BUNG KARNO DI OMAH PETROEK

             Dok Antara

Sego kucing dan bakso. Itulah menu utama hari Rabu (23/8) siang di Omah Petroek, saat kerawuhan tamu agung: Presiden kelima (2001-2004) Republik Indonesia Ibu Megawati Soekarnoputri.

Yang nyambut Bu Mega, rakyat jelata, wong cilik, wong ndeso, dan seniman. Tidak ada pejabat tinggi. Tak ada sekat-sekat antara rakyat biasa, para seniman, dan tamu-tamu terpandang yang menyertai Bu Mega.

Tidak ada pula garis-garis pemisah antara yang wangi dan yang bau keringat; yang bersepatu dan yang bersandal jepit atau cekeran; yang sekolah tinggi maupun yang hanya sempat merasakan bangku sekolah dasar; yang kerja kantoran dan yang saban hari bergelut dengan lumpur di sawah atau di kebon; yang tahu seni bahkan menggeluti dan yang  mengartikan seni sebagai tontonan semata-mata  serta acara siang itu sebagai hiburan di tengah cuaca panas yang seperti biasanya.

Omah Petroek, memang rumahnya rakyat dan seniman. Maka yang ada adalah rakyat dan seniman. Hasrat naluriah seniman adalah bertemu dengan rakyat. Kata pelukis  Sudjojono, sebagai seorang seniman—sekaligus sebagai manusia Indonesia—karya seni haruslah bercorak Indonesia.

Agar bisa bercorak Indonesia, maka seniman tidak boleh hidup terpisah dari kehidupan rakyat. Sebab, keadaan rakyat-lah yang merupakan keadaan sesungguhnya. Karya seni pun haruslah bertolak pada keadaan rakyat itu. Inilah dasar realisme!

Hasrat naluriah seniman itu kesampaian di Omah Petroek, rumah rakyat.

***
Bu Mega rawuh untuk meresmikan patung Bung Karno setinggi enam meter. Peresmian keberadaan patung Bung Karno karya perupa/pematung Dunadi di Omah Petroek dilakukan di tengah kontroversi patung proklamator itu di daerah lain.

Inilah yang membuat Romo Sindhunata rohaniawan, budayawan, yang “mbaureksa” Omah Petroek, bertanya-tanya terus. Lewat pesen pendek, Romo Sindhu menulis: “Ias, nganti seprene, aku kabeh yo ora habis mengerti kok nganti ono patung iku lan Bu Mega kerso rawuh.”

Bisa dipahami kalau Romo Sindhu bertanya-tanya. Ia tidak perlu mengeluarkan dana miliaran rupiah–karena memang pasti tidak punya–untuk mendapatkan patung penggali Pancasila itu. Patung itu “datang sendiri.”

Patung diberikan secara gratis oleh Dunadi. Kata Romo Sindhu, “Tanpo ragad. Patunge ya paringane Mas Dunadi,” seorang perupa/pematung misuwur yang telah banyak membuat patung pahlawan.

Kedatangan Bu Mega pun bagi Romo Sindhu dan warga sekitar Omah Petroek adalah sesuatu yang tak terbayangkan. Sebab, Omah Petroek itu di desa. Untuk sampai Omah Petroek harus blusukan menyusuri jalan sempit di bawah rumpun bambu.

***
Mengapa Bu Mega kersa rawuh? Tanya Romo Sindhu, yang masih terus mencari jawabannya. Juga mengapa Dunadi tergerak hatinya memberikan patung Bung Karno kepada Omah Petroek?

“Ias kenapa patung Bung Karno itu dipasang di Omah Petroek? Di desa? Tidak dipasang di tengah kota (Yogya) yang memiliki hubungan historis sangat kuat dengan Bung Karno?” Begitu tanya Romo Sindhu lewat pesan pendeknya.

Padahal, sejarah sudah bercerita bahwa Yogyakarta pernah menjadi ibu kota republik ini dari 4 Januari 1946 hingga 27 Desember 1949. Selama masa itu, pusat pemerintahan dikendalikan dari Gedung Agung Yogyakarta yang berperan menjadi istana kepresidenan. Karena itu,  mengapa patung Bung Karno tidak didirikan di depan Gedung Agung, misalnya?

Lalu, pada tanggal 17 Desember 1949, Bung Karno diambil sumpahnya sebagai Presiden Republik Indonesi Serikat (RIS) di Siti Hinggil Keraton Yogyakarta. Tetapi, mengapa patung Bung Karno itu tidak diletakkan di Titik Nol melainkan di desa Karang Klethak, sembunyi tak jauh dari rumpun bambu?

Bukankah Titik Nol jauh lebih strategis dibanding Omah Petroek? Bukankah Titik Nol secara historis lebih berbobot dibandingkan Omah Petroek? Rasanya, masyarakat Yogya tidak akan menolak kalau patung Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat itu ditempatkan di Titik Nol.

