BERKIBARLAH BENDERAKU

Foto: Istimewa

Pagi-pagi, sahabat saya, Subekti, sudah mengirimkan tulisan pendeknya tentang “Tujuh Belasan.” Tulisan pendek itu dibuka dengan alenia, yang menurut saya  menarik.

Kata dia, upacara bendera hari ini adalah penanda waktu yang penting dalam sejarah Indonesia. Hari ini kita memperingati sebuah optimisme yang mungkin berlebihan. Melawan Belanda yang didukung Sekutu hanya dengan senjata bambu (bambu runcing) memang tak mudah.

Tapi kemerdekaan tak akan tercetus andai kata sejumlah orang tak yakin penuh bahwa mereka, sebagaimana layaknya manusia, mampu mengubah sejarah.

Begitu juga kata Bung Karno (saya tidak tahu persis kapan dikatakan). Bung Karno mengatakan, kemerdekaan hanyalah didapat dan dimiliki oleh bangsa yang jiwanya berkobar-kobar dengan tekad “Merdeka, merdeka atau mati!”

Jiwa yang berkobar-kobar itu dicontohkan oleh para pahlawan nasional yang menurut sejarah telah melawan para penjajah. Sebut saja, Tuanku Imam Bonjol  Cut Nyak Dien, Pangeran Diponegoro, Sultan Hasanuddin, Pattimura, Sultan Iskandar Muda, dan masih banyak lagi.

Apa yang menggerakkan mereka? Rasa keterjajahan, ketertindasan, ketidakadilan, dan pelecehan sebagai manusia. Selama bertahun-tahun, rakyat Indonesia pada umumnya telah ditindas dan dimiskinkan oleh sistem imperialisme dan kolonialisme. Karena itu, rakyat Indonesia memperjuangkan kemerdekaan demi kesejahteraan bersama, bonum commune.

Kata Soekarno, kemerdekaan dan lahirnya negara-bangsa Indonesia terjadi karena ada keinginan Indonesia untuk menentukan nasibnya sendiri, menjadi sebuah bangsa; satu bangsa. Ada  kehendak untuk bersatu.

Dalam hal ini Soekarno  mengikuti pengertian bangsa sebagaimana dirumuskan oleh Ernest Renan (1823-1892), seorang cendekiawan Perancis.

Renan mendefinisikan bangsa sebagai jiwa spirit spiritual. Satu jiwa terletak di masa lalu dan satu lagi terletak di masa sekarang. Jiwa tersebut adalah kepemilikan bersama dari warisan memori masa lalu dan jiwa lainnya adalah persetujuan masa kini, keinginan untuk hidup bersama, dan melestarikan nilai yang diwariskan.

Secara ringkas Renan mengatakan, bangsa adalah “kehendak untuk bersatu”. Tak jauh berbeda dengan pendapat Friederich Ratzel (1844-1904) ahli geografi dan etnografi dari Jerman.

Menurut Ratzel, bangsa adalah kelompok manusia yang terbentuk karena adanya hasrat (kemauan) untuk bersatu yang timbul dari adanya rasa kesatuan antara manusia dan tempat tinggalnya.

***

Foto: Istimewa

Karena itu, Bung Karno berpendapat, bangsa atau kebangsaan tidak diasalkan dari kesamaan etnis, ras, atau agama, melainkan kolektivitas sosiologis yang terbentuk berdasarkan kehendak orang-orangnya.

Dari sinilah, Bung Karno lalu mengatakan, “Menurut jalan pikiranku, kemerdekaan bagi kemanusiaan meliputi juga kemerdekaan beragama.” ( Cindy Adams, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, 2014, 88).

Negara merdeka menurut Bung Karno, juga meliputi kemerdekaan untuk beragama serta memiliki sistem pemerintahan pro rakyat

Dalam amanatnya pada Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1954,  Bung Karno mengatakan, sikap toleransi tentu saja tidak akan mengurangi keimanan bagi siapapun dengan apapun agama yang dipeluknya. Bahkan toleransi
semakin menguatkan jati diri seseorang yang melakukanya.

Berangkat dari roh yang menggerakkan kemerdekaan–kehendak untuk bersatu–Bung Karno menegaskan pentingnya persatuan dan kesatuan bangsa. Ia mengajak segenap bangsa Indonesia bersatu.

Kata Bung Karno,  “kesatuan hati pemimpin dan rakyat Indonesia‟, adalah sangat penting. Ini sebagai gagasan utamanya. Seorang pemimpin, hatinya harus bersatu dengan hati segenap rakyat Indonesia. Persatuan dan kesatuan adalah hal mutlak yang dibutuhkan untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia

***

Foto: Istimewa

Tetapi Bung Karno mengingatkan, saat berpidato pada tanggal 1 Juni 1945,  merdeka hanyalah sebuah jembatan. Walaupun jembatan emas. Sebab, di seberang jembatan itu jalan pecah dua: satu ke dunia sama rata sama rasa, satu ke dunia sama ratap sama tangis!

Itu berarti bahwa kemerdekaan dari tangan penjajah bukan akhir perjuangan. Tetapi justru awal perjuangan yang tidak ringan. Seperti kata Bung Karno, “Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah. Namun perjuangan kalian akan lebih sulit karena melawan bangsa sendiri.”

Melawan mereka yang korup dan bermental korup, yang tidak toleran, yang mengobarkan terorisme, yang mementingkan dirinya sendiri, keluarga, dan kelompoknya, yang mengancam persatuan dan kesatuan, yang menebarkan kebencian, yang menyebarkan kabar bohong dan fitnah, yang menyemai benih-benih perpecahan bangsa dengan segala macam cara yang busuk; melawan ketidakadilan, penindasan, pelecehan harkat dan nilai-nilai kemanusiaan, melawan kebodohan dan pembodohan, kemiskinan dan pemiskinan….

Lalu, cita-cita Indonesia seperti apakah yang hendak dan harus diwujudnyatakan. Sebuah Indonesia Baru!

Indonesia baru adalah abstraksi tentang sejumlah keinginan idealistik seperti halnya empat cita-cita nasional dalam Pembukaan UUD 1945.

Mungkinkah Indonesia Baru itu akan terwujud, nanti saat negara ini berusia 100 tahun?

Langkah untuk mewujudkan cita-cita itu sudah dimulai. Babakan baru sudah mulai dikerjakan. Perubahan-perubahan yang baik harus terus dilakukan.

Perubahan harus dimotori pemimpin. Sangat tidak mungkin rakyat mau berubah jika pemimpin tidak memberi stimulasi adanya perubahan. Pemimpin adalah penghela perubahan ke arah kualitas dan kuantitas kehidupan.

Hanya pemimpin pemberani-lah yang berdiri di depan menghela perubahan. Sebab, kata Mahatma Gandhi, seorang pengecut tidak mampu menunjukkan cinta (cinta pada rakyatnya, negara bangsanya). Itu adalah hak prerogatif pemberani.

Dirgahayu Indonesia. Berkibarlah Indonesiaku!

 

Bagaimana menurut Anda artikel ini
+1
0
+1
0
+1
54
+1
26
Kredensial