
Bunga tulip merah, kuning cerah, kuning kunir, jinga, putih, dan merah jambu seperti berlomba memamerkan kecantikannya. Mereka memang indah. Indah bermekaran di hamparan rumput hijau di halaman dan taman-taman Topkapi Sarayi, Istana Topkapi, Istanbul, pagi itu.
Memang, bunga apa pun termasuk tulip, mekar mewakili keindahan. Namun, walau mewakili keindahan, mereka tidak pernah sombong. Mereka diam-diam mekar; dan diam-diam pula layu ketika tiba saatnya, sementara keindahannya sudah dinikmati manusia.
Semua bunga, termasuk tulip yang begitu indah, cantik memesona itu, harus ikhlas layu; lalu giliran selanjutnya, harus ikhlas pula dibuang sebagai sampah. Begitulah, ritme kehidupannya: dipuja-puja, disanjung-sanjung, dicintai, lalu dibuang karena telah layu, jadi sampah. Ia tidak akan protes. Dan, tidak pula patah hati. Bila saatnya datang, ia akan tumbuh dan mekar kembali.
Apa pun kisah hidup bunga hidup yang habitat aslinya dari daerah Asia Tengah, sekarang Kazakhstan (masuk pusat Kekaisaran Ottoman–sekarang Turki–pada abad ke-11; lalu pada abad ke-16 dibawa ke Belanda yang kemudian menjadi “rumah”-nya), kehadirannya menjadi pertanda. Bunga lambang firdaus di bumi dan cinta ini, saking eloknya, tumbuh dan mekar ketika memasuki akhir musim dingin atau awal musim semi. Maka dikatakan, bila tulip bermekaran pertanda bahwa musim semi telah datang.
***

Topkapi Sarayi, tidak hanya tentang tulip. Tapi, tentang sejarah panjang politik, kekuasaan, pemerintahan, juga budaya Ottoman. Selama hampir 400 tahun Topkapi Sarayi menjadi pusat kekuasaan dan pemerintahan Kekaisaran Ottoman, yang berkuasa lebih dari 600 tahun.
Sejarah mengisahkan, Kesultanan Ottoman yang pernah menguasai dan memerintah wilayah Timur Tengah, Afrika Utara, dan Eropa Timur, didirikan oleh Osman I, pada tahun 1299 (Historians of the Ottoman Empire). Maka, kerajaannya disebut Ottoman; Osman dalam bahasa Arab adalah “Uthman”, Ottoman.
Pasukan Ottoman pertama kali menyerbu Eropa pada tahun 1345. Mereka menyapu bersih Balkan. Lalu, pada tahun 1453 Ottoman, di bawah Mehmed II (Sang Penakluk), menghancurkan Kekaisaran Bizantium, Romawi Timur dan merebut ibu kotanya, Konstantinopel (sekarang Istanbul), yang selanjutnya menjadi ibu kota Ottoman.
Mehmed II lah yang memerintahkan pembangunan Istana Topkapi, 1459. Ia tinggal di sana sejak tahun 1478, hingga kematiannya tiga tahun kemudian. Sekitar 22 sultan memerintah dari Istana Topkapı. Maka Istana Topkapi menjadi simbol kekuasaan sampai pada tahun 1853, ketika Sultan Abdülmecid I memindahkan istana sultan ke Istana Dolmabahçe.
***

