Saat ini, dunia sedang menyaksikan kebangkitan beberapa aspek terburuk dari geopolitik tradisional: persaingan kekuatan besar, ambisi kekaisaran, perebutan sumber daya (Foreign Policy, September/Oktober 2022).
Hal itu tampak nyata setelah Rusia menginvasi Ukraina, Februari 2022. Invasi militer tersebut tidak hanya menyebabkan bencana kemanusiaan dengan menewaskan ribuan orang, memaksa ribuan orang lainnya untuk mengungsi, menghancurkan kota-kota di Ukrina, tetapi juga telah menyebabkan akibat buruk lainnya.
Dampak invasi militer itu telah terlihat pada ekonomi global terutama produsen komoditas dan rantai pasokan global. Secara global, Ukraina adalah produsen terkemuka produk pertanian. Bahkan Ukraina disebut sebagai “keranjang roti” (breadbasket) dunia, karena memproduksi sejumlah besar gandum, barley, kentang, dan gandum hitam. Akibatnya terjadi krisis bahan pangan (juga bahan bakar dan gas) di Eropa dan banyak negara lain yang selama ini menggantungkan kebutuhan gandum dari Ukraina.
Selain itu, Ukraina juga salah satu produsen teratas tingkat global sumber daya alam, seperti titanium, mangan, gas, dan batu bara. Tetapi, karena perang produk sumber daya alam tersebut tidak dapat dikirim ke negara yang membutuhkan. Lebih buruk lagi, karena banyak perusahaan pelayaran menangguhkan layanan ke Rusia dan harus menghindari Laut Hitam karena konflik. Akibatnya, rantai pasokan yang sudah rapuh semakin rapuh.
Risiko geopolitik—persaingan kekuatan besar dengan terlihat semakin nyata setelah terjadinya invasi Rusia ke Ukraina; juga di kawasan Indo-Pasifik antara AS dan China—ini bertabrakan dengan tantangan baru yang kompleks yang menjadi pusat era kontemporer, seperti perubahan iklim, pandemi, dan proliferasi nuklir. Persaingan itu telah membuat hampir tidak mungkin bagi negara-negara besar untuk bekerja sama dalam tantangan regional dan internasional.
Kondisi seperti itu telah menegaskan lingkaran setan persaingan geopolitik yang semakin ketat mempersulit untuk menghasilkan kerja sama yang dituntut untuk menyelesaikan masalah-masalah global baru.
Sebelum invasi militer Rusia ke Ukraina, dunia sudah dihantam pandemi Covid-19. Pandemi ini telah mengirimkan gelombang kejut ke seluruh perekonomian dunia dan memicu krisis ekonomi global terbesar dalam lebih dari satu abad (World Development Report 2022, World Bank). Krisis berdampak dramatis pada kemiskinan dan ketidaksetaraan global.
Kemiskinan global meningkat untuk pertama kalinya dalam satu generasi, dan hilangnya pendapatan yang tidak proporsional di antara populasi yang kurang beruntung menyebabkan peningkatan dramatis dalam ketidaksetaraan di dalam dan di seluruh negara. Akibat krisis masih terasa hingga sekarang. Bahkan tahun depan diperkirakan akan terjadi resesi dunia. Menurut Ned Davis Research, ada peluang 98,1 persen resesi global.
“Stronger Together”
Dalam situasi dunia seperti itu, Indonesia memegang mandat kepercayaan sebagai presidensi G20. G-20 memiliki anggota 19 negara, dan satu organisasi regional yaitu Uni Eropa. Sebagai forum ekonomi utama dunia, G-20 memiliki posisi strategis. Oleh karena, secara kolektif mewakili sekitar 65 persen penduduk dunia, 79 persen perdagangan global, dan setidaknya 85 persen perekonomian dunia (g20.org).
Data ini menunjukkan potensi besar yang dimiliki oleh G-20 untuk membangun kerja sama ekonomi yang saling menguntungkan di antara sesama anggotanya.