Bukankah di sekitaran Titik Nol ada banyak  bangunan bersejarah. Titik Nol  menjadi titik pertemuan antara Jalan Malioboro (dari utara), Jalan Pangurakan (dari selatan), Jalan KH Ahmad Dahlan (dari barat), dan Jalan Panembahan Senopati (dari timur). Dulu, dari tahun 1970-an sampai tahun 1980-an, di tempat itu ada air mancurnya. Maka sering disebut perempatan air mancur; disebut pula perempatan kantor pos.

Ada bangunan-bangunan lama:  Kantor Pos Besar Yogyakarta, gedung Bank BNI, Kantor Perwakilan Bank Indonesia yang dahulu dipergunakan sebagai kantor de Indische Bank. Ada pula Monumen Serangan Umum 1 Maret. Pendek kata, kawasan Titik Nol adalah situs bersejarah.

***


Tetapi, Bung Karno tetap “memilih” Omah Petroek sebagai “tempat keberadaannya,” sebagai “tempat kediamannya.” Mungkin, Omah Petroek dipilih karena selaras dengan sifat, kepribadian “sang pemilik”, Petroek Kanthong Bolong.

Petroek adalah punakawan, abdi, wong cilik, gedibal. Punakawan berasal dari kata pana yang memiliki arti cerdik, jelas, terang, dan cermat dalam pengamatan, serta kawan yang memiliki arti teman atau sahabat.

Punakawan disini berarti teman atau sahabat (pamong) yang sangat cerdik, dapat dipercaya serta mempunyai pandangan yang luas, memiliki pengamatan yang tajam dan cermat. Dalam Bahasa Jawa dikenal dengan istilah tanggap ing sasmita lan impad pasanging grahita yang berarti peka dan peduli terhadap berbagai permasalahan

Maka kata ki dalang, Petroek adalah abdi yang bisa momong, momot, momor, mursid, lan murakabi. Momong, artinya bisa mengasuh, menjadi pemomong. Seorang pemomong antara lain harus memiliki sifat sabar dan mau mendengarkan.

Momot, berarti dapat memuat segala keluhan tuannya, dapat merahasiakan masalah. Ia ibarat kata menjadi “keranjang sampah.” Menerima semua keluhan bukan justru mengeluh.

Momor, artinya tidak sakit hati ketika dikritik dan tidak mudah bangga kalau disanjung. Dalam bahasa anak muda sekarang disebut tidak baperan, senang mendapat tepuk tangan.

Mursid, artinya pintar sebagai abdi, mengetahui kehendak tuannya; tidak justru minteri atau merasa lebih pintar. Dan, murakabi, artinya bermanfaat bagi sesama. Artinya, keberadaannya berguna bagi banyak orang tidak hanya bagi sekelompok kecil atau kelompoknya sendiri.

***


Kiranya, Bung Karno demikian juga. Meski Bung Karno adalah tokoh besar, pemimpin besar  tapi pemimpin bangsa yang sangat merakyat. Kata Bung Karno, “Saya ini bukan apa-apa kalau tanpa rakyat. Saya besar karena rakyat, berjuang karena rakyat, dan saya penyambung lidah rakyat” (Cindy Adams)

Karena itu, kata Bung Karno, “Aku ingin melihat kehidupan. Aku milik rakyat. Aku harus melihat mereka, aku harus mendengarkan mereka, dan bersentuhan dengan mereka. Aku merasa bahagia kalau berada di tengah mereka. Bagiku mereka adalah roti kehidupan. Aku membutuhkan massa rakyat.”

Memang, seorang pemimpin (bangsa) tanpa rakyat bukanlah pemimpin. Ia menjadi pemimpin karena ada yang dipimpin yakni rakyat. Maka pemimpin tidak bisa melupakan rakyat. Pemimpin tidak bisa menafikan keberadaan rakyat; tidak bisa menganggap sepi rakyat.

Maka itu, tidak mudah untuk menjadi pemimpin itu. Pertama-tama dan utama adalah mematikan kepentingan diri dan mengutamakan kepentingan orang lain. Untuk menjadi seorang pemimpin harus sudah selesai dengan urusannya sendiri dan bukan justru sebaliknya ingin menjadi pemimpin karena untuk memuaskan nafsu dirinya dalam berbagai kepentingan.

Pendek kata, seorang pemimpin itu mengabdikan dirinya kepada orang yang dipimpinnya; menjadi berkat serta panutan bagi bagi banyak orang, bagi yang dipimpinnya.

***
Dengan berada di Omah Petroek, Bung Karno berada di tengah-tengah rakyat. Karena Bung memang berasal dari rakyat. Ia ingin kembali ke rakyat. Karena rakyatlah jiwa suatu bangsa.***

Bagaimana menurut Anda artikel ini
+1
0
+1
0
+1
58
+1
19
Kredensial