
Ketika berdiri di depan pintu gerbang Istana Dolmabahçe, saya teringat cerita akhir Kesultanan Ottoman, sebuah kesultanan besar yang pernah menguasai “dunia” lebih dari enam abad (1299 – 1922). Nasib Ottoman hampir sama dengan Kekaisaran Romawi Byzantium, yang ditaklukan Ottoman pada tahun 1453.
Baik Romawi maupun Ottoman, sama-sama pernah menjadi penguasa dunia, pada masanya. Penguasa terakhir Kekaisaran Romawi Byzantium, Constantine XI Palaeologus (1404 – 1453). Akhir hidupnya, tragis. Ia tewas , saat mempertahankan Konstantinopel, pusat pemerintahan dan kekuasaan Kekaisaran Romawi Byzantium, warisan kakek moyangnya, dari gempuran pasukan Ottoman pimpinan Sultan Mehmed II
Tanggal 29 Mei 1453, Constantine XI (Konstantinus XI), tewas. Hari itu juga, Kekaisaran Romawi Byzantium yang didirikan tanggal 11 Mei 330, oleh Kaisar Konstantinus, ambruk; berakhir. Lalu, Konstantinopel yang kemudian diberi nama baru, Istanbul menjadi pusat pemerintahan dan kekuasaan Kesultanan Ottoman.
Nasib sultan terakhir Kesultanan Ottoman pun tak kalah tragis. Sultan Mehmed VI, tidak tewas seperti Konstantinus XI dalam mempertahankan istananya. Tapi, ia seperti diusir dari istana. Sultan Mehmed VI Vahideddin (1861 – 1926) dan keluarganya, meninggalkan istana untuk selama-lamanya, demi kesalamatan dirinya. Itu terjadi setelah kekuasaannya dilucuti. Sebab, pada 1 November 1922, Majelis Nasional Agung Turki, sepakat menghapus kesultanan. Dengan kata lain, berakhir sudah Kesultanan Ottoman. Itulah penggalan akhir Kesultanan Ottoman yang tragis.
***

Penggalan terakhir menceritakan, Sultan Mehmed VI tidak hanya meninggalkan istana yang menjadi bagian hidupnya, tetapi yang lebih penting lagi adalah kehilangan kekuasaan yang dipegangnya sejak 4 Juli 1918. Kekuasaan itu hilang; terlepas dari tangannya. Kekuasaan yang diwariskan oleh kakek-moyangnya lebih dari 600 tahun sebelumnya, tak kuasa ia pertahankan.
Apa artinya seorang sultan kalau tak lagi memegang kekuasaan. Kata Machiavelli, bila memegang kekuasaan maka memiliki kemampuan untuk membuat bawahannnya melakukan dan menaati seluruh ketentuan, perintah yang ia putuskan.
Dengan kekuasaan di tangan, seorang sultan, raja, pemimpin, bisa menjadi absolut. Kekuasaan merupakan tools, alat bantu untuk mewujudkan keinginan atau tujuan. Kalau ditanya, mengapa orang ingin memiliki kekuasaan. Bukankah, pada dasarnya, manusia dalam dirinya ada kekuatan purba, yakni kehendak untuk berkuasa.
Kata filsuf Jerman, Friedrich Nietzsche, itulah yang disebut the will to power. Maka penulis texbooks Politik, Ideologi Politik, dan Politik Global, Andrew Heywood membuat kesimpulan “All politics is about power.” Urusan politik adalah kekuasaan.
Maka tanpa kekuasaan menempel di badan, Sultan Mehmed VI meninggalkan Istana Dolmabahçe; tempat kelahirannya, tempat ia mengelola kekuasaan.
***

Pagi itu, hari Jumat, 17 November 1922, ketika hawa dingin menyelimuti seluruh bagian Istana Dolmabahçe yang berdiri kokoh di pinggir pantai Selat Bosporus, seperti Istana Topkapi, Sultan Mehmef VI, sudah tak lagi punya daya untuk kukuh memertahankan kekuasaan.
Ia bersama anak lelakinya, Pangeran Mehmed Ertuğrul Efendi, yang baru berusia 10 tahun, dan sembilan orang lainnya yang setia padanya, meninggalkan Istana Dolmabahçe. Tanpa kekuasaan lagi.
Istana Dolmabahçe, tempat kelahirannya, tinggalah kenangan. Dalam bahasa Turki, Istana Dolmabahçe disebut Dolmabahçe Sarayı, berada di Distrik Beşiktaş Istanbul. Sama dengan Istana Topkapi, berada wilayah Turki bagian Eropa.
Istana ini dibangun atas perintah Sultan Abdulmejid I, yang merasa bahwa Istana Topkapi sudah ketinggalan zaman, kurang mewah, kurang nyaman dibandingkan dengan istana raja-raja di Eropa. Maka, sultan ingin membangun istana yang lebih mewah dan bergaya Eropa. Pembangunan dimulai tahun 1843 – 1856.
Sejak 1856, pusat kekuasaan dan pemerintahan Ottoman pindah dari Topkapi ke Dolmabahçe. Tapi hanya sampai tahun 1887; lalu antara 1909 – 1922 pindah ke Istana Yildiz.
Meski pusat pemerintahan pindah ke Istana Yildiz, namun, sultan dan keluarga tetap tinggal di Dolmabahçe. Di istana ini pula, Bapak Bangsa Turki, Mustafa Kemal Atatürk, meninggal tanggal 10 November 1938 (Trias Kuncahyono, Turki, Revolusi Tak Pernah Henti, 2018).
***

