SELAMAT JALAN, PROF….

Sudah lama saya kenal Azyumardi Azra, putra Lubuk Alung, Padang Pariaman, Sumatera Barat (4 Maret 1955). Guru Besar Sejarah Fakultas Adab UIN Sjarif Hidayatullah,  Jakarta, ini selalu saya sapa, Prof.

Saya begitu terkejut ketika mendengar kabar bahwa Prof Azra dipanggil Tuhan (18 September 2022). Inna lillahi wa inna ilayhi raji’un. Dua hari sebelumnya saya mendengar kabar Prof Azra, jatuh sakit di Malaysia dan dirawat di Serdang Hospital, Selangor.

Selama ini, nyaris setiap minggu, kami berhubungan, saling menyapa.Walau pendek-pendek, saling ngaruhke, bertanya tentang kabar dan saling mendoakan agar selalu sehat dan dilimpahi berkat Tuhan. Ketika saya menulis di kredensialnews.com tentang Anang Akhmad Syaifuddin (ketua DPRD Lumajang), Prof Azra berkomentar, “Bagus Bung Trias. Luar biasa keteladanannya.” Prof Azra, memang selalu memanggil saya, “Bung Trias.”

Sebelumnya, ketika saya menulis tentang rektor Unila yang tersandung kasus, Catatan Hitam Pak Rektor, Prof Azra berkomentar, “Mantul Bung Trias. Mengalir, tajam, dan reflektif. Tks.”

Sebelum saya menulis kolom itu, saya berdiskusi dengan Prof Azra. Ketika itu, saya bertanya, “Prof, apa yang selalu dipikirkan ketika mendapat amanah menjadi rektor?” Prof Azra menjawab, “Dlm pidato pertama di dpn senat univ, dosen n staf sy tegaskan, mrka bebas berimajinasi n brkreasi tanpa banyak petunjuk, pengarahan, juklak juknis. Hanya 1 yang tak boleh; KORUPSI—siapapun pelakunya bakal sy pinalti 12 pas.”

Di waktu lain, ketika saya menulis artikel Taliban Pertaruhkan Rakyat Afganistan di harian Kompas (26/8), Prof Azra kirim komentar sebagaimana biasa lewat WA, “Bagus Bung  Trias. Sdh baca tadi pagi. Slmt.” Beberapa kali kami “manggung” bersama. Setiap kali “manggung”, saya banyak mendapat pengetahuan darinya. Dan, biasanya memang saya manfaatkan untuk bertanya tentang banyak hal. Terakhir  “manggung” bersama pada tanggal 25 Agustus 2022, ketika sama-sama menjadi pembahas buku karya wartawan Kompas, Musthafa Abdul Rahman.  Saya pernah bersama Prof Azra, “manggung” di Tunisia, bicara soal demokrasi dan revolusi.

Belum lama ini, Prof Azra yang pernah menjabat sebagai Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1998-2006, didapuk  menjadi Ketua Dewan Pers Periode 2022-2025. Saya rasa, ini pilihan yang tepat, karena setumpuk alasan.

***

Kerap kali saya ngontak Prof Azra untuk bertanya beberapa hal yang saya yakini dia tahu. Misalnya soal toleransi beragama, radikalisme, pemikiran-pemikiran Islam, juga soal hubungan agama dan negara. Dan, Prof Azra selalu menjawab WA saya. Bukan hanya menjawab, tetapi cepat menjawab pertanyaan-pertanyaan saya dengan senang hati. Dan, dia selalu menulis, “Bung, kalau masih ada yang kurang dan ingin ditanyakan, silakan kontak. Tks.”

Suatu ketika, kami berdiskusi kecil lewat WA tentang radikalisme dan politisasi agama. Ketika itu, Prof Azra mengatakan (menulis), salah satu tantangan Indonesia saat ini adalah mencegah paham radikalisme dan kekerasan atas nama agama. Keduanya disebarkan dengan sengaja. Mengapa bisa terjadi seperti itu? Kata Prof Azra, kondisi politik Indonesia rentan disusupi provokasi atas nama SARA.

