BRUTUS DAN YUDAS

    Foto: pngtree

Cerita Marcus  Yulius Brutus adalah cerita pengkhianatan klasik. Demikian juga cerita Yudas Iskariot adalah kisah pengkhianatan. Bersama saudara iparnya, Gaius Cassius Longinus, Brutus membunuh Yulius Caesar.

Maka mereka dalam catatan sejarah disebut sebagai pengkhianat. Dante Alighieri dalam Inferno salah satu dari tiga bagian–dua lainnya adalah Purgatorio dan Paradiso–The Divine Comedy (La Divina Commedia atau La Commedia) bahkan menyebut mereka sebagai pengkhianat terbesar dalam sejarah manusia.

Meskipun dalam perjalanan sejarah umat manusia selalu muncul pengkhianat-pengkhianat baru. Sepertinya, setiap zaman melahirkan pengkhianat baru. Dan pengertiannya pun berkembang.

Misalnya, kini ada yang mengartikan pengkhianat itu sebagai orang yang berperilaku cerdas tapi licik; perilaku tak pandai berterima kasih; haus akan kekuasaan; penusuk kawan seiring; menghalalkan segala cara demi tercapainya tujuan; mengutamakan kepentingan diri dan sebagainya.

Dalam kisah pewayangan sosok seperti itu  sering dikaitkan dengan Sengkuni, patih Kerajaan Astinapura dalam epos Mahabarata. Dialah provokator kelas wahid yang mengkhianati nilai-nilai kejujuran, yang menghalalkan segala cara demi tercapainya tujuan.

***

Patih Sengkuni (Foto: Istimewa)

Kisah Marcus Yulius Brutus pun tak jauh berbeda. Brutus (85 – 42 SM) politisi dan orator; Gaius Cassius Longinus (86 – 42 SM), seorang senator dan jenderal, demikian kisahnya.

Keduanya bersama-sama berpihak pada Pompey melawan Caesar dalam perang saudara tahun 50 SM. Caesar dapat mengalahkan mereka. Dan mengampuninya. Bahkan, keduanya dijadikan sekutunya.

Tapi, suatu ketika Brutus memimpin konspirasi untuk membunuh Caesar, pada tahun 44 SM. Kata Brutus, Caesar harus disingkirkan demi keselamatan negara.

Sebuah alasan klasik: “atas nama negara” atau “atas nama rakyat”. Seakan dengan “mengatas-namakan negara” atau “mengatas-namakan rakyat”, lantas bisa berbuat apa saja tak peduli aturan, paugeran.

Brutus khawatir, Caesar setelah semakin berkuasa akan menyalahgunakan kekuasaan; akan menghancurkan institusi-institusi republik dan menjadi pemerintahan otoritarian. Ia yakin bahwa kekhawatirannya juga kekhawatiran rakyat. Dan menganggap dirinya sebagai penyelamat negara.

Karena itu, Caesar harus mati. Kata Brutus, “Bukan saya tidak mencintainya, tapi saya lebih mencintai Roma.” Maka Caesar pun, yang telah mengampuninya, disingkirkan, dibunuh.

Cerita Brutus dan kawan-kawannya adalah kisah klasik pertama tentang pengkhianatan, pengkhianatan politik. Kisah Brutus dan komplotannya adalah juga kisah tentang kejelian mereka memanfaatkan suasana untuk kepentingannya sendiri.

***

Yudas Iskariot mencium Yesus (Foto: depositphotos)

Kisah Yudas, salah satu dari 12 rasul Yesus juga adalah kisah bagaimana sebuah pengkhianatan dilakukan. Ia terkenal karena Injil mencatat kisah pengkhianatannya terhadap Yesus gurunya. Dalam daftar nama para murid Yesus versi Sinoptik, pada nama Yudas ditambahkan keterangan ‘pengkhianat’.

Penginjil Markus dan Matius dengan jelas menyebut Yudas sebagai orang yang ‘menyerahkan’ Yesus kepada para imam dan ahli-ahli taurat dengan menerima imbalan tiga puluh kepeng uang perak.

Secara sederhana dapat dikatakan “motivasi dapat uang” menjadi alasan Yudas menjual Yesus. Padahal, Yudas selalu menyebut Yesus sebagai Rabi, guru. Sebuah sapaan hormat. Meskipun sebelumnya Yudas membayangkan andaikan Yesus menjadi mesias politik, maka ia akan mendapat jabatan, ikut menikmati kekuasaan.

Pengkhianatan Yudas dikemas sangat apik. Dan di taman Getsemani ketika memimpin rombongan yang akan menangkap Yesus, Yudas mencium pipi Yesus untuk menunjukkan kepada para pengikutnya bahwa “yang dicium itu Yesus.” Yudas memilih tanda yang ‘manis’ sekaligus ‘mematikan’: ciuman.

Sapaan hormat, Rabi, dan ciuman itu tercemar oleh motivasi dan tindakan jahat. Maka ciuman itu disebut sebagai lambang pengkhinatan. Itulah ciuman pengkhianatan. Kata Stefan Leks (Tafsir Injil Markus)Yudas tampaknya berotak cemerlang sekaligus busuk.

Begitulah kisah pengkhianatan oleh Yudas Iskariot.

***

Foto ilustrasi: depositphotos

Cerita Brutus dan Yudas, adalah cerita klasik yang selalu mengingatkan apa yang dikatakan  Marcus Tullius Cicero (106-43 SM), seorang negarawan, orator, ahli hukum, dan filsuf Romawi.

Kata Cicero, “Hostis aut amicus non est in aeternum; commoda sua sunt in aternum—lawan atau kawan itu tidak ada yang abadi; yang abadi hanyalah kepentingan.” Dalam kasus Brutus dan Yudas, kepentingan kekuasaan dan uang yang menggerakkan mereka. Di dalam diri uang  dan kekuasaan sejak semula tersimpan benih-benih pengkhianatan.

Maka,  Publillius Syrus  (85–43 SM), seorang budak dari Suriah yang dibawa ke Roma, menasihatkan,  Cave amicum credas, nisi quem probaveris”—hati-hatilah, jangan memercayai seorang teman, kecuali engkau telah mengujinya. Menguji dengan uang dan kekuasaan.

Yang dikatakan Cicero dan nasihat Syrus, rasanya perlu diingat (terutama) oleh mereka yang masih memegang teguh bahwa tujuan berpolitik, misalnya, adalah mengusahakan kemaslahatan bersama. Sebab, ada yang tidak demikian.

Ada yang mengartikan politik hanya sebagai alat atau kendaraan untuk memburu kekuasaan, kebutuhan diri, alat untuk membalas sakit hati. Maka, bisa terjadi, yang kemarin kawan, sekarang lawan; Yang kemarin musuh, sekarang kawan.

Kata orang-orang bijak, begitulah watak politik tanpa hati, tanpa kebajikan. Watak politik seperti itu selalu menjangkiti politisi yang tidak berhati meskipun berjantung seperti pohon pisang.***

Bagaimana menurut Anda artikel ini
+1
0
+1
0
+1
72
+1
16
Kredensial