jalan kaki yang katanya untuk nekan inflasi, sampai ke soal rencana pentas Deep Purple dan God Bless di Solo.

Seru memang “jagad persilatan” di negeri ini. Belum lagi keputusan PN Jakarta Pusat yang membuat heboh panggung politik; memunculkan banyak reaksi dari pelbagai kalangan, ya partai, ya pakar, yang merasa pakar, dan media sosial.

Menurut berita yang beredar, Kamis (02/03/2023), Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat mengabulkan gugatan Partai Rakyat Adil Makmur (Partai Prima) yang dilayangkan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 8 Desember 2022, dengan nomor register 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst, untuk menunda Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.

Gugatan dilayangkan, sebab Partai Prima merasa dirugikan karena tidak lolos hasil administrasi Pemilu. Sementara itu, KPU akan menempuh upaya hukum banding terhadap putusan PN Jakarta Pusat tersebut.

***

Kami bertiga (Foto: Try Haryono)

 

Kami sebetulnya nggak paham-paham amat soal hukum dan politik. Tapi, ya kami terbawa arus  banyak orang di negeri ini “suka sok tahu” bicara dan ngomentari banyak hal di media sosial; dan bahkan dimuat di media on line.

Memang, mungkin, sekarang ini zaman sok tahu. Katanya, salah satu ciri utama zaman sekarang ini, ya “sok tahu” itu. Seolah orang tahu segalanya. Soal apa saja. Apalagi kalau sudah menyangkut  soal negara, merasa paling tahu.

Ngritik pemerintah tak pernah henti, tak peduli kebijakan itu sebenarnya sangat bermanfaat bagi masyarakat banyak. Lalu, ngasih tahu bagaimana cara ngatur negara agar bisa bikin maju; gimana bikin masyarakat makmur; bagaimana menegakkan hukum.

Bagaimana cara berpolitik yang santun. Bagaimana mencegah korupsi (meski lain di bibir, lain di perbuatan). Presiden harusnya begini, menteri harusnya begitu. Semuanya dikomentarin. Sok tahu, deh pokoknya.

Pendek kata, seolah tahu banyak hal; seolah sudah memiliki setumpuk success story dan tercatat dalam buku sejarah kemajuan bangsa. Yah, begitulah, ciri paling mencolok dari zaman sekarang.

Nasihat orang-orang tua nan bijaksana: aja rumangsa bisa, nanging bisaa rumangsa, ‘jangan merasa bisa, tetapi bisa merasa’. Tapi mendengar nasihat itu, ada yang mengatakan, “Ah, itu nasihat kuno!” Bisa jadi, demikian.

Sebab, itu adalah nasihat yang melawan arus zaman yang bergerak demikian cepat ini. Bukankah,  meminjam istilahnya sosiolog Inggris Anthony Giddens, sekarang ini zamannya, runway world dunia yang berlari kencang.

Padahal, nasihat itu  sebuah teguran agar kita jauh dari kesombongan dan kebohongan, di runway world ini. Bila melakukan segala sesuatu hanya mengandalkan ego secara berlebihan, tanpa mengerjakannya dengan hati dan perasaan, terutama kejujuran, dapat membuahkan hasil yang tidak maksimal, bahkan secara tidak langsung dapat merugikan orang lain.

***

Berdua di perpustakaan (Foto: Try Haryono)

Untungnya, kami ngobrol di rumah. Yang tahu, ya hanya kami berenam, tentang isi obrolan itu. Karena tidak kami sebar-luaskan ke segala penjuru lewat media sosial yang bisa demikian dahsyat menembus segala sekat. Bukankan banyak kali penyebaran pendapat, komentar, opini dan sebagainya, kerap kali membuat geger?

Meskipun, kata orang pandai, penyebaran gagasan, pendapat, ide, komentar, opini dan sejenisnya ke masyarakat, salah satu tujuannya adalah untuk memperoleh dukungan publik. Dukungan publik, sangat perlu. Apalagi kalau itu menyangkut kepentingan masyarakat banyak, untuk kemaslahatan seluruh rakyat.

Kata Pak Menko Polhukum Mahfud MD–saya dengar dalam sebuah video talk-show Andi Noya, beberapa waktu lalu–dukungan publik itu perlu. Persoalannya adalah yang mendapat dukungan publik itu benar atau salah.

Banyak kali, justru yang salah yang mendapat dukungan publik. Karena pandai-pandainya mempengaruhi pikiran publik. Celaka, bukan. Sebab,  suara publik itu bagian dari demokrasi
…suara publik untuk memperlancar jalannya demokrasi. Tapi, kalau yang didukung itu yang salah, kan celaka tiga-belas bagi kualitas demokrasi itu.

Tentu pertanyaanya adalah, apakah rezim demokratis bergantung pada dukungan publik untuk menghindari kemunduran? Itu sekadar bertanya saja. Kami berenam tidak ada yang mampu menjawabnya.

***

 

Tempat ngobrol yang lain (Foto: Trias Kuncahyono)

Memang, kita baru saja memiliki pengalaman dahsyat tentang begitu hebatnya pendapat publik dan dukungan publik. Yakni, saat pandemi Covid-19.

Krisis COVID-19 adalah eksperimen ilmu perilaku manusia terbesar dalam sejarah. Sejak WHO mengumumkan pandemi global pada 11 Maret 2020, muncul banyak aturan yang ditaati, bahkan ditaati secara universal. Hal ini belum pernah terjadi sebelumnya.

Di mana pun kita tinggal, kita tidak bisa pergi bekerja, tidak bisa bepergian, tidak bisa mengunjungi kerabat – semua itu karena menurut pejabat kesehatan dan para ilmuwan,  cara terbaik untuk melawan virus mematikan ini adalah dengan tetap tinggal di rumah, mencuci tangan, dan menjaga jarak.

Dan hampir semua orang memutuskan untuk mempercayai aturan itu dan mengikutinya (ada sedikit yang mbandel, dengan berbagai dalih, termasuk dalih agama, memang).

Meski begitu, tak pelak lagi, ini benar-benar merupakan kemenangan ilmu pengetahuan. Kekuatannya  luar biasa atas manusia. Buktinya, semua (hampir) sepakat untuk menutup dunia dan tidak akan membukanya kembali sampai dinyatakan telah aman.

Ada yang mengatakan, tidak ada agama yang dapat mencapai tingkat ketaatan universal seperti ini. Dan, apalagi, tidak ada organisasi politik yang juga meraih ketaatan seperti itu.

“Yah, kita lihat saja, apakah murid-murid SMA di NTT dengan suka rela, tulus ikhlas sampai ke hati, didukung orangtuanya, menaati aturan baru gubernur soal masuk sekolah pukul 05.00…” celetuk seorang kawan.

“Mengapa tidak sekalian masuk pukul 02.00 sambil bersemedi untuk meraih cita-cita setinggi bintang-bintang di langit,” kelakar kawan lain yang sontak membuat kami tertawa. ***

Bagaimana menurut Anda artikel ini
+1
0
+1
0
+1
36
+1
15
Kredensial