Hanya saja, negara-negara anggota G20 saat ini juga merasakan akibat buruk—dalam bidang ekonomi—akibat pandemi Covid-19 dan invasi militer Rusia ke Ukraina. Misalnya, Eropa menghadapi prospek resesi dari risiko yang sebagian terkait dengan perang Ukraina; Ekonomi China goyah di bawah kebijakan nol-Covid yang masih ketat; krisis energi musim dingin mungkin akan segera terjadi (The Economic Times, 13 Oktober 2022).
Maka itu, slogan G20 yakni Recover Together, Recover Stronger, menjadi sangat tepat dan lebih bermakna.
Dengan slogan itu, Indonesia yang memegang presidensi mendorong semua negara untuk bekerja sama mencapai pemulihan dunia yang lebih kuat dan berkelanjutan di tengah perekonomian dunia yang masih terkena dampak pandemik Covid-19 ditambah akibat invasi militer Rusia ke Ukraina. Tidak ada cara dan jalan lain dalam proses pemulihan perekonomian dunia kecuali lewat tindakan kolektif, yang sayangnya sekarang ini—kerja sama secara global—sedang menghadapi tantangan berat.
Kata Menlu Retno Marsudi, sejak awal Indonesia sudah bekonsentrasi bagaimana G20 dapat menghasilkan kerja sama konkret. Sebab, pandemi covid-19 mengungkap keterbatasan WHO dan keengganan atau ketidakmampuan negara-negara maju bahkan kaya untuk menanggapi krisis yang sebenarnya memiliki banyak alasan untuk diantisipasi. Akibatnya, sekitar 15 hingga 18 juta orang di seluruh dunia sejauh ini meninggal.
Suatu “Test-Case”
Dunia yang retak oleh perang, guncangan harga komoditas, kemungkinan resesi besar, tekanan pasar keuangan, dan kemunduran menuju deglobalisasi, dan krisis kesehatan yang berkepanjangan yang memicu atau mempercepat banyak masalah tersebut, menjadi tantangan besar dan berat bagi G20.
Karena itu, tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa KTT G20 yang akan digelar di Bali, pada 15-16 November mendatang, akan menjadi semacam test case apakah para pemimpin besar mampu bekerja sama dan bekerja bersama untuk dunia.
Indonesia, memang, selama ini dikenal sebagai “bridge builder”, sehingga trust, kepercayaan dunia dan G20 pada Indonesia sudah ada. Karena itu, diharapkan bahwa KTT G20 di Bali akan menorehkan catatan besar dan penting bagi penyelamatan dunia yang sekarang ini kalau kita melihat gambaran geopolitik di antara kekuatan-kekuatan besar, semakin gelap.
Meski demikian, mengupayakan terciptanya kerja sama antar-para pemimpin dunia yang saat ini sangat dibutuhkan untuk menyelamatkan dunia, merupakan tantangan besar dan berat bagi Indonesia sebagai pemegang presidensi. Sekalipun kesuksesan sebuah perhelatan, apalagi ini perhelatan tingkat dunia, tidak hanya tergantung pada tuan rumah, akan tetapi juga pada para tamunya.
Semoga saja, meminjam yang dikatakan Vladimir Lenin tahun 1917, “There are decades where nothing happens, and there are weeks where decades happen”, bisa menjadi kenyataan. Semoga demikian, Indonesia memenangi pertaruhan kali ini. ***
* Artikel ini, sudah dimuat di harian Kompas, edisi 4 November 2022.
Opini yang bagus Pak Trias. 👍
Betul sekali. Saat ini perekonomian terasa makin suram, resesi, masalah energi, ketahanan pangan, dan sederet persoalan lainnya.
Sewaktu pertemuan Pres Jokowi dengan Pres Putin di Moscow yang lalu dasar Indonesia untuk penghentian perang sangat tepat. “Perang ini tragedi kemanusiaan”, keterangan resmi Presiden Jokowi. Harus distop apapun alasannya.
Menyetop perang tidak bisa dg perang. Semua orang sudah tahu bahwa Rusia yang menginvasi. Saya yakin Rusia juga menyadari ini. Tetapi reaksi Blok Barat yang sangat besar secara militer dan dengan sanksi ekonomi ternyata tidak mampu menghentikan perang.