Kata Prof Azra, politisasi agama muncul karena adanya pemahaman atau interpretasi tertentu terhadap keyakinan dan praktik keagamaan.  Tetapi,  politisasi agama tidak bisa berjalan efektif, publik tidak terpengaruh. Waktu itu, saya bertanya, apa iya publik tidak terpengaruh, nyatanya terjadi di mana-mana, dan muncul setiap kali akan pilkada atau pemilu.

Kita sulit memungkiri bahwa politisasi agama di negeri ini menjadi fenomena yang “lumrah” dalam setiap kontestasi politik, baik itu pilkada maupun pemilu. Yang setiap kali terjadi adalah menjelang pemilu sejumlah tokoh politik, elite politik dan partai politik mulai melakukan safari politik atau apapun namanya mencari dukungan para pemimpin agama.

Wajar kalau melihat hal semacam itu, banyak yang mengkhawatirkan dan mencemaskan akibatnya. Sebab, langkah politik seperti itu, bisa atau malahan akan mencederai atau malahan merusak persatuan dan kesatuan bangsa. Kata Prof Azra, politisasi agama merupakan ekspresi hawa nafsu. Mengendalikan nafsu–segala macam nafsu, termasuk nafsu politik–memang tidak mudah; dibutuhkan usaha dan niat yang luar biasa serta tentu ketulusan hati. Apalagi kalau sudah menyangkut nafsu akan kekuasaan, bisa tidak hanya membutakan mata tetapi bahkan membutakan hati.

Saya masih ingat yang dikatakan Prof Azra  tentang syarat yang harus dipenuhi bangsa ini kalau mau memeluk modernitas. Kata Prof Azra, bangsa ini harus memiliki rasionalitas, demokratis, toleran terhadap perbedaan, berorientasi ke depan (future oriented) tidak ke belakangan (backward looking). Soal toleransi, misalnya, masih menyisahkan “titik-titik hitam”. Demikian juga soal rasionalistas. Banyak kali, kita mendengar dan membaca pernyataan-pernyataan yang tidak rasional. Apalagi akhir-akhir ini ketika semua partai sudah mulai siap-siap untuk mengikuti pemilu.

Yang saya catat, dan saya senang adalah Prof Azra memiliki sikap kritis dan tidak segan menyuarakan pemikirannya yang bersifat korektif, dengan tetap obyektif dan bijak sebagai intelegensia guru bangsa, seperti Buya Syafii Maarif.

Misalnya, soal demokrasi. Kata Prof Azra, secara kualitas demokrasi  mengalami penurunan secara bertahap. Kondisi ini bisa mengakibatkan hilangnya kualitas demokrasi sehingga bisa mengarah pada rezim otoriter. Ia mengatakan hal itu, saat memberikan kuliah  umum pada proses wisuda di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera, Kamis (8/9).

Kata Prof Azra, hal lain yang menyebabkan mundurnya demokrasi,  adalah makin lemahnya institusi politik yang menjadi penopang sistem demokrasi. Ia menggambarkan penurunan kualitas demokrasi itu bisa dilihat dari hajatan pemilu yang tidak kompetitif, pembatasan partisipasi, lemahnya akuntabilitas pejabat publik, penegakan hukum yang tidak adil, dan sebagainya.

***

 

Azyumardi Azra dan Buya Syafii Maarif (foto: Istimewa)

Negeri ini masih harus berjuang lebih keras lagi dan membutuhkan komitmen bersama  untuk sampai bisa benar-benar memeluk modernitas, seperti yang Prof Azra katakan. Tetapi, Prof Azra yang oleh Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir (muhammadiyah.or.id) Minggu (18/9), disebut sebagai cendekiawan muslim dan intelektual bangsa yang maqomnya sudah begawan atau ar-rasih fil-‘imi, sudah lebih dulu berangkat, menyusul Guru Bangsa Buya Syafii Maarif. Padahal, pemikirannya yang senantiasa jernih dan komprehensif,  menggambarkan kedalaman dan keluasan ilmu, serta sikap keterbukaan hati kepada siapa saja, masih sangat dibutuhkan bangsa ini.

Tetapi, Tuhan berkehendak lain. Terima kasih Prof, telah menjadi teman diskusi selama ini, dan guru. Selamat jalan, Prof….

Bagaimana menurut Anda artikel ini
+1
0
+1
0
+1
19
+1
7
Kredensial