Seperti tulip, yang ketika sedang mekar sangat dikagumi karena keindahannya. Tapi, begitu layu dibuang sebagai sampah. Sebab, bukankah, tidak ada musim dingin yang berlangsung selamanya; dan tidak ada musim semi yang melewatkan gilirannya.
Demikian pula Kesultanan Ottoman, yang pada masanya pernah sangat dikagumi, dihormati karena kekuatan dan kekuasaannya. Namun, pada akhirnya, sampai juga di terminal terakhir kekuasaannya.
Sultan ke-36 Kesultanan Ottoman, Mehmed VI, menjadi penguasa terakhir dan tidak hanya dipaksa turun takhta oleh kaum nasionalis pimpinan Mustafa Kemal Atarturk, tapi juga harus meninggalkan Turki. Akhirnya, ia meninggal di tempat pengasingannya, San Remo, Italia tahun 1926. Itu terjadi, tiga tahun setelah Republik Turki lahir dan memindahkan pusat pemerintahannya ke Ankara.
Istanbul lambang keagungan Ottoman, ditinggalkan. Kemal Atarturk tidak mau dibelenggu masa lalu. Ia menentukan sendiri masa depan Turki. Bagi Kemal Atarturk, biarlah masa lalu ada di dunia masa lalu, dan masa depan adalah dunianya. Kata pepatah, “The past is a closed door, the present is an open one, and the future is an approaching one.”
Kalau bunga tulip menjadi bagian akhir musim dingin dan awal musim semi, dan menjadi pertanda awalnya musim baru, Turki di tangan Kemal Atarturk pun menjadi penanda awal sejarah baru Turki.
Demikian juga dahulu, Kesultanan Ottoman pun menjadi penanda. Ottoman penanda berakhirnya Kekaisaran Romawi Timur, yang berpusat di Konstantinopel (Istanbul) sejak 395, pada 1453 (Sementara Kekaisaran Romawi Barat yang berpusat di Roma, sejak 395 sudah berakhir 480 (476).
Padahal di masa jayanya, kekuasaan Kekaisaran Romawi secara keseluruhan meliputi wilayah-wilayah Eropa, Afrika Utara, dan Timur Tengah. Maka muncul istilah imperium sine fine, kekaisaran tanpa akhir, karena semua wilayah ada di tangannya. Tetapi, segala sesuatu di muka tidak ada yang abadi; termasuk kekuasaan!
Dan, berakhirnya Kesultanan Ottoman menjadi pertanda lahirnya Republik Turki, satu-satunya negara di dunia yang wilayahnya ada di dua benua–Asia dan Eropa. Turki, negara dengan dua wajah–Asia dan Eropa–layaknya kekuasaan yang memiliki banyak wajah, juga seperti tulip yang aneka warna….
Tulip dan kekuasaan, sama-sama indah memesona. Hanya saja, selain indah memesona, kekuasaan juga sekaligus menggetarkan…Tremendum et Fascinosum, meminjam istilahnya, Rudolf Otto.
Tetapi, pagi itu, saya menyaksikan keelokan aneka warna tulip, birunya langit dan air Selat Bosporus yang indah gemerlapan diterpa sinar matahari, daratan Asia, kapal-kapal yang lalu lalang di Selat Bosporus, dan begitu banyak wisatawan yang mengunjungi Topkapi Sarayi, warisan kebesaran Kesultanan Ottoman…
Dan, di luar istana saya mendengar cerita belum lama ada demonstrasi dan kerusuhan yang dipicu oleh penangkapan tokoh oposisi terkemuka Turki. Menurut kantor berita Reuters (28/3) tindakan itu telah mengirimkan gelombang kejut ke sektor swasta, yang memaksa perusahaan untuk memikirkan kembali strategi dan bertahan dalam periode ketidakpastian dan potensi ketidakstabilan ekonomi.
Meski demikian, saya masih bisa menikmati kopi turki dan kebab… di sebuah warung makan tak jauh dari Masjid Agung Hagia Sophia, yang memiliki cerita panjang dan sangat menarik dari zaman ke zaman….***
Foto-foto lainnya:
Foto: Trias Kuncahyono
Mo

Mosaik di ruangan marmer, bagian atas Masjid Agung Hagia Sophia, Istanbul menggambar Yesus diapit Bunda Maria dan Yohanes Pembaptis.
Selat Bosporus…dipotret dari Istana Topkapi (Foto: Trias Kuncahyono)
Dari kiri ke kanan: kaftan berbahan sutera dan katun milik Sultan Osman II (bertakhta, 1604 – 1622); pakaian berbahan wool, sutra, lalu sulaman benang perak dan logam milik Sultan Mahmud II (bertakhta 1808 – 1839); dan kaftan berbahan campuran sutera dan katun pertengahan abad ke-17. Semuanya disimpan di Museum Kopkapi.
Hagia Sophia
Masjid Biru atau Masjid Sultan Ahmed di Istanbul, dibangun pada tahun 1609 – 1617 di zaman Sultan Ahmed I.
Artikel yang menarik ygmenceritakan kejayaan jaman ottoman di Turki dan sekarang tinggal musium.. …suwun Mas Trias
Terima kasih Dab . . . Kisah Ottoman yang menarik . . . Menambah dan memperdalam pengetahuan tentang Turki . . .
Matur nuwun pak Dubes. Artikel yg.memperkaya wawasan. Sejarah menjadi semakin hidup dengan ilustrasi yg luar biasa.
Kalau Pak Dubes kagum akan bunga Tulip yang diam diam mekar dan diam diam layu, dan tidak sombong. Kalau saya paling saya sukai adalah musim gugur di daerah yang punya 4 musim. Daun daun itu, ketika hampir mati, justru menampilkan keindahan yang belum pernah mereka tampilkan semasa hidupnya. Daun daun itu ada yang masih hijau, ada yang kuning, ada yang merah, ada yang orange dsb. Daun-daun itu sangat luar biasa indahnya. Ketika hampir mati, daun-daun itu justru mengeluarkan warna yang terbaik yang dia miliki, yang tidak pernah muncul selama hidupnya.
Kalau manusia itu bisa seperti itu, ketika semakin tua semakin mampu menampilkan keindahan yang luar biasa, yang belum pernah ia tampilkan, maka dunia akan menjadi indah, menjadi tempat kediaman bersama dengan keanekaragamannya.
Inilah surga di dunia yang sangat luar biasa.
Saya terinspirasi oleh ide bahwa kita harus rela layu, dibuang. Ini sungguh meninggalkan ego. Terima kasih