Sultan Mehmed VI meninggalkan istana setelah mendengar kabar keselamatannya terancam. Karena ia dianggap sebagai “pengkhianat.” Sebab, pihak kesultanan menandatangani Perjanjian Sèvres (Perancis), pada 10 Agustus 1920. Penandatangan perjanjian ini sebagai buntut dari kekalahan Turki Ottoman yang berpihak pada Jerman dalam PD I (Foreign Policy, 10 Agustus 2015).
Padahal, sebenarnya, meskipun mendapat banyak tekanan, sultan tidak menandatangani Perjanjian Sevres yang membawa malapetaka. Maka, para pemimpin negara lawan (lawan Turki) pun tidak menandatanganinya, dan perjanjian itu batal demi hukum (Sabah Daily 28 Mei 2022).
Perjanjian Sèvres menginternasionalkan Istanbul dan Selat Bosphorus, memberikan sebagian wilayah Anatolia kepada orang Yunani, Kurdi, Armenia, Perancis, Inggris, dan Italia. Dengan kata lain, Perjanjian Sèvres mencabut kendali Ottoman atas Anatolia dan İzmir, secara signifikan mengurangi luas wilayah Turki, dan mengakui Hejaz (kemudian Arab Saudi) sebagai negara merdeka.
Kaum nasionalis Turki marah dengan adanya perjanjian itu. Pemerintah baru, Majelis Nasional Agung Turki, di bawah pimpinan Mustafa Kemal Atatürk telah dibentuk pada tanggal 23 April 1920, di Ankara (membayangi pemerintahan Sultan). Pemerintah Mehmed VI dikecam. Kaum Nasionalis lantas menyusun konstitusi baru.
Mereka tak mengakui Perjanjian Sèvres. Lalu digantikan Perjanjian Lausanne, 24 Juli 1923. Perjanjian Lausanne membatalkan penyerahan wilayah Turki pada Yunani. Nation-state, Negara-bangsa Turki diberi pengakuan hukum, negara mayoritas Muslim sekuler pertama yang secara resmi di bawah pimpinan Mustafa Kemal Atatürk.
Karena menyadari bahwa dirinya tidak aman, Sultan Mehmed VI Vahideddin tidak ingin menimbulkan krisis politik lebih jauh dan perang saudara. Dalam memoarnya, ia menulis, “Hijrah (migrasi) dari tempat yang tidak memungkinkan untuk ditinggali adalah sunnah nabi.”
***