NATO habis-habisan membela Ukraina. Sampai-sampai Finlandia dan Swedia juga resmi join persekutuan Atlantik Utara itu.
Sebetulnya tidak ada yang gembira dg perang Eropa ini, kecuali kelompok industri militer Barat. Jadi kapan perang selesai? Eh AUKUS semakin garang malahan dalam
pernyataan resminya berkata akan “menjamin keamanan Asteng” kata Blok Barat.
Bulan ini Indonesia akan mjd tuan rumah KTT G-20. Bagi kita ini adl peluang. Setuju dg pandangan Pak Trias. Kita adl sahabat bagi semua negara dan bangsa termasuk G-20 itu.
Indonesia selalu berusaha membuat semua negara merasa nyaman untuk berpartisipasi dalam pertemuan apa pun, dengan begitu mereka bisa mendiskusikan berbagai isu yang menjadi perhatian bersama. Ini adalah kesempatan bagi kita untuk menjelaskan bahwa peran kita sebagai tuan rumah tidak saja kata-kata tetapi bukti.
Ada program dan usulan konkrit terkait tema G-20 yakni Recover Together, Recover Stronger”.
Melalui tema tersebut, Indonesia ingin mengajak seluruh dunia untuk bahu-membahu, saling mendukung untuk pulih bersama serta tumbuh lebih kuat dan berkelanjutan.
Dengan kedatangan semua Kepala negara G20 mereka bisa membahas segala hal yang menjadi permasalahan global saat ini dengan nyaman.
Terakhir, Indonesia harus menghindari potensi forum tersebut untuk dimanfaatkan sebagai ajang persengketaan terkait masalah Ukraina.
G20 ini adalah organisasi finansial dan ekonomi. Jangan masalah Rusia dan Ukraina, yang merupakan masalah Eropa, menyandera penyelesaian global ke dalam forum ini.
Tugas Indonesia, sesuai konstitusi, sesuai dan amanat adalah mendorong agar isu-isu dunia ketiga tetap bisa diselesaikan dalam forum G20, dan forum tersebut banyak menyelesaikan masalah yang dihadapi negara dunia ketiga.
Semoga perhelatan G20 Summit sukses. Doa kita semua!
Sangat mencerahkan.
Semoga Indonesia bisa menjadi jembatan itu yang menghubungkan kedua belah pihak. Dunia menderita dengan adanya perang Rusia – Ukraina. Dampaknya ternyata sangat luas melampui ke dua negara.
Kalau G-20 berhasil, akan menjadi catatan sejarah peradaban damai yang disponsori oleh Indonesia. Semoga demikian.
Pencerahan yg sangat bermanfaat dan mencerahkan. Out come dari pencerahan tersebut, bangsa Indonesia harus tetap optimis sbg tuan rumah KTT G-20. Sebagai tuan rumah, harus kita dukung pesta besar G-20. Horas bah.
Berharap yg terbaik untuk dunia dan Indonesia di G20.
Harapan ada di pertemuan G-20 ini. Semoga Indonesia bisa memerankan peran kunci nya walau tidak gampang
Apiiiik Mas tulisannya amat bernas dan bermakna. Dunia memang sdg tidak baik baik saja Semoga Pak Jokowi bisa mengemban tugas dengan baik.
Wah… Makasih, bisa refresh ttg geopolitik om. Semoga perhelatannya sukses dan membuahkan hasil kebaikan bagi seluruh bangsa.
Semoga para pemimpin mengedepankan semangat rekonsiliasi demi kesejahteraan bersama warga planet ini, warga yg hidup sekarang dan generasi mendatang. Tks Broer Trias atas pencerahannya.
Indonesia kiranya berhasil meyakinkan dunia bhw lomba senjata dan peperangan utk menanamkan hegemoni hrs disudahi. Penduduk dunia makin padat shg tanggungjawab setiap negara thdp rakyatnya semakin besar. Pemenuhan kebutuhan melalui perdagangan yg fair masih lebih mendesak drpd perlombaan senjata.