Dengan ambulans yang dikemudikan tentara Inggris, Sultan Mehmed VI dan anaknya dibawa ke kapal perang HMS Malaya yang dikomandani Jenderal Charles Harington, panglima tertinggi pasukan Sekutu. Dari Istanbul, kapal menuju Malta. Dan, akhirnya menuju Italia. Sultan Mehmed VI dan anaknya dibawa ke San Remo (New Line Magazine, 20 Januari 2023).
Perginya Sultan Mehmed VI meninggalkan Istana Dolmabahçe, tahun 1922, menandai berakhirnya Kesultanan Ottoman, yang didirikan oleh Sultan Osman I tahun 1299. Akhir Kesultanan Ottoman lebih tragis dibandingkan akhir Kekaisaran Romawi Byzantium.
Sejarah kekuasaan Kekaisaran Romawi Byzantium diakhiri oleh Ottoman pada tahun 1453. Sementara, Kesultanan Ottoman, selain diakhiri oleh kekuatan asing karena kalah dalam PD I juga oleh kekuatan dalam negeri, kaum nasionalis.
Selama empat tahun, Sultan Mehmed VI dan keluarganya tinggal di San Remo atas undangan Raja Italia, Vittorio Emanuele III. Raja Emanuelle III dan PM Benito Mussolini sempat menengoknya di San Remo. Sultan sempat naik haji. (Daily Sabah).
Pemerintah Turki membuka konsulat di Genoa, untuk mengamat-amati Sultan Mehmed VI dan keluarganya. Bahkan, pemerintah Turki menyusupkan informannya di lingkungan Sultan. Maka, Sultan Mehmed VI selalu mengantongi pistol. Sebab, ia khawatir ada orang yang akan membunuhnya.
Selama di pengasingan, Sultan Mehmed VI terus memikirkan negerinya. Ia sangat yakin bahwa rakyat Turki tetap setia padanya. Ia juga yakin dapat kembali ketika situasi telah tenang. Ia masih belum rela kehilangan kekuasaan warisan leluhurnya. Hingga tahun 1924, ia berusaha mati-matian untuk merebut kembali takhta.
Namun, akhirnya ia putus-asa. Kenyataan yang menang. Kesultanan dihapus digantikan Republik Turki. Ia hidup di pengasingan. Maka, ia benar-benar kecewa dan meninggal pada tahun 1926 dalam kekecewaan dan kemiskinan. Ia kehabisan uang dan bahkan menjual medali-medalinya. Karena saking tidak punya uang, Sultan yang kekuasaannya pernah membentang begitu luas itu, tak mampu menebus resep dokternya. Resep dokter itu ditemukan di bawah bantalnya.
Tragedi itu tak berhenti, bahkan setelah mati. Peti jenazahnya disita karena utangnya kepada toko-toko di San Remo. Jenazahnya tidak dapat dikubur selama berhari-hari. Akhirnya, utangnya dapat dibayar dengan uang yang dikumpulkan dari masyarakat. Jenazah sultan dibawa ke Damaskus dan dimakamkan di sana (Daily Sabah).
Sebelum meninggal, Sultan Mehmed VI, sempat menulis memoar meski tidak rampung. Dalam memoarnya itu, antara lain ia menulis: “Saya punya tiga kesalahan: Naik takhta, mendengarkan orang-orang di sekitar saya, dan memercayai kesetiaan rakyat,” katanya.
Ia menggambarkan pemerintahannya sebagai penangkal petir. “Kami bertindak sebagai penangkal petir untuk melindungi negara. Begitulah takdirnya!”
***

Sambil meninggalkan Istana Dolmabahçe, yang sore itu terasa makin dingin, karena hembusan angin dari Selat Bosporus di penghujung Musim Dingin, saya renungkan yang dikatakan Sultan Mehmed VI itu. “Begitu takdir kekuasaan?” Benarkah demikian? Sambil menikmati cappuccino di Saat Kule Kafe di depan istana, untuk sekadar mengusir rasa dingin, masih saya renungkan perkataan Sultan Mehmed VI itu. Takdir kekuasaan….
Memang begitu takdir kekuasaan. Kata Paus Fransiskus, takdir kekuasaan bukanlah untuk menguasai atau memaksakan kehendak, melainkan untuk melayani dan berpihak pada yang lemah, serta mendorong keadilan sosial dan perdamaian, bukan untuk memaksakan visi tunggal. ***
Foto-foto lain:
Sangat mencerahkan dan bermanfaat sebagai pengetahuan utk meresapi –seperti apa itu karakter manusia tempo doeloe. Salam Pandito.
Artikel yg bagus…dimana kita bisa belajar dari kejadian sejarah Turki ini……orang orang disekitar Sultan sangat penting memberikan bisikan panting dan tepat sehingga Sultan tak salah mengambil langkah terhadap kekuasaan yg sdh 600 tahun di genggam generasi Sultan sebelumnya..,…
Politik memang sangat “ kejam” …..😭😭😭
Ada benarnya ujaran filsuf Plato bahwa pemimpin itu haruslah pemikir. Dia akan merenungkan kepemimpinan itu apa, berapa lama dan akan menghasilkan apa bagi yang dipimpin. Ibarat seorang artis yang harus turun panggung dengan anggun sebelum tepuk tangan penonton mereda dan sunyi senyap. Apalagi jika muncul hujatan-hujatan.
Terima kasih, sangat mencerahkan. Kekuasaan bisa lapuk kalau penguasa hanya mendengarkan orang terdekat tapi tuli thd jeritam rakyat yg menderita.
Terima kasih atas penggambaran akhir kekuasaan dan hidup yang sendu dari Sultan Mehmed VI . . . . Sungguh tragis !
Ottoman, sebagai sebuah caliphate, tetap menjadi sumber inspirasi bagi sekelompok tertentu. ISIS muncul, dan berkembang, seiring dengan berkembangnya medsos. Rekrutmen anggota ISIS, sebagai contoh, mengacu pada imajinasi caliphate di satu sisi, dan penggunaan media sosial sebagai tools. UNESCO (2021) mencatat fenomena backsliding democracy – ketika semakin banyak manusia dibingungkan oleh berbagai sumber informasi tanpa kurasi. Manusia era post-truth justru lebih banyak digerakkan oleh emosi dan sensasi, meninggalkan kapasitas kognitif untuk bernalar secara objektif. Tulisan untuk meninjau sepotong sejarah ini berkontribusi untuk memberikan asupan kognitif, agar kita tidak terjebak ke dalam letupan dan sensasi emosi belaka.